Paragraf terakhir dalam surat ini memerlukan kata penjelasan. Aku berharap ia bekerja permanen di Alexandria, namun ia lebih suka berada dalam jarak yang lebih jauh dari Kairo.(surat ini khas gayanya serta mengungkap apa yang ia coba lakukan)
ASSIUT COLLEGE, 5 November 1916.
“PAK DOKTER:
“Aku dengan kerendahan hati minta maaf atas keterlambatanku menjawab surat terakhirmu tanggal 1 bulan ini. Terjadi dua hal yang menyedihkan di waktu luangku. Yang pertama, muslim yang kutemui disini setelah ibadah gereja. Yang kedua, adalah usahaku mencari pekerjaan di Oases, berapapun mungkin suhunya.”
Tapi mengenai muslim tersebut, aku berani mengatakan dia salah satu pemuda paling pandai dan saleh yang pernah kutemui. Aku menemaninya ke sebuah kedai penduduk setempat, dan berada disana dari 9.40 a.m. sampai 2 p.m. Dalam periode ini kami mendiskusikan Kekristenan dan Islam dan aku mengakhirinya dengan baik. Sementara kami berbicara, ia berdiam diri sejenak dan kemudian berdiri dengan cepat dan minta izin untuk pergi ke suatu tempat tertentu dan segera kembali. Setelah hampir 5 menit ia kembali ditemani seorang sheikh, guru dari ----, dengan siapa aku berbincang selama hampir satu jam atau lebih, di saat yang sama aku aku mempengaruhinya, keadaan yang membuatnya meminta maaf dan pergi. Menyesal kukatakan padamu bahwa ia memintaku menjelaskan padanya, tapi aku hampir tak bisa meyakinkannya dengan sempurna, meskipun aku sebutkan---- dan lainnya; tolonglah jelaskan terlebih dulu padaku.
“Muslim kita memintaku untuk mengunjungi rumahnya, tetapi aku menjawab hendak menjumpai sahabat yang memperkenalkannya padaku di gereja. Kujumpai di gereja, seorang saudara junior bersama dua senior dan juga teman-teman mereka. Kami mulai berbincang mengenai perantaraan dan penyaliban, tapi aku sungguh bersyukur pada Tuhan atas kemenanganku, keadaan yang memaksa teman lawan dengan sangat memintaku balas mengunjunginya hari berikutnya, di rumahnya di tengah pemukiman penduduk asli. Kau tahu bahwa teman yang dipanggil A.A juga mengundang rekanku L.D. Esoknya, aku mengajak B dan mengingatkannya akan janji tersebut, sayangnya, ia menolak karena takut bahaya yang mungkin timbul dari para muslim tersebut, dan demikianlah aku pergi dengan ditemani Kekuatan Tuhan. Pukul 5 p.m. aku berada di depan rumah A.K., yang keluar dan membawaku ke sebuah ruangan besar dimana kujumpai dua sheiks, seorang insinyur, seorang lain yang membawa Alkitab, muslim kita beserta saudara laki-lakinya, dan tiga Effendi (pria terhormat masa Turki, setara Sir) lain. Kuperkirakan mereka para pegawai. Aku masuk dan memberi salam mereka dan berjabat tangan dengan setiap orang. Kami mulai dari jam 5 p.m. hingga jam 10.10 p.m. Kami mendiskusikan hampir tiap masalah yang mendasar secara acak sesuai karakter mereka yang tidak sama. Saat mereka kalah, mereka mulai mengejek dan menertawakanku dan agamaku yang palsu, kata mereka. Teman muslimku dari gereja segera memotong pembicaraan dan menegur mereka, karena telah melakukan kesalahan. Kami kemudian berpisah. Bila bertemu, aku akan mengatakan beberapa hal penting padamu mengenai pertemuan ini. Sekarang aku sering bertemu dengan teman muslimku dan ngobrol panjang lebar dengannya. Sejujurnya, aku sangat mengasihinya karena ia bijak dan tidak memihak. Sekarang mari kita kembali dan bicara tentang diriku. Kau tahu aku tidak punya hubungan dengan siapapun di Alexandria sebagaimana dengan orang-orang misionaris. Aku siap melakukan pekerjaan apapun, bahkan seorang penterjemah, namun aku ingat keinginanku untuk menjadi misionaris, dan juga tahun ajaran sekolah akan berakhir tanggal 18 bulan ini. Aku dapat tinggal beberapa hari di Kairo, dengan syarat aku takkan pernah meninggalkan kamar kecuali larut malam. Apakah kau setuju? Aku berdoa pada Tuhan siang dan malam agar kau bisa menganggapku sebagai salah seorang putramu yang baik, dan bukan sebagai orang asing yang datang meminta perlindungan dan pertolongan. Tidakkah kau tahu bahwa kau satu-satunya keluarga, teman dan kerabatku? Oh! Aku mohon engkau mengingat ini. Aku sangat mengharapkan sepucuk surat.
