SON OF HAMAS (PUTRA HAMAS) (SELESAI)

Sabilla
Posts: 1310
Joined: Mon Jul 20, 2009 8:23 pm

Re: Son of Hamas (Putra Hamas)

Post by Sabilla »

Sebuah buku yang menarik !
uwoOWW.... Benar-benar mengejutkan ! Anak seorang tokoh HAMAS murtad ! [-(
User avatar
Bigman
Posts: 3186
Joined: Sat Jan 03, 2009 8:19 pm
Contact:

Re: Son of Hamas (Putra Hamas)

Post by Bigman »

Ruar biasa!
Ane cuman bisa bales:
Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.
Tuhan Memberkati ente Bro Adadeh, trim's.
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Bab 9 – Persenjataan

Post by Adadeh »

Bab 9 – Persenjataan
Musim Dingin 1995 - Musim Semi 1996


Setelah Perjanjian Oslo, masyarakat internasional berharap Pemerintahan Palestina bisa mengontrol Hamas. Di hari Sabtu, 4 November, 1995, aku sedang menonton TV ketika laporan berita darurat tiba² diumumkan. Yitzhak Rabin ditembak ketika sedang kampanye perdamaian di Lapangan Raja² (Kings Square) di Tel Aviv. Tampaknya hal ini serius. Dua jam kemudian, penyiar mengatakan Yitzhak Rabin telah mati.

“Wow!” teriakku keras pada diri sendiri. “Ternyata orang Palestina mampu membunuh Perdana Menteri Israel! Ini seharusnya terjadi dari dulu.” Aku sangat senang atas kematiannya dan kerusakan yang diakibatkan pada PLO dan persetujuannya dengan Israel.

Lalu telepon berdering. Aku seketika mengenal suara orang di seberang. Orang itu adalah Yasser Arafat, dan dia ingin bicara dengan ayahku.

Aku mendengar saat ayah bicara di telepon. Dia tidak banyak bicara; sikapnya tetap ramah dan sopan, dan tampak setuju dengan apapun yang dikatakan Arafat di tempatnya.

“Aku mengerti,” kata ayah. “Selamat tinggal.”

Lalu ayah berpaling padaku. “Arafat meminta agar kita mencegah Hamas merayakan kematian sang Perdana Menteri,” katanya. “Pembunuhan ini adalah kehilangan besar bagi Arafat karena Rabin menunjukkan keberanian besar dalam melakukan perjanjian damai dengan PLO.”

Kami kemudian mengetahui bahwa Yitzhak Rabin ternyata tidak dibunuh oleh orang Palestina. Dia ditembak dari belakang oleh mahasiswa hukum Israel (Yigal Amir). Banyak anggota Hamas yang kecewa atas fakta ini. Aku sendiri heran bahwa ternyata ada fanatik Yahudi yang bertujuan sama dengan Hamas.

Image
Yigal Amir, pembunuh Yitzhak Rabin.

Pembunuhan ini membuat dunia semakin menuntut Arafat untuk mengontrol daerah Palestina. Maka dia lalu melancarkan serangan besar²an terhadap Hamas. Para polisi PA datang ke rumah kami, meminta ayah untuk mempersiapkan diri, dan membawanya untuk ditawan di tempat tinggal Arafat. Arafat selalu memperlakukannya dengan rasa hormat dan keramahan terbaik.

Meskipun begitu, untuk pertamakalinya orang² Palestina memenjarakan sesama orang Palestina. Hal ini sungguh menyedihkan, tapi setidaknya mereka memperlakukan ayahku dengan hormat. Tidak seperti tawanan yang lain, ayah diberi kamar yang nyaman, dan Arafat kadangkala mengunjunginya untuk membicarkan berbagai masalah.

Tak lama kemudian semua pemimpin utama Hamas, dan juga ribuan anggotanya dimasukkan ke dalam penjara² Palestina. Banyak dari mereka yang disiksa saat interogasi. Sebagian bahkan mati. Tapi mereka yang berhasil menghindari penangkapan menjadi pelarian, dan terus melakukan serangan terhadap Israel.

Sekarang kebencianku jadi bercabang. Aku benci Pemerintah Israel dan Yasser Arafat, aku benci Israel, dan aku benci orang² Palestina yang sekuler. Mengapa ayahku yang cinta Allâh dan masyarakatnya harus sangat menderita, sedangkan orang² tak bertuhan seperti Arafat dan PLO-nya diberi kemenangan besar oleh orang² Israel - padahal Qur’an menyebut para Yahudi ini sebagai babi dan monyet? Masyarakat internasional bertepuk tangan memuji Israel karena mengakui hak teroris Arafat dan anteknya untuk eksis.

Image
Mosab sewaktu masih remaja.

Aku berusia 17 tahun dan hanya beberapa bulan saja sebelum lulus SMA. Setiap kali aku mengunjungi ayah di penjara atau membawa makanan dari rumah dan hal lain yang menyenangkan dirinya, dia berpesan padaku, “Satu²nya hal yang harus kau lakukan adalah lulus ujian. Fokus pada sekolahmu. Jangan khawatir akan diriku. Aku tidak mau pendidikanmu terganggu.” Tapi hidup sudah tak bermakna lagi bagiku. Aku tidak bisa berpikir apapun selain bergabung dengan sayap militer Hamas dan membalas dendam pada Israel dan Pemerintah Palestina. Aku mengenang segala sesuatu yang telah kulihat dalam hidupku. Apakah semua perjuangan dan pengorbanan akan berakhir seperti ini, dalam perjanjian damai murahan dengan Israel? Jikalau aku mati berperang, setidaknya aku akan mati syahid dan masuk surga.

Ayahku tidak pernah mengajarku untuk membenci, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya untuk menghindari perasaan itu. Meskipun dia dengan penuh semangat menentang pendudukan, dan meskipun kupikir dia tidak akan ragu memerintahkan pemboman nuklir terhadap Israel jika dia memiliki bom tersebut, dia tidak pernah menjelek-jelekkan orang Yahudi, tidak seperti yang sering dilakukan para pemimpin Hamas rasis. Dia lebih tertarik pada tuhan Qur’an daripada politik. Allâh telah memberi kami tanggung jawab untuk melenyapkan bangsa Yahudi, dan ayahku tidak mempertanyakan perintah itu, meskipun dia secara pribadi tidak punya masalah dengan mereka.

“Bagaimana hubunganmu dengan Allâh?” tanya ayah setiap kali aku menemuinya. “Apakah kau sholat hari ini? Meluangkan waktu baginya?” Dia tidak pernah berkata, “Aku ingin kau menjadi mujahid (pejuang gerilya) yang baik.” Pesannya padaku sebagai anak laki sulungnya selalu saja, “Berbuatlah baik terhadap ibumu, Allâh, dan masyarkatmu.”

Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa begitu penuh belas kasih dan pemaaf, bahkan terhadap para prajurit yang berkali-kali datang untuk menangkapnya. Dia memperlakukan mereka bagaikan anak². Ketika aku membawa makanan baginya di pusat PA, dia seringkali mengajak para penjaga untuk bergabung bersama kami dan makan makanan daging dan nasi yang khusus dimasak ibu. Beberapa bulan kemudian, para penjaga PA juga mengasihi ayahku. Sungguh mudah bagiku untuk mencintai ayah, tapi dia juga adalah orang yang sungguh sukar dimengerti.

Dengan penuh kemarahan dan nafsu balas dendam, aku mulai mencari senjata². Meskipun senjata tersedia di daerah kami saat itu, harganya sangat mahal, dan aku hanyalah pelajar SMA miskin yang tak berduit.

Ibrahim Kiswani adalah teman kelas yang berasal dari desa di sebelah Yerusalem. Dia pun punya minat yang sama denganku dan dia berkata bahwa dia bisa menyediakan uang yang kami butuhkan - meskipun tidak cukup untuk beli senapan otomatis, tapi cukup untuk beli sebuah pistol. Aku bertanya pada saudara sepupuku Yousef Daud di mana aku bisa beli pistol.

Yousef dan aku tidaklah terlalu akrab, tapi aku tahu dia punya beberapa koneksi.

“Aku punya dua teman di Nablus yang mungkin bisa menolong,” katanya padaku. “Apa yang ingin kau lakukan dengan senjata itu?”

“Setiap keluarga punya senjata,” kataku berbohong. “Aku ingin melindungi keluargaku.”

Tapi ini bukan sepenuhnya bohong. Ibrahim tinggal di desa di mana setiap keluarga memang punya senjata untuk bela diri, dan dia bagaikan saudara dekat bagiku.

Selain karena ingin balas dendam, kupikir sebagai remaja tentunya menyenangkan untuk punya pistol. Aku tidak lagi tertarik dengan sekolah. Buat apa pergi ke sekolah di negara gila ini?

Akhirnya di suatu sore aku dihubungi per telepon oleh saudara sepupu Yousef.

“Oke, kita akan pergi ke Nablus. Aku tahu seseorang yang bekerja bagi pasukan keamanan PA. Kupikir dia bisa memberi kita sebuah pistol,” katanya.

Ketika kami tiba di Nablus, seseorang menemui kami di pintu rumah kecil dan membawa kami masuk. Di dalam rumah dia memperlihatkan senapan² mesin Swedia Carl Gustav M45 dan sebuah Port Said, jenis senjata serupa versi Mesir. Dia membawa kami ke tempat terpencil di pegunungan dan menunjukkan pada kami bagaimana menggunakan senjata² itu. Ketika dia bertanya apakah aku ingin mencoba, jantungku berdebar-debar. Aku tidak pernah menembak dengan sebuah senapan mesin sebelumnya, dan tiba² aku merasa takut.

“Tidak, aku percaya kamu,” kataku padanya. Aku beli dua buah senapan Gustav dan sebuah pistol dari orang itu. Aku menyembunyikan senjata² ini di pintu mobil, menaburi merica hitam di atasnya agar anjing² polisi Israel tidak berminat menciumnya di pos² penjagaan.

Sewaktu sedang menyetir mobil kembali ke Ramallah, aku menelpon Ibrahim.

“Hey, aku udah dapet barangnya, lho!”

“Benar begitu?”

“Iya, benar.”

Kami tahu sebaiknya tidak menggunakan kata² seperti pistol² atau senjata² karena kemungkinan telepon disadap Israel. Kami lalu berjanji bertemu di suatu tempat di mana Ibrahim lalu mengambil “barang²nya” dan kami lalu pisah.

Saat itu adalah musim semi 1996, dan aku baru saja berusia 18 tahun, dan sekarang bersenjata.
******************
Di suatu malam, Ibrahim menelponku, dan aku bisa mengetahui dari suaranya bahwa dia sangat marah.

“Senapan² mesinnya tidak berfungsi!” dia berteriak ke telepon.

“Ngomong apa sih kau?” aku berkata balik, berharap tiada yang mendengar percakapan kami.

“Senapan²nya tidak bisa dipakai,” dia mengulangi lagi, “Kita ditipu!”

“Aku tidak bisa bicara sekarang,” kataku padanya.

“Baik, tapi aku ingin bertemu denganmu malam ini.”

Ketika dia tiba di rumahku, aku seketika mengecamnya.

“Kau gila ya ngomong seperti itu di telepon?” kataku.

“Aku tahu, tapi senapan² mesinnya tidak berfungsi. Pistolnya sih oke, tapi senapan²nya tidak bisa digunakan untuk menembak.”

“Baiklah, senapan² itu tak bisa dipakai. Tapi apakah kau tahu cara menggunakannya dengan benar?”

Dia meyakinkan aku bahwa dia tahu benar bagaiman menggunakan senjata² tersebut, jadi aku berkata akan mengurus masalah itu. Karena ujian akhir SMA tinggal dua minggu lagi, aku sebenarnya tidak punya waktu. Meskipun demikian aku berjanji untuk membawa senjata² kembali pada Yousef.