Salam hormatku
Ketika aku mengunjungi Assiut, musim semi 1916, William begitu gembira dan menyambutku seperti seorang anak terhadap ayahnya. Namun, kegembiraan pertemuan tampaknya begitu menyemangatinya, sehingga Minggu dinihari, jam dua, ia datang datang berlari dari gedung kuliah ke tempat dimana aku menginap dan berkata bahwa ia telah mendapat visi (atau mimpi) dimana Kristus menampakkan diri padanya, terbungkus kain putih, dan berkata: “Kau harus berkhotbah pada umat Islam,” dan itulah yang membuatnya merasa harus datang langsung dan mengatakan padaku mengenai hal itu. Saat ia selesai bicara dan berdoa, ia tertidur di ruanganku, dan keesokan harinya mengerjakan tugas-tugasnya seperti biasa; namun tidak ada keraguan bahwa mimpi tersebut telah memberikan kesan sangat mendalam di pikirannya. Karena aku menolak memberinya bantuan finasial apapun dan selalu menasehatinya untuk bekerja bagi kebutuhan hidupnya sendiri, ia lantas berteman dengan salah seorang Kristen di Assiut, dan saat kuliah berakhir, bekerja bersama-sama siswa lain, di kantin Y.M.C.A di Kharga Oasis. Ia menulis pada saat itu:
Musim panas memang saat yang berat bagi seseorang yang hidup tanpa pekerjaan, duduk-duduk di kedai menikmati ‘waktu menyenangkan,’ sebagaimana para pemuda Mesir, namun William tidak pernah menyerah. Suatu ketika ia menulis padaku:“Aku merasa malu akan diriku sendiri karena berhenti menulis padamu sekian lama, walau aku hanya berada di tempat tidur setelah meninggalkan Assiut. Dapatkah aku dimaafkan? Aku masih merasa kurang sehat karena udara yang amat panas.
“Aku meninggalkan Assiut tanggal 29 Mei ke Markaz el Sherika dan mengalami kesulitan terbesar/jatuh sakit semenjak itu, khususnya beberapa hari terakhir ini. Sudah sangat lama aku tidak mendengar kabar dari keluargaku, dan aku sangat ingin tahu semua hal tentang mereka.
Berharap dapat segera mendengar kabarmu,”
Salam hormat,
“WILLIAM”
Sekali lagi ia bicara mengenai masa depan, dan keinginannya untuk menemukan tempat dimana ia akan aman. Ia menulis:“Setiap orang di dunia ini merasakan penderitaan dan godaan, dari Tuhan atau setan; tapi pahlawan adalah dia yang paham kata ‘ketahanan.’ Artinya, ia harus bertahan dan berjuang untuk menang. Hidup hanyalah perjuangan.
Aku berani katakan bahwa keberhasilan seseorang tergantung pada temperamen dan iman, terlepas dari perkataan orang, karena tidak ada seorangpun di seluruh dunia sanggup menyenangkan semua orang dunia.