“Wah, payah nih,” kataku pada Yousef ketika bertemu dengannya. “Pistolnya sih berfungsi dengan baik, tapi senapan² mesinnya tidak. Telepon temanmu di Nablus agar kami setidaknya bisa mendapat kembali uang kami.” Dia berjanji untuk mencoba.

Di keesokan harinya, saudara lakiku Sohayb memberitahu kabar menegangkan.

“Pasukan keamanan Israel datang ke rumah tadi malam, mencari dirimu,” katanya dengan suara yang khawatir.

Pikiranku pertama adalah, Kami kan belum membunuh siapapun! Aku ketakutan, tapi juga merasa penting karena tampaknya aku mulai dianggap berbahaya oleh pihak Israel. Ketika aku menjenguk ayahku kemudian, dia sudah mendengar bahwa prajurit² Israel mencari diriku.

“Apakah yang terjadi?” katanya tajam. Aku memberitahu apa yang terjadi dengan jujur, dan dia jadi sangat marah. Melalui kemarahannya, aku bisa melihat dengan jelas bahwa dia sebenarnya kecewa dan khawatir.

“Ini sangat serius,” dia memperingatkan aku. “Mengapa kau sampai mendapatkan masalah seperti ini? Kau seharusnya mengurus ibumu, adik² laki dan perempuanmu, dan bukannya lari dari pihak Israel. Tidakkah kau mengerti bahwa mereka akan menembakmu?”

Aku pulang, dan mulai mengepak pakaian dan buku² sekolah, dan meminta pelajar² Persaudaraan Muslim untuk menyembunyikan diriku sampai aku bisa mengikuti ujian akhir dan tamat SMA.

Ibrahim ternyata tidak mengetahui keseriusan keadaan. Dia terus meneleponku, bahkan juga ke ponsel ayahku.

“Apa sih yang terjadi? Ada apa denganmu? Aku berikan semua uangku. Aku minta uang itu kembali.”

Aku beritahu dirinya bahwa pasukan keamanan telah mengunjungi rumahku, dan dia mulai berteriak-teriak dan tak berhati-hati lagi dengan kata²nya di telepon. Aku cepat² mematikan telepon sebelum dia bisa membahayakan dirinya lebih lanjut. Tapi keesokan harinya, IDF muncul di rumahnya, menggeledah, dan menemukan pistol itu. Mereka segera menangkapnya.

Aku merasa sangat putus asa. Aku percaya pada orang yang salah. Ayahku dipenjara, dan dia kecewa akan diriku. Ibuku sangat khawatir akan diriku. Aku harus menghadapi ujian akhir. Dan sekarang aku dicari-cari prajurit Israel.

Bagaimana mungkin keadaan bisa jadi lebih jelek daripada sekarang?
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re: Son of Hamas (Putra Hamas)

Post by Adadeh »

IWY wrote:bagus banget nih , kalo udah selesai , mau gua cetak sendiri untuk koleksi !
Sabilla wrote:Sebuah buku yang menarik !
BigMan wrote:Ruar biasa!
Terima kasih atas dukungannya, temans. Iya, jarang banget nih kita bisa tahu seluk-beluk jaringan teroris Hamas dan badan rahasia Israel Shin Bet. Si Mosab berani mati mengungkapkan semuanya ini.

Perhatikan perkataan Syeikh Hassan Yousef pada Mosab yang gw beri warna merah:
SHY wrote:“Ini sangat serius,” dia memperingatkan aku. “Mengapa kau sampai mendapatkan masalah seperti ini? Kau seharusnya mengurus ibumu, adik² laki dan perempuanmu, dan bukannya lari dari pihak Israel. Tidakkah kau mengerti bahwa mereka akan menembakmu?”
Bukankah ini sebenarnya tugasnya sendiri sebagai seorang ayah dan kepala keluarga? Mengapa dia meletakkan semua beban berat itu pada putranya yang masih SMA? Kemana saja dia sewaktu istri dan anak²nya butuh nafkah hidup, bimbingan, dan perhatian? Mana sih sebenarnya yang lebih penting bagi seorang suami dan ayah 7 anak? Dia begitu mencintai Allâhnya sampai² menelantarkan keluarganya. Gw sih kasihan sama istri dan anak²nya.
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Bab 10 - Rumah Jagal

Post by Adadeh »

Bab 10 - Rumah Jagal
1996


Meskipun aku mencoba untuk berhati-hati, pasukan keamanan Israel berhasil melacakku. Mereka telah menyadap percakapan teleponku dengan Ibrahim. Sekarang beginilah nasibku, diborgol dan ditutup mata, dijejalkan ke bagian belakang Jeep, sambil berusaha menghindar sodokan popor senapan sebisa mungkin.

Akhirnya Jeep itu berhenti. Rasanya perjalanan berlangsung berjam-jam. Pengikat tangan terasa menusuk tajam ke pergelangan tanganku sewaktu prajurit menarik lenganku untuk berdiri dan mendorongku naik tangga. Aku sudah tidak merasakan apapun pada tanganku. Di sekitarku, aku mendengar suara orang² bergerak dan berteriak dalam bahasa Ibrani.

Aku dibawa masuk ke sebuah ruangan kecil di mana pengikat tangan dan mataku dibuka. Sambil memicingkan mata karena silau cahaya lampu, aku berusaha melihat keadaan. Kecuali sebuah meja kecil di sudut, ruangan itu kosong. Aku menduga-duga apakah yang nanti dilakukan para prajurit itu padaku. Interogasi? Pemukulan lagi? Siksaan? Aku tidak perlu menduga terlalu lama. Hanya dalam beberapa menit saja, seorang prajurit muda membuka pintu. Dia mengenakan cincin pada hidungnya, dan dia bicara dengan aksen Rusia. Dia adalah prajurit yang telah memukuliku di belakang Jeep. Sambil mencekal lenganku, dia menggiringku melalui koridor yang panjang dan berliku, dan akhirnya masuk ke ruang kecil. Tampak peralatan pengukur tekanan darah, monitor, komputer, dan TV kecil di atas sebuah meja tua. Bau yang memuakkan menerjang hidungku sewaktu aku masuk ruangan, sehingga rasanya mau muntah lagi.

Seorang lelaki memakai baju dokter masuk ruangan, dan dia tampak lelah dan murung. Dia tampak heran melihat muka dan mataku yang babak belur, yang sekarang sudah membengkak dua kali dari ukuran asli. Tapiandaikata dia mengkhawatirkan keadaanku, hal itu tak tampak sama sekali. Aku telah melihat dokter binatang yang lebih berbelas kasihan pada binatang yang diperiksanya daripada dokter yang sekarang memeriksaku.

Seorang penjaga berbaju polisi masuk. Dia membalikkan tubuhku, memasang kembali pengikat tangan, dan memasang penutup seluruh kepala berwarna hijau di kepalaku. Sekarang aku tahu sumber bau busuk itu. Penutup kepala itu baunya seperti belum pernah dicuci. Aromanya berasal dari gigi yang tak pernah digosok dan bau mulut ratusan tawanan yang mengenakannya. Aku berusaha menahan napas. Tapi setiap kali aku menarik napas, aku menghisap kain busuk itu ke dalam mulutku. Aku jadi panik dan tercekik tapi aku tidak bisa bebas dari kain penutup itu.

Penjaga memeriksa diriku, mengambil semuanya, termasuk sabuk dan tali sepatu. Dia mencekal penutup kepalaku dan menyeretku melalui koridor lagi. Belok kanan. belok kiri. Kanan. Kanan lagi. Aku tidak tahu sedang berada di mana dan kemana aku dibawa.

Akhirnya kami berhenti dan kudengar dia mengeluarkan kunci. Dia membuka pintu yang terdengar berat dan tebal. “Tangga,” katanya. Dan aku menuruni beberapa anak tangga. Melalui penutup kepala aku bisa melihat sinar yang berkejap, yang biasanya kau lihat di sirine mobil polisi.

Penjaga menarik lepas penutup kepala, dan aku aku berdiri di hadapan baris gorden. Di sebelah kanan aku melihat keranjang penuh penutup kepala. Kami menunggu beberapa menit sampai akhirnya suara dari balik gorden mengijinkan kami masuk. Penjaga memasang borgol di pergelangan kakiku dan menutupi kepalaku dengan penutup kepala lain. Dia lalu menarik bagian depannya sehingga aku turut maju menembus gorden.

Udara dingin menyembur dari lubang udara, dan musik terdengar keras dari arah lain. Koridor ini tentunya sempit sekali karena tubuhku kerap membentur tembok di sebelah kanan dan kiri. Aku merasa pusing dan lelah. Akhirnya kami berhenti lagi. Penjaga itu membuka pintu dan mendorong aku masuk. Dia melepaskan penutup kepala dan pergi, sambil mengunci pintu yang berat di belakangnya.

Aku melihat sekeliling, mengamati keadaan sekitar. Sel ini berukuran 6 kaki persegi (sekitar 2 meter persegi) - cukup untuk sebuah matras kecil dan dua buah selimut. Orang yang dulu tinggal di sini telah menggulung selimut menjadi bantal. Aku duduk di atas matras; rasanya lengket dan baunya seperti penutup kepala. Aku tutup hidungku dengan lengan bajuku, tapi lengan bajuku tercemar muntahanku. Sebuah lampu redup tergantung di atap langit, tapi tak ada tombol untuk mematikan atau menyalakannya. Celah kecil di pintu adalah satu²nya jendela di ruangan itu. Udara terasa sesak, lantai basah, dan tembok ditutupi lumut. Serangga merayap di mana². Semuanya terasa busuk, kotor, dan jelek.

Aku duduk di tempat itu untuk waktu yang lama, tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin buang air dan lalu berdiri menggunakan toilet karatan di sudut ruangan. Aku tekan handel untuk menyiram dan aku langsung menyesal. Kotoran bukannya masuk lubang, tapi air malahan meluap mengotori lantai, membuat matras basah.

Aku duduk di satu²nya sudut yang masih kering di ruangan itu dan mencoba berpikir. Benar² tempat yang menjijikan untuk bermalam! Mataku berdenyut-denyut dan terasa panas. Sukar bernapas di ruangan itu. Rasa panas sel sungguh tak tertahankan, dan bajuku yang penuh keringat melekat erat pada tubuhku.

Aku tidak makan dan minum sejak minum susu kambing di rumah ibu. Sekarang bau muntah susu itu melumuri semua baju dan celanaku. Terdapat sebuah pipa menjulur di dinding. Aku putar handelnya dengan harapan air akan keluar. Tapi yang keluar adalah cairan kental berwarna coklat.

Jam berapa sekarang? Apakah mereka akan meninggalkanku di sini sepanjang malam?

Kepalaku berdenyut-denyut. Aku tahu aku tidak akan bisa tidur. Yang bisa kulakukan hanyalah berdoa pada Allâh saja.

Lindungi aku, begitu pintaku. Selamatkan aku dan segera bawa aku kembali kepada keluargaku.

Melalui pintu baja tebal, aku bisa mendengar suara musik yang keras dari jarak jauh - lagu yang sama diulang-ulang terus-menerus. Aku mendengar lirik lagu untuk membantuku menghabiskan waktu.

‘They sentenced me to twenty years of boredom
(mereka menghukum aku 20 tahun penuh kebosanan)
For trying to change the system from within
(Karena mencoba mengubah sistem dari dalam)
I’m coming now, I’m coming to reward them
(Sekarang aku datang, aku datang untuk membalas mereka)
First we take Manhattan, then we take Berlin
(Pertama-tama kita ambil Manhattan, lalu Berlin)
[4]
[4] Leonar Cohen, "First We Take Manhattan" copyright @ 1988 Leonar Cohen, Stranger Music, Inc..

Dari jauh kudengar banyak pintu dibuka dan ditutup. Perlahan suara mendekat. Lalu seseorang membuka pintu selku, sebuah nampan biru didorong masuk, dan lalu pintu ditutup keras lagi. Aku melihat nampan yang sekarang berada di atas isi jamban yang tadi meluap. Di atas nampan itu terdapat sebutir telur rebus, sepotong roti, sesendok yougurt yang berbau masam, tiga butir zaitun, dan air dalam cangkir plastik. Ketika aku hendak meminum air itu, aku mencium baunya yang aneh. Aku minum sedikit dan lalu menggunakan air untuk mencuci tanganku. Aku makan semua yang ada di nampan, tapi aku masih lapar. Apakah ini sarapan pagi? Jam berapakah sekarang? Mungkin sore hari.

Ketika aku sedang berbaring memikirkan berapa lama aku berada di situ, pintu sellku dibuka. Seseorang - atau sesosok makhluk - berdiri di situ. Apakah dia itu manusia? Tubuhnya pendek, tampak setua 75 tahun, dan kelihatan seperti keras besar yang bungkuk. Dia berteriak padaku dengan aksen Rusia, mengutuk aku, mengutuk Tuhan, dan meludahi wajahku. Aku tidak bisa membayangkan hal yang lebih jelek lagi.

Rupanya makhluk ini adalah penjaga penjara karena dia lalu menyodorkan penutup kepala lagi dan memerintahkan aku untuk mengenakannya. Lalu dia menarik bagian muka penutup kepala dan menyeretku dengan kasar di sepanjang koridor. Dia membuka pintu sebuah kantor, mendorong aku masuk, dan memaksa aku duduk di sebuah kursi kecil yang rendah; kursi ini seperti kursi anak² di kelas SD. Kursi itu disekrup di lantai.

Dia memborgol tanganku, satu lengan diantara kaki² kursi dan lengan satunya lagi di bagian luar kursi. Lalu dia memborgol kakiku juga. Kursi kecil itu miring sehingga memaksaku membungkuk ke muka. Tidak seperti sellku, ruangan ini sangat dingin. Aku kira AC-nya dipasang di suhu beku.

Aku duduk di sana berjam-jam, gemeteran karena dingin yang menusuk, duduk miring menyakitkan, dan tak mampu bergerak ke posisi yang lebih nyaman. Aku mencoba bernapas sedikit melalui penutup kepala berbau busuk ini. Aku merasa lapar, lelah, dan mataku basih bengkak dengan darah.

Pintu dibuka dan seseorang menarik lepas penutup kepalaku. Aku heran melihat orang itu ternyata orang sipil dan bukan prajurit atau penjaga. Dia duduk di sisi meja. Kepalaku terletak sama tinggi dengan dengkulnya.

“Siapa namamu?” tanyanya.

“Aku Mosab Hassan Yousef.”

“Apakah kau tahu sedang berada di mana?”

“Tidak.”

Dia menggelengkan kepala dan berkata, “Sebagian orang menyebut tempat ini sebagai Malam Kelam. Yang lain menyebutnya sebagai Rumah Jagal. Kau dalam masalah besar, Mosab.”

Aku mencoba untuk tidak menunjukkan emosi apapun, mataku fokus memandang noda di dinding yang terletak di belakang kepala orang itu.

“Bagaimana keadaan ayahmu di penjara PA?” dia bertanya. “Apakah dia lebih senang berada di sana daripada di penjara Israel?”

Aku mengubah posisi dudukku sedikit, sambil tetap membisu.

“Apakah kau tahu bahwa inilah tempat yang sama ketika ayahmu pertama kali ditangkap?”

Jadi ternyata aku berada di: Pusat Tahanan Maskobiyeh di Yerusalem. Ayahku telah memberitahu aku tentang tempat ini. Dulu, tempat ini digunakan sebagai gereja Rusia Ortodox, dan sudah berdiri selama 6000 tahun. Pemerintah Israel merubahnya menjadi fasilitas keamanan ketat yang mencakup pusat² Kepolisian, kantor², dan pusat interogasi Shin Bet.

Image
Pusat Tahanan Maskobiyeh di Yerusalem. Gedung ini adalah bekas gereja Rusia Orthodox yang diubah Pemerintah Israel jadi Pusat Keamanan dan Penjara.

Image
Letak Maskobiyeh (Mosqobiyeh) di Yerusalem. Daerah ini merupakan salah satu daerah tertua di Yerusalem.

Di ruang bawah tanah yang dalam adalah penjara yang gelap, kotor, hitam, mirip dengan ruang tahanan di jaman abad pertengahan yang sering kau lihat di film. Moskabiyeh memiliki reputasi yang sangat jelek.

Sekarang aku harus mengalami hukuman yang sama yang dialami ayahku. Ini adalah orang² yang sama yang telah memukuli danmenyiksa dia bertahun-tahun yang lalu. Mereka menghabiskan banyak waktu berurusan dengannya, dan mereka sangat kenal ayahkku. Mereka juga gagal mendapatkan keterangan apapun dari ayah. Dia tetap tegar dan bahkan menjadi lebih tegar lagi.

“Katakan padaku mengapa kau berada di sini.”

“Aku tak tahu.” Perkiraanku, tentu saja ini karena aku membeli senjata² rusak yang tidak bisa dipakai. Punggungku terasa membara. Interogator mengangkat daguku.

“Kau mau jadi setegar ayahmu? Kau sungguh tak tahu apa yang menunggumu di luar ruangan ini. Katakan padaku tentang Hamas! Rahasia apa yang kau ketahui? Katakan padaku tentang gerakan pelajar Islam! Aku ingin tahu segalanya!”

Apakah dia benar² mengira aku ini begitu berbahaya? Aku sungguh tak percaya. Tapi, semakin lama kupikir, aku lalu menyadari bahwa memang begitulah yang dirasakannya. Dari sudut pandangnya, fakta bahwa aku ini adalah putra Syeikh Hassan Yousef yang membeli senapan² otomatis tentunya sudah cukup untuk merasa curiga padaku.

Orang² memenjarakan dan menyiksa ayahku dan sekarang akan menyiksaku. Apakah mereka benar² percaya bahwa semua ini akan membuatku menyerah? Sudut pandangku sangatlah berbeda. Masyarakat kami sedang berjuang bagi kemerdekaan, bagi tanah kami.

Ketika aku tak menjawab pertanyaannya, orang itu menghantam meja dengan kepalan tangannya. Lagi, dia mengangkat daguku.

“Aku akan pulang istirahat bersama keluargaku. Silakan bersenang-senang di sini.”

Aku duduk di kursi itu selama berjam-jam, masih membungkuk ke depan dengan posisi tak nyaman. Akhirnya seorang penjaga masuk, membuka borgol tangan dan kaki, memasang kembali penutup kepala, dan menyeretku berjalan melewati koridor lagi. Suara Leonard Cohen terdengar semakin keras.

Kami berhenti, dan penjaga membentakku untuk duduk. Sekarang suara musik sungguh memekakkan telinga. Sekali lagi, tangan dan kakiku diborgol di kursi pendek yang bergetar akibat hentakan musik “First we take Manhattan, then we take Berlin!

Otot²ku terasa kejang karena udara dingin dan posisi duduk yang tak nyaman. Juga sukar bernapas dalam penutup kepala. Akan tetapi sekarang aku tahu bahwa aku tidaklah sendirian. Meskipun suara Leonar Cohen sangat keras, aku bisa mendengar rintihan orang² yang menderita kesakitan.

“Ada orang di sini?” aku berteriak melalui kerudung kepalaku yang berminyak.

“Siapa kau?” terdengar balasan teriakan suara berjarak dekat.

“Aku Mosab.”

“Berapa lama kau berada di sini?”

“Dua hari.”

Dia tak berkata apapun selama dua menit.

“Aku telah duduk di kursi ini selama tiga minggu,” akhirnya dia berkata.

“Mereka membiarkan aku tidur selama empat jam setiap minggu.”

Aku terkejut. Ini tentunya bukan kabar yang ingin kudengar. Orang lain mengatakan dia ditangkap di saat yang sama dengan penangkapanku. Kuperkirakan ada dua puluh orang di ruangan itu.

Percakapan kami terhenti tiba² tatkala seseorang memukul bagian belakan kepalaku keras². Rasa sakit menyengat seluruh kepalaku, memaksaku mataku bekerjap air mata kesakitan di balik kerudung kepala.

“Jangan bicara!” bentak penjaga.

Setiap menit terasa bagaikan sejam, tapi aku tidak tahu lagi bagaimana rasanya sejam itu. Duniaku terasa berhenti. Di luar, aku tahu orang² bangun dan pergi bekerja, dan kembali ke rumah bertemu keluarga mereka. Teman² kelasku sedang belajar untuk menghadapi ujian akhir. Ibuku sedang masak, mencuci, memeluk, dan menciumi adik² laki dan perempuanku.

Tapi di ruangan ini, semuanya duduk. Tiada seorang pun yang bergerak.

First we take Manhattan, then we take Berlin. First we take Manhattan, then we take Berlin. First we take Manhattan, then we take Berlin. First we take Manhattan, then we take Berlin.

Beberapa orang di sekitarku melolong menangis, tapi aku bertekad untuk tidak menangis. Aku yakin ayahku tidak pernah menangis. Dia kuat. Dia tidak menyerah.

Shoter! Shoter!” (Penjaga! Penjaga!), salah seorang dari kami berteriak. Tiada yang menjawabnya karena musik begitu keras. Akhirnya, sang penjaga datang.

“Mau apa kamu?”

“Aku ingin buang air. Aku harus buang air!”

“Tidak boleh. Sekarang bukan waktu buang air.” Dan dia lalu pergi.

Shoter! Shoter!” orang ini menjerit.

Setengah jam kemudian, penjaga kembali. Orang yang berteriak berlaku liar. Sambil memaki orang itu, sang penjaga melepaskan borgol dan menyeretnya keluar. Beberapa menit kemudian, dia membawa orang itu kembali, memborgolnya lagi di kursi kecil, dan lalu pergi.

Shoter! Shoter!” teriak yang lainnya.

Aku lelah dan merasa mual. Leherku sangat pegal. Aku tidak pernah menyadari sebelumnya betapa berat kepalaku. Aku mencoba menyenderkan kepalaku ke tembok di sebelahku. Tapi begitu aku hampir tertidur, penjaga datang dan memukul kepalaku untuk membangunkanku. Tampaknya satu²nya pekerjaannya adalah membuat kami tetap bangun dan diam. Aku merasa bagaikan dikubur hidup² dan sedang disiksa oleh malaikat maut Munkar dan Nakir setelah memberi jawaban pertanyaan yang salah.

Tentunya sudah pagi hari ketika aku mendengar penjaga berjalan bolak-balik. Dia melepaskan borgol kaki dan tangan tahanan dan menggiring orang itu keluar. Setelah beberapa menit, dia membawa orang itu kembali, memborgolnya lagi di kursi kecil, dan pergi ke orang berikutnya untuk melakukan hal yang sama. Akhirnya, dia tiba di giliranku.

Setelah membuka borgolku, dia menarik penutup kepalaku dan membawaku melalui koridor. Dia membuka pintu sel dan menyuruhku masuk. Ketika dia membuka kerudung kepala, aku bisa melihat bahwa dia ternyata orang tua bungkuk yang mirip kera besar yang dulu memberiku makan pagi. Dia mendorong nampan biru bersisi telor rebus, roti, yogurt, dan buah zaitun padaku dengan kakinya. Air comberan setinggi setengah inci menutupi lantai dan tersiram memenuhi nampan. Aku lebih baik mati kelaparan daripada makan makanan itu.

“Kau punya waktu dua menit untuk makan dan menggunakan jamban,” katanya padaku.

Yang kuinginkan hanyalah merenggangkan tubuh, berbaring, dan tidur, barang dua menit saja. Tapi aku hanya berdiri saja, dan waktu berlalu dengan cepatnya.

“Keluar! Keluar!”

Sebelum aku sempat berbuat apapun, penjaga telah menarik penutup kepalaku lagi, menggiring aku kembali ke ruangan di mana aku diborgol di kursi kecil lagi.