“Hanya Tuhan yang tahu bagaimana aku berperilaku, dan sepanjang aku berdoa, membaca Alkitab, dan menjalani kehidupan Kristen sehari-hari yang bersih, aku menyerah membebani diri dengan berbagai pendapat orang yang berbeda. Tak seorangpun bisa menunjukkan jalan yang benar pada Tuhan. Bila kau ingat aku pernah mengecewakan atau tidak mematuhimu, yakinlah bahwa yang kau dengar itu benar atau akulah yang salah. Waktu aku baru berkenalan denganmu, kau orang asing bagiku sebagaimana semua orang disini. Baiknya, kau terbiasa memperlakukan orang lain sebagai anak atau saudara.
Akhirnya ia memutuskan untuk datang ke Kairo. Segera setelah tiba, ia pergi menemui ayahnya, dan sejauh yang kuketahui, mereka bisa menerima kenyataan bahwa ia telah menjadi Kristen. Ia katakan padaku ayahnya telah mengambil ‘Sumpah Perceraian,’ yang merupakan salah satu sumpah terkuat, dimana ia tidak akan menyakiti putranya atau berusaha menghalangi kehadirannya di ibadah Kristen.“Berkaitan dengan kepulangan ke Kairo dan menetap disana, aku dapat memberitahumu dengan jujur bahwa hal ini diluar kekuasaanku selama aku tinggal bersamamu. Kau tahu dengan baik bahwa aku memperkenalkan diriku padamu untuk berlindung dan menguatkanku juga menasihatiku; karenanya aku ke Assiut, melarikan diri dari penganiayaan. Lantas bagaimana aku bisa kembali ke Kairo? Tak diragukan lagi, benar bahwa aku harus kembali ke Kairo bila aku tak bisa mendapat pekerjaan di tempat yang jauh. Dalam hal ini aku setidaknya akan menghadapi sejumlah besar bahaya hidup diantara keluarga Islam lagi, hal yang kubenci.
“Tentu saja aku akan menyerah dan menanggung penganiayaan pedih tak tertandingi dengan sebelumnya; karena aku tak berdaya menghadapi orang-orang fanatik dan keras seperti itu….Agamaku atau tepatnya ibadahku, seputar (1) Belajar Alkitab, (2) Berdoa, (3) Bergaul dengan orang lain sesuai Alkitab; walaupun sepele.” (Ia maksud bertentangan)
Saat itulah ia mengajukan aplikasi untuk mengikuti kelas para penginjil di Seminari Teologi Misi Amerika. Ia bahkan sangat ingin mengikuti kelas teologi, begitu tertarik untuk mengabdikan hidupnya untuk pekerjaan berkhotbah. Berkali kali ia membawa muslim-muslim lain menemuiku, dan tidak pernah lebih bahagia dibanding saat ia mengajukan permintaan dan kami terlibat dalam doa bersama. Karena singkatnya masa tinggalnya di Assiut, pendeta gereja disana belum menganggap bijaksana untuk menerimanya dalam baptisan, walaupun hal ini keinginan terdalamnya.