First we take Manhattan, then we take Berlin!
Questa09
Posts: 21
Joined: Sat Sep 19, 2009 6:24 pm

Re: Son of Hamas (Putra Hamas)

Post by Questa09 »

Bab 9 – Persenjataan
Muslim Dingin 1995 - Musim Semi 1996

Sr. Adadeh yg ini -> Muslim dingin atau musim dingin 8-[

Thanks GBU atas usaha/kerja keras Sr. Adadeh :heart:
saksang
Posts: 765
Joined: Tue Mar 17, 2009 10:25 pm

Re: Son of Hamas (Putra Hamas)

Post by saksang »

Ralat bos :
Kami kemudian mengetahui bahwa Arafat ternyata tidak dibunuh oleh orang Palestina. Dia ditembak dari belakang oleh mahasiswa hukum Israel. Banyak anggota Hamas yang kecewa atas fakta ini. Aku sendiri heran bahwa ternyata ada fanatik Yahudi yang bertujuan sama dengan Hamas.

yang mati Yitzhak Rabin , di tembak Yigal Amir

:supz:
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re: Son of Hamas (Putra Hamas)

Post by Adadeh »

Wedeeww... ada aja salahnya. Terima kasih atas pemberitahuannya, Questa dan saksang.
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Bab 11 - Tawaran

Post by Adadeh »

Bab 11 - Tawaran
1996


Sepanjang hari, pintu terbuka dan tertutup, sewaktu para tahanan ditarik penutup kepalanya untuk menghadapi pemeriksa yang satu ke pemeriksa yang lain. Dilepas borgol, diborgol lagi, ditanyai, dipukuli. Kadangkala pemeriksa mengguncang keras tahanan. Biasanya hanya dibutuhkan sepuluh kali guncangan sebelum akhirnya tahanan pingsan. Dilepas borgol, diborgol lagi, ditanyai. Pintu² dibuka dan pintu² ditutup.

Setiap pagi kami dibawa keluar untuk makan makanan di atas nampan biru, dan beberapa jam kemudian, kami diberi makan malam di atas nampan oranye. Jam demi jam. Hari demi hari. Makan pagi di atas nampan biru. Makan malam di atas nampan oranye. Aku dengan cepat belajar untuk menunggu waktu makan. Ini bukannya karena aku ingin makan, tapi karena aku ingin mendapat kesempatan untuk berdiri tegak.

Di malam hari setelah kami semua diberi makan, pintu² berhenti dibuka dan ditutup. Para pemeriksa pulang. Kegiatan hari itu berakhir sudah. Dan mulailah malam panjang tak berkesudahan. Orang² menangis, melolong, dan berteriak-teriak. Mereka tidak lagi terdengar sebagai manusia normal. Sebagian malah tidak jelas lagi apa yang mereka ucapkan. Para Muslim mulai melafalkan ayat² Qur’an, memohon kekuatan pada Allâh. Aku berdoa pula, tapi aku tidak mendapat tambahan kekuatan. Aku berpikir tentang Ibrahim yang tolol dan senjata² sial dan tingkahnya yang ceroboh karena menelpon ponsel ayahku.

Aku berpikir tentang ayahku. Hatiku sakit ketika menyadari semua hal yang harus ditanggungnya saat dipenjara. Tapi aku tahu sifat ayahku dengan baik. Bahkan ketika disiksa dan dihina sekalipun, dia tetap menerima nasibnya dengan tabah dan pasrah. Dia bahkan mungkin berteman dengan penjaga² yang diperintahkan untuk memukulinya. Dia juga mungkin bertanya secara tulus pada mereka tentang keadaan keluarganya, latar belakangnya, dan kesukaan mereka.

Ayahku adalah contoh jelas kesederhanaan, kasih, dan pengabdian; meskipun tingginya hanya 170 cm., dia berdiri sama tinggi dengan siapapun yang pernah kukenal. Aku sangat ingin menjadi seperti ayahku, tapi aku tahu perjalananku masih sangat panjang.

Di suatu sore, kegiatan rutinku tiba² terhenti. Seorang penjaga datang dan melepaskan diriku dari kursi kecilku. Aku tahu saat itu belum waktu makan malam, tapi aku tak bertanya apapun. Aku merasa senang bisa pergi ke mana pun, bahkan ke neraka sekalipun, jika ini berarti aku bisa bangkit berdiri dari kursi itu. Aku dibawa ke sebuah kantor kecil di mana aku diborgol lagi, tapi kali ini pada kursi biasa. Seorang petugas Shin Bet masuk ruangan dan memperhatikan diriku dari atas sampai bawah. Meskipun rasa sakit tidak separah sebelumnya, tapi aku tahu mukaku penuh bekas luka dari pukulan popor prajurit.

“Bagaimana keadaanmu?” katanya. “Apa yang terjadi pada matamu?”

“Mereka memukulku.”

“Siapa?”

“Prajurit² yang membawaku ke sini.”

“Itu perbuatan yang dilarang. Itu melanggar hukum. Aku akan periksa untuk mengetahui mengapa ini terjadi.”

Dia tampak yakin pada diri sendiri dan bicara dengan lembut dan penuh hormat padaku. Aku berpikir apakah dia sedang melakukan siasat agar aku bicara padanya.

“Kau akan menghadapi ujian tak lama lagi. Mengapa kau berada di sini?”

“Aku tak tahu.”

“Tentu saja kau tahu. Kau tidak ****, dan kami juga tidak ****. Namaku adalah Loai, kapten Shin Bet di daerahmu. Aku tahu tentang semua keluargamu dan lingkungan tetanggamu. Dan aku tahu segalanya akan dirimu.”

Dan dia rupanya benar. Ternyata dia bertanggung jawab atas setiap orang di lingkungan perumahan kami. Dia tahu siapa bekerja di mana, siapa yang masih bersekolah, apa yang mereka pelajari, istri mana yang baru saja punya anak, dan tentunya juga tahu berapa berat bayi yang baru lahir. Pokoknya semuanya.

“Kau punya pilihan. Aku datang jauh² hari ini untuk duduk dan bicara denganmu. Aku tahu penyidik yang lain tidak ramah padamu.”

Aku melihat wajahnya dengan seksama, mencoba mengetahui apa maksudnya. Orang ini berkulit terang, berambut pirang, dan dia bicara dengan ketenangan yang belum pernah kudengar sebelumnya. Expresi wajahnya ramah, bahkan tampak peduli akan diriku. Aku berpikir apakah ini bagian dari siasat Israel: semenit sebelumnya memukuli tahanan, dan lalu di menit berikutnya mencoba berbaik hati padanya.

“Apa yang ingin kau ketahui?” tanyaku.

“Dengar, kau tahu mengapa kami membawa kamu kemari. Kau harus menjelaskan segalanya, apapun yang kau ketahui.”

“Aku tidak tahu kamu ini ngomong apa.”

“Baiklah, aku akan mempermudah penjelasan bagimu.”

Di sebuah papan tulis putih di belakang meja dia menulis tiga huruf: Hamas, senjata², dan organisasi.

“Silakan jelaskan padaku tentang Hamas. Apa yang kau ketahui tentang Hamas? Bagaimana posisimu dalam Hamas?”

“Aku tak tahu.”

“Apakah kau tahu tentang senjata² yang mereka miliki, datang dari mana, bagaimana mereka mendapatkannya?”

“Tidak tuh.”

“Apakah kau tahu tentang gerakan pemuda Islam?”

“Tidak.”

“Baiklah. Terserah padamu. Aku tak tahu harus bilang apa padamu, tapi kau jelas memilih jalan yang salah… Dapatkah aku membawa makanan bagimu?”

“Tidak. Aku tidak ingin apapun.”

Loai meninggalkan ruangan dan kembali beberapa menit kemudian dengan membawa sepiring nasi ayam dan semangkuk sup. Baunya enak sekali, membuat perutku berbunyi nyaring. Sudah jelas itu adalah makanan yang disediakan bagi para pemeriksa.

“Silakan, Mosab, makanlah. Tak perlu jadi bersikap tegar. Makanlah dan rilekslah sedikit. Kau tahu bahwa aku mengenal ayahmu dalam waktu yang lama. Ayahmu adalah orang yang baik. Dia bukanlah orang yang fanatik. Kami tak tak mengapa kamu jadi bermasalah seperti ini. Kami tidak bisa mengijinkan siapapun menyakiti warga Israel. Kami telah cukup menderita sepanjang hidup kami, dan kami tidak akan bersikap lunak terhadap orang yang mencoba menyakiti warga kami.”

“Aku tidak pernah menyakiti orang Israel manapun. Malah kamu yang menyakiti kami. Kamu menangkap ayahku.”

“Ya. Dia adalah orang yang baik, tapi dia pun menentang Israel. Dia membujuk orang² untuk berperang melawan Israel. Itulah sebabnya kami memenjarakan dia.”

Aku dapat melihat bahwa Loai benar² yakin bahwa aku ini berbahaya. Aku tahu dari pembicaraan dengan orang lain yang telah ditawan di penjara² Israel bahwa biasanya orang² Palestina tidak selalu diperlakukan sekeras perlakuan mereka terhadapku. Mereka pun tidak diinterogasi selama yang dialami diriku.

Yang aku tak tahu adalah bahwa saat itu Hassan Salameh ditangkap di saat yang bersamaan dengan penangkapanku.

Salameh melakukan berbagai serangan sebagai balas dendam atas pembunuhan terhadap gurunya, si pembuat bom Yahya Ayyash. Ketika Shin Bet mendengar aku bicara dengan Ibrahim melalui ponsel ayahku tentang usaha mencari senjata, mereka mengira aku tidak bekerja seorang diri. Malah mereka lalu yakin aku direkrut Al-Qassam.

Akhirnya Loai berkata, “Inilah saat terakhir aku mengajukan tawaran bagimu, setelah itu aku akan pergi. Aku masih banyak kerjaan. Kau dan aku bisa memecahkan masalah saat ini juga. Kita bisa membuat persetujuan. Kau tidak perlu lagi mengalami interogasi lebih lanjut. Kau ini hanya anak muda, dan kau butuh pertolongan.”

Ya, aku memang ingin jadi orang yang berbahaya, dan aku punya akal yang berbahaya. Tapi sudah jelas bahwa aku tidak bisa menjadi radikal. Aku merasa lelah duduk di kursi kecil dan ditutup dengan kerudung yang bau. Agen rahasia Israel ini menganggap aku lebih penting daripada keadaanku yang sebenarnya. Maka aku pun menceritakan semua kejadian mencari senjata, tanpa menyampaikan niatku sebenarnya adalah membunuh orang² Israel. Aku berkata padanya bahwa aku membeli senjata² untuk menolong temanku Ibrahim melindungi keluarganya.

“Sekarang kalian memiliki senjata²?”

“Ya.”

“Di mana senjata² itu sekarang?”

Aku berharap senjata² itu ada di rumahku karena aku akan menyerahkannya dengan segala senang hati pada pihak Israel. Tapi sekarang aku harus melibatkan saudara sepupuku.

“Baiklah. Begini masalahnya. Seseorang yang tak ada hubungannya dengan hal ini menyimpan senjata² itu.”

“Siapa dia?”

“Sepupuku Yousef menyimpan senjata² itu. Dia menikah dengan wanita Amerika, dan sekarang baru punya seorang bayi.” Aku berharap mereka akan membiarkan keluarga itu, dan hanya mengambil senjata² saja, tapi kenyataan lebih rumit daripada harapanku.

Dua hari kemudian, aku mendengar suara² di sebelah dinding selku. Aku merunduk mendekati pipa berkarat yang menghubungkan selku dengan sel sebelah.

“Halo,” panggilku. “Adakah orang di situ?”

Diam saja.

Dan lalu …

“Mosab?”

Apa?!! Aku tidak percaya pada kupingku sendiri. Ternyata itu adalah sepupuku!

“Yousef? Apakah itu kamu?”

Aku sangat senang mendengar suaranya. Hatiku berdebar-debar. Orang itu ternyata Yousef! Tapi dia lalu mulai mencaci-maki diriku.

“Mengapa kau melakukan hal itu? Aku kan baru punya bayi…”

Aku lalu mulai menangis. Aku begitu merindukan untuk bicara dengan manusia lain sewaktu dipenjara. Sekarang saudaraku sendiri duduk di balik tembok, dan dia memaki-maki diriku. Dan tiba² aku sadar: orang² Israel sedang mendengarkan kami; mereka sengaja menempatkan Yousef di sebelah selku agar mereka bisa mendengarkan percakapan kami dan mengetahui apakah aku mengatakan keterangan yang sebenarnya. Tak jadi masalah bagiku. Aku juga telah mengatakan pada Yousef dulu bahwa aku ingin punya senjata untuk melindungi keluargaku, karena itu aku tak khawatir.

Begitu Shin Bet mengetahui bahwa kisahku benar, mereka memindahkanku ke sel yang lain. Lagi² aku sendirian saja dalam selku. Saat itu aku merenungkan bagaimana aku telah membuat kacau kehidupan saudara sepupuku, bagaimana aku telah menyakiti keluargaku, dan bahwa aku telah menyia-nyiakan duabelas tahun bersekolah – dan semua ini gara² aku percaya dengan Ibrahim sialan itu!

Aku tinggal dalam sel itu selama beberapa minggu tanpa kontak dengan manusia lain. Penjaga memasukkan makanan dari lubang di bawah pintu tanpa pernah mengatakan apapun padaku. Aku bahkan mulai rindu akan Leonard Cohen. Aku tak punya bahan bacaan, dan satu²nya cara menghabiskan waktu adalah menunggu makanan yang disajikan di atas nampan berwarna. Tiada kegiatan apapun selalin berpikir dan berdoa.

Akhirnya suatu hari aku dibawa lagi ke sebuah kantor. Di situ Loai telah menunggu untuk berbicara denganku.

“Jika kau bersedia bekerja sama dengan kami, Mosab, maka aku akan melakukan segala yang bisa kulakukan agar kau tidak usah lagi dipenjara.”

Sesaat muncul harapan. Mungkin aku bisa mengakalinya agar dia mengira aku bersedia bekerja sama dengannya dan setelah itu dia akan mengeluarkan aku dari penjara.

Kami berbicara sedikit mengenai berbagai hal yang umum. Lalu dia berkata, “Bagaimana pendapatmu jika aku menawarkanmu untuk bekerja bagi kami? Para pemimpin Israel juga duduk bersama dengan para pemimpin Palestina. Mereka telah berkelahi dalam kurun waktu yang lama, dan di akhir hari mereka berjabatan tangan dan makan malam bersama.”

“Islam melarangku untuk bekerja bagimu.”

“Di satu saat, Mosab, bahkan ayahmu sendiri juga akan datang, dan duduk dan berbicara dengan kami dan kami akan berbicara dengannya. Marilah bekerja sama dan membawa perdamaian bagi masyarakat.”

“Apakah begini caramu membawa perdamaian? Kami membawa perdamaian dengan menghentikan pendudukan.”

“Tidak, kami membawa perdamaian melalui orang² yang berani melakukan perubahan.”

“Aku tidak setuju. Hal itu tidak ada gunanya.”

“Apakah kau takut dibunuh sebagai orang yang bekerja sama bagi Israel?”

“Bukan begitu. Setelah semua penderitaan yang kami alami, aku tidak akan pernah bisa duduk dan bicara denganmu sebagai seorang teman, apalagi bekerja bagimu. Aku tidak bisa melakukan itu. Hal itu bertentangan dengan segala yang kupercaya.”

Aku masih benci segalanya di sekitarku. Pendudukan. PA. Aku telah jadi radikal karena aku ingin menghancurkan sesuatu. Tapi dorongan melakukan itulah yang membuatku mengalami segala macam masalah. Saat ini aku berada di penjara Israel, dan sekarang pria ini memintaku untuk bekerja baginya. Jika aku berkata ya, aku tahu resiko bahaya yang akan kutanggung – dalam kehidupan saat ini dan di akherat.

“Oke. Aku perlu berpikir sejenak tentang tawaranmu,” kudengar diriku berkata.

Aku kembali ke sel penjaraku dan berpikir tentang tawaran Loai. Aku telah mendengar kisah² tentang orang² yang berpura-pura setuju untuk bekerja bagi Israel tapi sebenarnya mereka adalah agen dobel (bekerja bagi Palestina dan juga bagi Israel). Mereka membunuh perekrut Israelnya, mencuri senjatanya, dan menggunakan segala kesempatan untuk menyakiti orang² Israel terlebih hebat lagi. Jika aku berkata ya pada Loai, kupikir Loai tentunya akan membebaskanku. Dia bahkan mungkin memberiku kesempatan untuk punya senjata api yang berfungsi baik kali ini, dan dengan senjata ini aku akan membunuhnya.

Api kebencian berkobar-kobar dalam tubuhku. Aku ingin balas dendam pada prajurit yang memukuliku habis²an. Aku ingin balas dendam pada Israel. Aku tidak peduli berapa harganya, bahkan jikalau pun nyawaku melayang.

Tapi bekerja bagi Shin Bet mengandung lebih banyak resiko daripada sekedar membeli persenjataan. Mungkin lebih baik aku segera melupakannya, menyelesaikan waktu hukuman di penjara, pulang dan belajar, dekat dengan ibu, dan mengurus adik²ku.

Keesokan harinya, penjaga membawaku kembali ke kantor itu. Beberapa menit kemudian Loai masuk.

“Bagaimana keadaanmu hari ini? Tampaknya kau kelihatan lebih segar. Apakah kau mau minum sesuatu?”

Kami duduk dan minum kopi bersama seperti dua kawan lama.

“Bagaimana jika aku terbunuh?” tanya, meskipun sebenarnya dalam hati aku tak peduli begitu peduli jika terbunuh. Aku hanya ingin dia mengira aku berpikir begitu sehingga dia mengira aku jujur.

“Kuberitahu ya, Mosab,” kata Loai. “Aku telah bekerja bagi Shin Bet selama 18 tahun, dan selama itu, hanya satu orang saja yang ketahuan. Semua orang² lain yang terbunuh tak ada hubungannya dengan kami. Masyaratkat jadi curiga pada orang² itu karena mereka tak punya keluarga dan melakukan hal² yang mencurigakan, maka masyarakat lalu membunuh mereka. Tiada seorang pun yang akan tahu tentang dirimu. Kami akan merahasiakanmu sehingga kau tidak akan terungkap. Kami akan melindungimu dan mengurusmu.”

Aku mengamatinya untuk waktu yang lama.

“Baiklah,” aku berkata. “Aku bersedia melakukannya. Sekarang apakah kau bisa membebaskanku?”

“Wah, bagus,” kata Loai dengan senyum lebar. “Sayangny, kami tidak bisa membebaskanmu sekarang. Karena kau dan saudara sepupumu ditangkap setelah Salameh ditangkap, kisahnya tercantum di halaman depan Al-Quds (koran utama Palestina). Setiap orang mengira kau ditangkap karena terlibat dengan pembuat bom itu. Jika kami melepaskanmu terlalu cepat, orang² akan curiga, dan kau bisa ketahuan sebagai orang yang bekerja sama dengan kami. Cara terbaik melindungimu adalah mengirimmu ke penjara – tidak untuk waktu yang lama, jangan khawatir. Kami akan memeriksa apakah ada pertukaran tahanan atau perjanjian pembebasan yang bisa kami gunakan untuk mengeluarkanmu dari sini. Begitu kau sudah pindah penjara, aku yakin Hamas akan menanganimu, terutama karena kau adalah putra Hassan Yousef. Kita akan bertemu lagi setelah kau bebas.”

Mereka membawaku kembali ke dalam sel, di mana aku harus tinggal di sana selama dua minggu lagi. Aku tidak sabar untuk meninggalkan Maskobiyeh. Akhirnya di suatu pagi, penjaga mengatakan padaku sudah saatnya pergi. Dia memborgolku, tapi kali ini tanganku terletak di depanku. Tidak usah lagi pakai penutup kepala bau. Dan untuk pertamakalinya selama 45 hari, aku melihat matahari dan menghirup udara segar. Aku menarik nafas dalam², mengisi paru²ku dengan udara segar dan menikmati hembusan angin di wajahku. Aku duduk di kursi belakang sebuah mobil van Ford. Saat itu adalah musim panas dan aku diborgol pada bangku metal yang jadi panas pula, tapi aku tak peduli. Aku merasa bebas!

Dua jam kemudian, kami tiba di penjara Megiddo, tapi aku lalu harus tetap duduk dalam van selama satu jam lagi, menunggu ijin untuk masuk. Saat akhirnya kami masuk, dokter penjara memeriksaku dan mengumumkan bahwa aku sehat. Aku lalu mandi dengan sabun dan diberi baju bersih dan peralatan mandi lainnya. Di waktu makan siang, aku makan makanan panas untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu.

Aku ditanyai dengan organisasi apa aku terlibat.

“Hamas,” jawabku.

Di penjara² Israel, setiap organisasi diperbolehkan mengawasi anggota² mereka sendiri. Tujuannya adalah untuk menghentikan masalah sosial atau malah menciptakan konflik lebih besar dalam organisasi tersebut. Jika para tawanan menggunakan kekuatan mereka untuk berkelahi satu sama lain, maka mereka terlalu lemah untuk melawan Israel.

Sewaktu masuk ke penjara baru, semua tawanan wajib mengumumkan asal organisasi. Kami harus memilih berasal dari organisasi Hamas, Fatah, Jihad Islam, Barisan Depan Populer bagi Pembebasan Palestina (Popular Front for the Liberation of Palestine = PFLP), Gerakan Demokrasi bagi Pembebasan Palestina (Democratic Front for the Liberation of Palestine = DFLP), atau organisasi lain. Kita tidak bisa tidak berhubungan dengan apapun. Tawanan yang tidak berhubungan dengan apapun harus memilih untuk bergabung dengan organisasi apa. Di Megiddo, Hamas berkuasa total dalam penjara. Hamas adalah organisasi terkuat dan terbesar di sana. Hamas menetapkan aturan, dan semua tunduk padanya.

Ketika aku masuk, tawanan² yang lain menyambutku dengan hangat, menepuk pundakku dan menyelamati diriku karena bergabung bersama mereka. Di petang hari, kami duduk bersama dan membagi kisah kami. Setelah beberapa saat, aku mulai merasa tidak nyaman. Salah satu dari orang² ini tampaknya adalah pemimpin dari para tawanan, dan dia banyak tanya padaku – terlalu banyak pertanyaan. Meskipun dia adalah emir – julukan bagi ketua Hamas di penjara – aku tidak percaya padanya. Aku sudah banyak mendengar cerita tentang “burung,” istilah bagi mata² musuh dalam penjara.

Jika dia adalah mata² Shin Bet, pikirku, mengapa dia tidak percaya padaku? Bukankah mereka sudah menganggap aku bekerja bagi mereka? Tapi aku pura² tidak terganggu dan tidak bicara apapun selain yang telah kusampaikan pada para penanya di penjara yang dulu.

Aku berada di penjara Megiddo selama dua minggu, sholat dan puasa dan membaca Qur’an. Ketika tawanan² baru datang, aku memperingatkan mereka tentang si emir.

“Kau harus berhati-hati,” kataku, “Orang itu dan teman²nya tampaknya adalah burung².” Para tawanan baru itu dengan cepat memberitahu emir tentang kecurigaanku, dan keesokan harinya aku dikembalikan ke Maskobiyeh. Di pagi harinya, aku dibawa menghadap ke kantor.

“Bagaimana perjalananmu ke Megiddo?” tanya Loai.

“Menyenangkan,” kataku sarkastik.