Ada kendala dalam keikutsertaannya di kelas seminari biasa. Menurut aturan gerejawi, tidak mungkin menerima siswa muslim yang belum dibaptis, walaupun ia mengaku Kristen, belajar teologi. Sebab itulah, kusarankan agar ia menunggu tahun depan, dan sementara itu mencari pekerjaan. Ia mengajukan lamaran ke salah satu departemen pemerintah, dan saat penantian, ia menerima pekerjaan sebagai penterjemah bagi Angkatan Darat Inggris untuk Mesopotamia. 29 November, ia datang padaku dengan kabar baik ini, dan berkata:
“Sekarang kau pasti akan membaptisku sebelum aku memulai perjalanan panjangku.” Aku meyakinkannya bahwa aku akan melakukannya. Kami berdoa bersama, dan ia pergi dengan sangat bahagia. Berita selanjutnya yang kuterima, lewat seorang teman Kristen yang datang di Sabtu pagi, 2 Desember, mengabarkan bahwa William telah mengalami kecelakaan trem. Lalu lintas di Kairo sering begitu buruk pengaturannya sehingga kecelakaan sering terjadi, namun kami semua terkejut mendengar berita itu. Dikonfirmasikan surat kabar di hari berikutnya, yang memberitakan seorang siswa muda, berusia 21 tahun, turun dari Heliopolis ke Abbassia, Kamis malam jam 8. Ia turun dari mobil di sisi Ia turun dari mobil di sisi yang salah, ditabrak mobil lain dari arah berlawanan dan terhempas ke pinggir jalan dengan kepala terluka memar. Seorang polisi segera tiba di tempat kejadian, dan bukannya memanggil bantuan, ia malah membawa pemuda malang tersebut ke kantor polisi dimana ‘proses verbal’ lengkap dibuat. Dari kantor polisi pemuda tersebut dibawa ke bagian administrative Kairo untuk diperiksa petugas medis kepolisian. Ia harus menunggu disana beberapa waktu sebelum dokter muncul, dan diikuti pemeriksaan silang seperti di kantor polisi. Ia akhirnya dikirim pulang ke rumahnya sekitar jam 11 malam tanpa mendapat bantuan medis apapun.
Dua hari setelah ‘kecelakaan’ aku menerima pesan telfon dari seorang pemuda Koptik, seorang teman yang mengajukan pertanyaan apakah William meninggal karena kecelakaan atau karena permainan kotor. Tidak perlu memberikan rincian, namun saat kami menemui Kepala Polisi, ia mengakui ada indikasi bahwa ‘kecelakaan’ tersebut telah diatur oleh orang-orang yang lebih suka ia meninggal sebagai muslim daripada mengakui Kristus secara terbuka. Selama perang, kondisi Kairo sudah sedemikian rupa, sehingga penyelidikan lebih lanjut terhadap kasus semacam itu tidaklah bijaksana. Aku yakin bahwa William Famison meninggal sebagai martir, dan orang yang terlibat dalam kematiannya adalah ‘musuh dari kalangan keluarganya sendiri.’
Dua minggu sebelum kematiannya, ia datang padaku dengan sebuah puisi indah, tertulis dalam bahasa Arab, mengenai karakter Yesus, yang ia mohon padaku untuk dicetak di surat kabar Kristen berbahasa Arab kami. Kisah hidupnya yang singkat memberi semangat. Sejumlah temannya terpacu untuk membaca Kitab Suci melalui keberanian William bersaksi. Hanya dua hari setelah kecelakaan tersebut, salah satu teman muslim-nya datang dan memberiku sepucuk surat yang, seperti ia ungkapkan di suratnya, untuk menghibur hatiku yang mengalami kehilangan besar.
Para pemuda Mesir tidak pernah lebih siap untuk menerima penginjilan pribadi dibanding masa sekarang; mereka telah kehilangan pegangan pada kepercayaan lama orangtua mereka, dan secara moral dan intelektual mereka sedang terombang-ambing. Pendidikan modern sedang mempersiapkan jalan bagi agnotisme dan ketidakpercayaan, kecuali kita dapat mencegahnya dengan ajaran Kristus yang hidup.
Bukankah peristiwa ini merupakan ‘tamparan’ terhadap sikap apatis kita serta lemahnya kemampuan kita, sehingga seorang pemuda muslim harus membaptis dirinya sendiri dengan sebuah nama baru dan menjadi saksi Kristus, bahkan sebelum ia sendiri masuk dalam lingkarang pengaruh misionaris? “Bukankah kamu mengatakan: Empat bulan lagi tibalah musim menuai? Tetapi Aku berkata kepadamu: Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai.”