“Tahu engga’, tak banyak orang yang bisa melihat burung di saat pertama kali dia melihatnya. Beristirahatlah sekarang. Dan suatu hari nanti kita akan melakukan sesuatu bersama.”

Ya, dan suatu hari nanti akan kutembak kepalamu, begitu pikirku sewaktu aku melihatnya berlalu. Aku merasa bangga bisa berpikiran radikal seperti itu.

Aku kembali dipenjara di situ selama 25 hari, tapi kali ini aku ditempatkan di sebuah sel bersama tiga tawanan lainnya, termasuk saudara sepupuku Yousef. Kami menghabiskan waktu dengan bicara dan berbagi cerita. Salah seorang mengatakan bahwa dia telah membunuh seseorang. Yang lain membual bahwa dia mengirim seorang pembom bunuh diri. Setiap orang punya kisah menarik untuk disampaikan. Kami duduk bersama, sholat, bernyanyi, dan mencoba melakukan kegiatan yang menyenangkan. Apapun kami lakukan untuk melupakan keadaan sekitar. Tempat itu bukanlah tempat yang layak bagi manusia.

Akhirnya, kami semua kecuali saudara sepupuku dikirim ke Megiddo. Tapi kali ini kami tidak akan bersama para burung lagi; kami menuju penjara sebenarnya. Dan sejak itu keadaan tidak akan pernah jadi sama seperti sebelumnya.
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Bab 12 – Nomer 823

Post by Adadeh »

Bab 12 – Nomer 823
1996


Mereka dapat mencium bau kami saat kami datang.

Image
Peta letak Megiddo di Israel.

Image
Mungkin ini penjara Megiddo.

Image
Penjara Megiddo.

Rambut dan jenggot kami jadi panjang setelah tiga bulan tanpa gunting atau silet pencukur. Baju kami kotor sekali. Dibutuhkan waktu dua minggu untuk menghilangkan bau bekas penjara Maskobiyeh. Tubuh digosok kuat² sekali pun tidak sanggup menghilangkan bau. Hanya waktu yang akhirnya bisa menghilangkannya.

Kebanyakan tawanan awalnya ditempatkan terlebih dulu di mi’var, yang adalah sebuah unit di mana setiap orang diproses sebelum dipindahkan ke kamp penjara yang lebih besar. Akan tetapi, beberapa tawanan dianggap terlalu berbahaya untuk bergabung dengan tawanan² lainnya dan harus tetap tinggal di mi’var selama bertahun-tahun. Orang² ini, sudah bisa ditebak, semuanya adalah anggota Hamas.

Sebagai putra Syeikh Hassan, aku merasa terbiasa dikenal kemana pun aku pergi. Jika ayah adalah raja, maka aku adalah pangeran – pewaris takhta kekuasaan. Dan begitulah aku diperlakukan.

“Kami dengar kau berada di sini sebulan yang lalu. Pamanmu sekarang berada di sini. Dia akan segera mengunjungimu.”

Makan siang disajikan panas² dan mengenyangkan, meskipun tidak seenak makanan yang kumakan ketika dulu bersama para burung. Meskipun begitu aku tetap merasa senang. Sekalipun masih dipenjara, aku merasa lebih bebas. Ketika aku sedang seorang diri, aku memikirkan tentang Shin Bet. Aku telah berjanji pada mereka untuk bekerja bagi mereka, tapi mereka tak memberitahu aku apapun. Mereka tidak pernah menjelaskan bagaimana mereka akan berkomunikasi denganku atau apa sebenarnya yang dimaksud dengan bekerja sama. Mereka membiarkan aku begitu saja, tanpa ada nasehat apapun tentang bagaimana aku harus berlaku. Aku sangat heran. Aku juga tidak tahu siapa diriku sebenarnya sekarang. Kupikir ada kemungkinan aku telah dijebak.

Tempat mi’var ini dibagi dalam dua asrama yang besar – Ruang Delapan dan Ruang Sembilan – kedua ruang ini penuh dengan ranjang bertingkat. Bangunan asrama² berbentuk huruf L dan setiap bangunan ditempati 20 tawanan. Di sudut L terdapat lapangan olahraga dengan lantai semen yang dicat dan meja ping-pong rusak yang disumbangkan oleh Palang Merah. Kami diperbolehkan berolahraga dua kali sehari.

Tempat tidurku terletak di ujung Ruang Sembilan, dekat kamar mandi. Terdapat dua kamar kecil dan dua tempat mandi. Tempat buang air hanyalah sebuah lubang di lantai di mana kami harus berdiri atau jongkok, lalu setelah selesai buag air, kami siram sendiri kotoran dengan seember air. Ruangan ini panas dan lembab, dan baunya sungguh memuakkan.

Sebenarnya malah seluruh asrama juga begitu keadaannya. Orang² menderita sakit dan batuk²; sebagian malah tidak pernah mandi. Semua tawanan berbau mulut busuk. Asap rokok memenuhi ruangan dan kipas angin lemah tidak berarti apapun. Juga tak ada jendela ventilasi.

Kami dibangunkan setiap jam 4 pagi agar bersiap untuk sholat Fajar. Kami menunggu di antrian dengan handuk kami, masih dalam keadaan mengantuk dan bau. Lalu kami harus melakukan wudu. Untuk memulai membersihkan diri secara Islam sebelum sholat, kami membasuh tangan sampai ke pergelangan tangan, kumur², dan membersihkan lubang hidung dengan air. Kami gosok wajah kami dengan dua tangan dari jidat sampai ke dagu, dan dari kuping satu ke kuping yang lain, membasuh tangan sampai ke sikut, dan membasuh kepala dari jidat sampai ke belakang leher dengan tangan yang basah air. Akhirnya membasahi jari² tangan untuk membersihkan kuping bagian dalam dan luar, seluruh leher, dan membasuh kaki sampai ke pergelangan kaki. Lalu kami ulang semua proses ini dua kali lagi.

Pada jam 4:30 pagi, setelah semua selesai melakukan wudu, seorang imam – yang besar, sangar dengan jenggot lebat – melafalkan adhan. Lalu dia mulai melafalkan Al-Fatihah (Sura pertama Qur’an), dan kami lalu melakukan empat rakat (gerakan berdoa, berdiri, berlutut, dan bersujud).

Kebanyakan tawanan adalah Muslim anggota Hamas atau Jihad Islam, jadi melakukan sholat seperti ini sudah menjadi kegiatan rutin bagi kami. Tapi tawanan² lain yang sekuler dan komunis juga dipaksa bangun di waktu yang sama, meskipun mereka tidak ikut sholat. Dan tentu saja mereka tidak senang akan hal ini.

Seorang tawanan sudah menjalani setengah dari masa hukuman 15 tahun. Dia muak sekali dengan segala rutinitas Islam, dan dia menghabiskan waktu lama sekali untuk bangun subuh. Beberapa tawanan menepuknya, memukulnya, sambil membentak, “Bangun!” Akhirnya mereka menyiramkan air ke kepalanya. Aku kasihan padanya. Semua proses wudhu, sholat, dan pelafalan Qur’an memakan waktu satu jam. Setelah itu orang² kembali tidur. Tiada seorang pun yang bicara. Sunyi senyap.

Aku selalu tidak bisa tidur kembali, dan biasanya aku tidak tertidur setelah jam 7 pagi. Sewaktu akhirnya aku tertidur, seseorang berteriak, “Adad! Adad!” (Nomer! Nomer!). Ini adalah peringatan bahwa sekarang adalah saatnya melakukan penghitungan kepala.

Kami duduk di tempat tidur kami dengan punggung menghadap prajurit Israel yang menghitung kami, karena dia tak bersenjata. Dia hanya butuh waktu lima menit untuk menghitung kami dan lalu kami boleh tidur lagi.

Jalsa! Jalsa!” jerit emir pada jam 8:30 pagi. Ini adalah saat rapat dua kali sehari yang dilakukan organisasi Hamas dan Jihad Islam. Aku tidak bisa tidur dua jam penuh. Ini sungguh menjengkelkan. Sekali lagi, orang² berbaris ke kamar mandi untuk mempersiapkan diri menghadiri jalsa jam 9 pagi.

Di jalsa Hamas pertama hari itu, kami belajar aturan membaca Qur’an. Aku sudah tahu akan hal ini dari ayahku, tapi kebanyakan tawanan tidak mengetahuinya. Jalsa kedua hari itu membicarakan tentang Hamas, sikap disiplin di dalam penjara, pengumuman tentang tawanan² yang baru datang, dan kabar tentang kejadian di luar penjara. Tak ada rahasia atau rencana apapun, hanya berita umum saja.

Setelah setiap jalsa, kami seringkali menghabiskan waktu dengan nonton TV di bagian ujung ruangan, berhadapan dengan kamar kecil. Suatu pagi, aku sedang menonton kartun dan lalu sebuah iklan ditayangkan.

GEDEBUG!

Sebuah papan kayu besar jatuh di hadapan layar TV.

Aku meloncat kaget dan melihat sekeliling.

“Ada apa?”

Aku lalu mengetahui bahwa papan itu terikat pada tali besar yang diikatkan pada langit². Di sebelah ruangan tampak seorang tawanan memegang erat² ujung tali itu. Rupanya tugasnya adalah melihat segala yang dianggap haram dan menjatuhkan papan kayu di depan TV agar penonton tidak bisa melihatnya.

“Kenapa kau menjatuhkan papan kayu itu?” tanyaku.

“Untuk melindungi kamu sendiri,” katanya kasar.

“Melindungi? Dari apa?”

“Gadis di iklan itu,” jelasnya. “Gadis itu kan tak pakai jilbab.”

Aku melihat emir. “Apakah dia serius tentang ini?”

“Ya, tentu saja,” kata emir.

“Tapi kami semua punya TV di rumah kami, dan kami tidak melakukan hal seperti ini di rumah. Kenapa musti melakukannya di sini?”

“Berada di penjara membuat orang menghadapi godaan² yang tak lumrah,” jelasnya. “Di sini tidak ada perempuan. Yang mereka tayangkan pada TV bisa menimbulkan masalah dan berakibat buruk bagi mereka. Karena itulah dibuat aturan seperti ini dan beginilah kami menanggulangi masalah itu.”

Tentu saja tidak semua orang setuju akan hal itu. Apa yang boleh atau tak boleh dilihat sangat tergantung dari orang yang memegang tali. Jika orang itu berasal dari Hebron, dia akan menjatuhkan papan untuk menutupi layar TV, bahkan jika yang muncul hanyalah sosok kartun wanita tanpa jilbab. Tapi jika orang itu berasal dari Ramallah, kami bisa nonton lebih bebas. Kami seharusnya bergiliran memegang tali, tapi aku tak mau menyentuh benda tolol itu.

Setelah makan siang, tiba waktunya untuk melakukan sholat Dhuhr, lalu setelah itu saat tenang. Kebanyakan tawanan tidur siang. Biasanya aku membaca buku. Dan di sore hari, kami diperbolehkan pergi ke lapangan olahraga untuk berjalan-jalan sedikit atau mengobrol dengan tawanan lain.

Hidup di penjara sangatlah membosankan bagi para anggota Hamas. Kami tak boleh bermain kartu. Kebebasan membaca buku dibatasi dan hanya boleh membaca Qur’an dan literatur Islam saja. Organisasi non-Hamas tidak menerapkan aturan sekeras itu.

Saudara sepupuku Yousef akhirnya muncul di suatu sore, dan aku sangat senang bertemu dengannya. Penjaga² Israel memperbolehkan kami menyimpan alat cukur, dan kami memangkas habis rambut kepalanya untuk menghilangkan bau penjara Moskabiyeh.

Yousef bukanlah anggota Hamas; dia adalah orang sosialis. Dia tidak percaya pada Allâh, tapi percaya akan Tuhan. Dengan begitu, dia lebih cocok jadi anggota Gerakan Demokrasi bagi Pembebasan Palestina (Democratic Front for the Liberation of Palestine = DFLP), DFLP berjuang untuk berdirinya Negara Palestina, dan ini tidak sama dengan tujuan Hamas yang bercita-cita mendirikan Negara Islam.

Beberapa hari setelah Yousef datang, pamanku yakni Ibrahim Abu Salem, datang menjenguk. Dia berada di penahanan administratif sejak dua tahun lalu, meskipun tiada tuduhan resmi yang diajukan padanya. Karena dia dianggap berbahaya bagi keamanan Israel, dia akan terus berada di sana untuk waktu yang lama. Sebagai Hamas VIP (Very Important Person = Orang Sangat Penting), pamanku Ibrahim diijinkan mengunjungi mi’var dan kamp penjara dan dari satu kamp ke kamp yang lain. Maka dia datang berkunjung ke mi’var untuk menengok keponakannya, agar yakin aku baik² saja, dan membawa beberapa baju bagiku – tanda peduli yang sangat bertentangan dengan sifatnya sebagai orang yang dulu suka memukuliku dan tidak peduli pada keluargaku saat ayah sedang dipenjara.

Dengan tinggi hampir mencapai 180 cm, Ibrahim Abu Salem adalah orang yang tinggi besar. Perutnya yang menonjol keluar – tanda kecintaannya pada makanan – membuat dia tampak gembul dan tidak berbahaya. Tapi aku tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Pamanku Ibrahim adalah orang yang kejam, mementingkan diri sendiri, pendusta, dan munafik – sangat bertolak belakang dengan ayahku.

Tapi di dalam tembok penjara Megiddo, paman Ibrahim diperlakukan bagaikan seorang raja. Semua tawanan menghormatinya, tidak peduli dari organisasi manapun , karena usianya, kemampuannya mengajar, pekerjaannya di universitas², dan prestasi politik dan akademinya. Biasanya, para pemimpin tawanan memanfaatkan kedatangannya dan memintanya untuk memberi kuliah.

Semua tawanan suka mendengarkan Ibrahim saat dia memberi kuliah. Dia tidak mengajar seperti dosen, tapi lebih sebagai penghibur. Dia suka membuat orang tertawa, dan jika dia mengajar tentang Islam, maka dia menyampaikan ajarannya dengan menggunakan bahasa yang sederhana sehingga siapapun bisa mengerti.

Akan tetapi, hari ini tiada seorang pun yang tertawa. Sebaliknya, semua tawanan duduk bersebelahan dengan diam saat Ibrahim bicara dengan kemarahan berkobar-kobar tentang orang² yang bekerja sama dengan Israel dan bagaimana mereka mempermalukan keluarga mereka dan merupakan musuh orang² Palestina. Dari caranya bicara, aku merasa dia sebenarnya berkata padaku, “Jika kau tahu sesuatu yang belum kau sampaikan padaku, Mosab, katakan padaku sekarang juga.”

Tentu saja aku tetap diam saja. Bahkan andaikata sekalipun Ibrahim curiga akan hubunganku dengan Shin Bet, dia tidak akan berani mengatakannya terus terang pada putra Syeikh Hassan Yousef.

“Jika kau butuh apapun,” katanya padaku sebelum pergi, “beritahu aku saja. Aku akan mencoba agar kau berada dekat denganku.”

Saat itu adalah musim panas 1996. Meskipun aku baru berusia 18 tahun, aku merasa bagaikan telah menjalani beberapa kehidupan dalam waktu beberapa bulan saja. Dua minggu setelah paman datang, seorang wakil tawanan, atau shawish, datang ke Ruangan Sembilan dan memanggil, “Delapan dua tiga!” Aku mendongak terkejut karena mendengar nomerku dipanggil. Lalu dia juga memanggil tiga atau empat nomer lain dan memberitahu kami agar mengumpulkan barang² kami.

Sewaktu kami keluar dari mi’var ke padang gurun, udara panas menerpaku bagaikan napas naga dan membuat kepalaku pusing sejenak. Sejauh mata memandang tak ada lain yang tampak selain ujung² bagian atas tenda coklat. Kami berbaris menuju bagian tenda pertama, bagian kedua, bagian ketiga. Ratusan tawanan datang berlari menuju pagar tinggi berantai untuk melihat tawanan² yang baru datang. Kami tiba di Bagian Lima, dan pintu gerbang terbuka. Lebih dari lima puluh orang mengelilingi, memeluk kami, dan menjabat tangan kami.

Image
Para tawanan Palestina di penjara Megiddo.

Kami dibawa ke bagian tenda administrasi dan ditanyai dari organisasi mana kami berasal. Lalu aku dibawa ke tenda Hamas, di mana emir menerimaku dan menjabat tanganku.

“Selamat datang,” katanya. “Senang berjumpa denganmu. Kami sangat bangga akan kamu. Kami akan menyiapkan tempat tidur bagimu dan memberi beberapa handuk dan barang² lain yang kau butuhkan.” Lalu dia mengatakan lelucon penjara, “Anggaplah seperti rumah sendiri dan nikmati tinggal di sini.”

Setiap bagian penjara terdiri dari 12 tenda. Setiap tenda berisi 20 tempat tidur dan tempat sepatu. Kapasitas maximum setiap bagian adalah 240 tawanan. Bayangkan bingkai empat persegi panjang, dihalangi dengan pagar kawat duri silet. Bagian Lima dibagi dalam kotak². Sebuah tembok yang bagian atasnya diberi kawat duri silet, membagi-bagi Bagian dari utara ke selatan, dan pagar rendah membagi tempat itu dari timur ke barat.

Image
Kawat duri silet.

Kotak bagian Satu dan Two (sebelah kanan dan kiri atas) masing² memiliki tiga buah tenda Hamas. Kotak bagian Tiga (kanan bawah) memiliki empat tenda – masing² untuk Hamas, Fatah, kombinasi DFLP/PFLP, dan Jihad Islam. Dan Kotak bagian Empat (kiri bawah) memiliki dua tenda, satu untuk Fatah, dan satu lagi untuk DFLP/PFLP.

Kotak Empat memiliki sebuah dapur, WC, tempat mandi, dan tempat untuk shawish dan pekerja dapur, dan baskom² untuk wudhu. Kami berbaris di antrean untuk melakukan sholat di lapangan terbuka di Kotak Dua. Tentunya terdapat menara penjaga di setiap sudut. Pintu gerbang utama di Kotak Lima terletak di pagar kawat antara Kotak Tiga dan Empat.

Satu keterangan lagi: pagar dari timur ke barat memiliki pintu² gerbang diantara Kotak Satu dan Tiga dan Dua dan Empat. Pintu² dibiarkan terbuka hampir sepanjang hari, kecuali pada saat penghitungan kepala di mana pintu² ini ditutup agar penjaga bisa menghitung setiap bagian.

Aku ditempatkan di tenda Hamas di ujung atas Kotak bagian Satu, di ranjang ketiga dari kanan. Setelah penghitungan kepala, kami semua duduk² sambil ngobrol, dan lalu terdengar suara, “Barid, ya mujahidin! Barid!” (Surat bagi pejuang kemerdekaan! Surat!).

Suara itu milik sawa’id dari bagian lain, dan semua orang memperhatikannya. Sawa’id adalah petugas keamanan Hamas di dalam penjara, yang membagi-bagikan pesan dari satu bagian ke bagian lainnya. Kata Sawa’id dalam bahasa Arab berarti “tangan² yang melempar.”

Setelah terdengar teriakan itu, dua orang laki berlari ke luar tenda, menjulurkan tangan² mereka di udara dan melihat langit. Bagaikan sudah diatur saja, sebuah bola datang entah dari mana dan jatuh tepat di tangan² yang sudah siap itu. Beginilah cara para pemimpin Hamas di bagian kami menerima perintah² bersandi rahasia dari pemimpin di bagian lain. Setiap organisasi Palestina di penjara menggunakan cara ini untuk berkomunikasi. Masing² organisasi memiliki nama sandi tersendiri, sehingga jika suara diteriakkan, para “penangkap bola” tahu bahwa mereka harus lari ke tempat di mana bola itu akan jatuh.

Bola² ini dibuat dari roti yang diempukkan dengan air. Pesan dimasukkan ke dalamnya dan roti digulung bulat bagaikan bola sebesar bola softball, dikeringkan sampai mengeras. Tentu saja hanya pelempar dan penerima terbaik yang dipilih sebagai “tukang pos.”

Kejadian menarik itu berakhir dengan cepat. Lalu tiba saat makan malam.
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Bab 13 – Jangan Percaya Siapapun

Post by Adadeh »

Bab 13 – Jangan Percaya Siapapun
1996


Setelah ditahan di bawah tanah begitu lama, rasanya senang sekali bisa melihat langit. Rasanya bagaikan belum melihat bintang² di langit selama bertahun-tahun. Bintang² tampak indah, meskipun lampu² kamp tahanan meredupkan terang bintang. Tapi kemunculan bintang² juga merupakan tanda sudah waktunya dilakukan penghitungan kepala dan waktu tidur. Dan inilah yang sebenarnya membingungkan diriku.

Nomerku adalah 823, dan para tawanan ditempatkan berdasarkan urutan nomer. Ini berarti seharusnya aku berada di tenda Hamas di Kotak Tiga. Tapi karena tenda di sana sudah penuh, aku lalu ditempatkan di tenda di sudut di Kotak Satu.

Ketika dilakukan penghitungan kepala, aku harus berada di tempat yang tepat di Kotak Tiga. Dengan begitu, saat penjaga menghitung daftarnya, dia tidak usah mengingat semua penyesuaian yang harus dilakukan agar semua berjalan rapih.

Semua gerakan pada penghitungan kepala dilakukan dengan teratur.

Dua puluh lima prajurit yang bersenjatakan senapan M16 masuk ke Kotak Satu dan bergerak dari tenda ke tenda. Kami semua berdiri menghadap kanvas tenda, punggung kami menghadap prajurit. Tiada seorang pun yang berani bergerak karena takut ditembak.

Setelah mereka selesai di satu tenda, para prajurit itu bergerak ke Kotak Dua. Setelah itu, mereka menutup dua pintu gerbang di pagar, sehingga tiak ada seorang pun dari Kota Satu atau Dua bisa menyelip ke Kotak Tiga atau Empat untuk menutupi tawanan yang hilang.

Di malam pertama di Kotak Lima, aku menyadari adanya hal misterius yang terjadi. Ketika aku pertama kali masuk ke Kotak Tiga, seorang tawanan yang tampak sangat sakit berdiri di sebelahku. Dia tampak sangat menyedihkan, seperti hampir mati saja. Kepalanya dicukur gundul; dia jelas tampak lelah sekali. Dia juga tidak memandang mataku. Siapakah orang ini, dan apa yang terjadi dengannya? Aku heran.

Ketika para prajurit selesai menghitung di Kotak Satu dan bergerak ke Kotak Dua, seseorang merenggut orang itu keluar tenda, dan seorang tawanan mengambil tempatnya di sebelahku. Aku di waktu kemudian mengetahui bahwa celah kecil telah dibuat di pagar antara Kotak Satu dan Tiga sehingga mereka bisa mengganti tawanan dengan tawanan lain.

Sudah jelas bahwa para tawanan tidak mau prajurit²itu melihat orang yang dicukur gundul tersebut. Tapi mengapa?

Malam itu, sambil berbaring di tempat tidurku, aku mendengar seseorang merintih kesakitan tak jauh dari tempatku. Seseorang jelas sangat menderita kesakitan. Tapi aku lalu tertidur lelap.

Pagi hari selalu datang terlalu cepat, dan sebelum aku menyadari, kami telah dibangunkan untuk sholat Fajar. Dari 240 tawanan di Kotak Lima, 140 orang bangun dan berdiri di antrian untuk menggunakan 6 WC – sebenarnya hanya enam lubang dengan pembatasan yang mengelilinginya. Delapan baskom tersedia untuk melakukan wudu. Waktu yang disediakan adalah 30 menit.

Lalu kami berjejer untuk sholat. Kegiatan sehari-hari serupa seperti di mi’var. Tapi jumlah tawanan di sini 12 kali lebih besar. Meskipun banyak tawanan, semua kegiatan berlangsung dengan sangat teratur. Tampaknya tiada seorang pun yang membuat kesalahan. Hal ini terasa aneh.

Setiap orang tampak ketakutan. Tiada seorang pun yang berani melanggar aturan. Tiada seorang pun yang berani menggunakan WC terlalu lama. Tiada yang berani melihat mata tawanan yang sedang diinterogasi atau mata prajurit Israel. Tiada yang berdiri terlalu dekat dengan pagar.

Tak lama kemudian aku mulai mengetahui alasannya. Di bawah pengamatan pengawas penjara, Hamas berkuasa diantara para tawanan penjara dan mereka mencatat angka perbuatan tawanan. Jika tawanan melanggar aturan, maka dia mendapat angka merah. Jika jumlah angka merah terlalu banyak, maka kau harus menghadap maj’d, petugas keamanan Hamas – orang² maj’d ini sangar dan tidak pernah tertawa atau bercanda.

Pada umumnya kami tidak melihat maj’d karena mereka sibuk mengumpulkan keterangan. Bola² berisi pesan dikirimkan dari satu bagian ke bagian lain berasal dari mereka dan untuk mereka.

Suatu hari, ketika aku sedang duduk di tempat tidurku, para maj’d masuk dan berteriak, “Semua keluar dari tenda ini!” Tiada seorang pun yang mengatakan apapun. Tenda itu kosong dalam sekejap. Mereka lalu menarik seorang pria masuk ke dalam tenda, menutup tenda, dan lalu dua orang menjaga di luar tenda. Seseorang memasang TV keras². Orang² lain mulai bernyanyi dan membuat suara² keras.

Aku tak tahu apa yang terjadi dalam tenda, tapi aku tidak pernah mendengar manusia menjerit kesakitan seperti jeritan orang dalam tenda itu. Apa sih yang dilakukannya sampai dia diperlakukan begitu? Aku sangat heran. Siksaan berlangsung selama 30 menit. Lalu dua maj’d membawa dia keluar dan memasukkannya ke dalam tenda lain di mana interogasi dilakukan lagi.

Aku sedang mengobrol dengan seorang teman bernama Akel Sorour, yang berasal dari desa dekat Ramallah, ketika kami disuruh keluar dari tenda.

“Apa yang terjadi di dalam tenda?” tanyaku.

“Oh, dia adalah orang jahat,” katanya ringan.

“Aku tahu dia orang jahat, tapi apa yang mereka lakukan terhadapnya? Dan apa yang telah dia lakukan?”

“Dia tidak melakukan kesalahan apapun di penjara,” jelas Akel. “Tapi kata mereka ketika dia berada di Hebron, dia memberi informasi ke Israel tentang anggota Hamas, dan tampaknya dia membocorkan banyak keterangan. Maka mereka menyiksa dia dari waktu ke waktu.”

“Bagaimana cara menyiksanya?”

“Mereka biasanya menusukkan jarum di bawah kuku²nya dan melelehkan nampan² makanan plastik ke atas kulitnya. Atau mereka membakar bulu tubuhnya. Kadangkala mereka meletakkan tongkat besar di belakang lututnya, memaksanya untuk jongkok selama berjam-jam, dan melarangnya tidur.”

Sekarang aku mengerti mengapa setiap orang begitu berhati-hati dan apa yang terjadi dengan orang gundul yang kulihat saat pertama kali aku datang ke sini. Para maj’d membenci orang² yang bekerja sama dengan Israel, kami semua dicurigai sebagai mata² Israel kecuali jika kami bisa membuktikan tidak melakukan itu.

Karena Israel begitu berhasil mengenal cabang² Hamas dan memenjarakan para anggotanya, maj’d mengira organisasinya dipenuhi mata², dan mereka ingin menemukan mata² tersebut. Mereka mengamati segala perbuatan yang kami lakukan. Mereka mengawasi sikap kami, mendengarkan semua yang kami katakan. Dan mereka menghitung angka kesalahan. Kami tahu siapa mereka, tapi kami tidak tahu orang yang mengawasi kami bagi mereka. Orang yang kukira adalah teman, bisa jadi bekerja bagi maj’d, dan ini bisa saja mengakibatkan aku diinterogasi oleh mereka besok hari.

Aku mengambil keputusan untuk bersikap sangat berhati-hati. Begitu aku tahu keadaan yang sarat rasa curiga dan pengkhianatan di kamp ini, hidupku berubah drastis. Rasanya aku ini jadi orang lain sama sekali – orang yang tidak bisa bergerak bebas, tidak bisa bicara bebas, tidak bisa percaya atau berhubungan atau berteman dengan orang lain. Aku takut berbuat salah, takut terlambat, takut ketiduran pada saat harus bangun, atau lupa mengangguk saat jalsa.

Jika seseorang “tertangkap” oleh maj’d sebagai mata² Israel, tamat sudah hidupnya. Kehidupan keluarganya juga akan hancur. Anak²nya, istrinya, semua orang akan menyingkirkannya. Ketahuan sebagai mata² Israel adalah reputasi terjelek yang bisa dialami seseorang. Antara tahun 1993 sampai 1996, lebih dari 150 orang dituduh sebagai mata² diiterogasi oleh Hamas dalam penjara² Israel. Sekitar 16 orang mati dibunuh.

Karena aku bisa menulis dengan cepat dan rapih, maka maj’d meminta aku untuk jadi juru tulis mereka. Informasi yang kutulis adalah rahasia besar, kata mereka. Dan mereka memperingatkanku untuk tidak menyampaikannya pada siapapun.

Aku menghabiskan hari²ku menulis ulang catatan tentang para tawanan. Kami sangat berhati-hati agar informasi ini tidak jatuh ke tangan penjaga penjara. Kami tidak pernah menyebut nama, hanya nomer kode. Ditulis di atas kertas paling tipis yang ada, informasi itu bagaikan pornografi yang paling menjijikan. Isinya antara lain adalah orang² mengaku bersetubuh dengan ibu² mereka. Seseorang berkata dia bersetubuh dengan seekor sapi. Yang lain bersetubuh dengan anak perempuannya. Seorang pria bersetubuh dengan seorang wanita yang adalah juga tetangganya, dan merekam kegiatan itu dengan kamera rahasia, dan memberikan foto²nya pada Israel. Pihak Israel, kata laporan itu, menunjukkan foto² itu pada wanita itu dan mengancam untuk menyebarkannya pada keluarganya jika wanita itu menolak untuk bekerja sebagai mata² Israel. Maka mereka tetap berhubungan seks bersama sambil mengumpulkan keterangan dan mulai bersetubuh dengan orang lain dan merekamnya secara rahasia lagi, melaporkan pada Israel, Israel lalu mengancam, dan seterusnya, sampai seluruh desa tampaknya ramai² menjadi mata² Israel. Ini adalah informasi² pertama yang harus kutulis ulang.

Semuanya ini tampak tidak waras bagiku. Sewaktu sedang menulis ulang informasi² tersebut, aku menyadari bahwa orang² yang dicurigai itu disiksa hebat sambil ditanyai berbagai hal yang mereka pasti tidak tahu dan mereka memberi jawaban apapun yang memuaskan para penyiksa agar penyiksaan berhenti. Aku juga mengira sebagian interogasi dilakukan tanpa tujuan apapun selain untuk memuaskan fantasi seksual para maj’d yang dipenjara.

Lalu suatu hari, temanku Akel Sorour menjadi korban mereka pula. Dia adalah anggota cabang Hamas dan telah ditangkap beberapa kali, tapi untuk alasan tertentu dia tidak pernah diterima dengan baik oleh tawanan Hamas dari kota besar. Akel hanyalah petani sederhana. Caranya bicara dan makan tampak aneh bagi orang lain, dan mereka mengolok-oloknya. Dia mencoba sebaik mungkin untuk meraih kepercayaan dan hormat mereka dengan cara memasak dan membersihkan bagi mereka, tapi mereka memperlakukannya bagaikan sampah karena mereka tahu dia melayani mereka berdasarkan rasa takut.

Akel sendiri punya alasan untuk merasa takut. Kedua orangtuanya telah wafat. Satu²nya keluarga yang dimilikinya adalah saudara perempuannya. Ini membuat dia lemah, karena tak ada siapapun yang bisa membalas dendam atas siksaan yang dialaminya. Terlebih lagi, temannya yang diinterogasi oleh maj’d menyebut nama Akel saat disiksa. Aku sungguh merasa kasihan padanya. Tapi apa yang bisa kulakukan untuk menolongnya? Aku hanyalah anak muda yang kebingungan tanpa kekuasaan apapun. Aku tahu bahwa satu²nya alasan aku tidak diperlakukan sama seperti tawanan lain adalah karena ayahku.

Sekali sebulan, keluarga² tawanan boleh menjenguk kami. Makanan penjara Israel tidak enak, jadi para keluarga biasanya membawa makanan hasil masak sendiri dan barang² pribadi. Karena Akel dan aku berasal dari daerah yang sama, keluarga kami datang pada waktu yang sama pula.

Setelah proses permintaan yang lama, pihak Palang Merah mengumpulkan anggota² keluarga dari daerah tertentu dan menaikkan mereka semua ke dalam bus. Hanya dibutuhkan menyetir dua jam untuk sampai ke Megiddo. Tapi karena bus harus berhenti di setiap pos penjagaan, dan para penumpang harus diperiksa di setiap perhentian, keluarga kami harus berangkat jam 4 pagi agar bisa mencapai penjara jam 12 siang.

Suatu hari, setelah senang bertemu dengan saudara perempuannya, Akel kembali ke Kotak Lima dengan tas² penuh makanan yang dibeli saudaranya baginya. Dia sangat senang dan tidak tahu apa yang sedang menunggunya. Pamanku Ibrahim datang untuk memberi kuliah, dan ini biasanya adalah pertanda buruk. Aku sudah tahu bahwa biasanya Ibrahim mengumpulkan orang² untuk memberi kuliah agar para penjaga tidak sadar bahwa pada saat itu maj’d sedang membawa seseorang untuk diiterogasi. Kali ini, “seseorang” itu adalah Akel. Maj’d merampas hadiah makanannya dan membawanya masuk ke sebuah tenda. Dia hilang di belakang gorden, dan mulailah kesengsaraannya.

Aku melihat pamanku. Mengapa dia tidak melakukan apapun? Dia telah dipenjara bersama Akel berkali-kali. Mereka menderita bersama. Akel telah memasak dan mengurusnya. Pamanku mengenal orang ini. Apakah karena Akel ini miskin, petani pendiam dari desa, sedangkan pamanku berasal dari kota?

Apapun alasannya, Ibrahim Abu Salem duduk bersama maj’d, tertawa dan makan makanan milik Akel yang didapatnya dari saudara perempuannya. Di tempat yang tak jauh, para anggota Hamas – sesama orang Arab, sesama Palestina, sesama Muslim – menusukkan jarum² ke bawah kuku² Akel.

Aku hanya melihat Akel beberapa kali di minggu² berikutnya. Kepala dan jenggotnya telah dicukur, matanya melekat ke tanah. Dia sangat kurus dan tampak seperti orang tua yang hampir mati.

Tak lama kemudian, aku diberi keterangan tentang Akel yang harus kutulis ulang. Dia mengaku berhubungan seks dengan setiap wanita di desanya, dan juga dengan keledai, dan binatang² lainnya. Aku tahu setiap kata itu adalah dusta belaka, tapi aku tulis keterangannya, dan maj’d mengirim surat ini ke desanya. Saudara perempuannya mengasingkannya. Tetangga²nya menolaknya.

Bagiku, maj’d itu lebih bejad daripada mata² Israel. Tapi mereka berkuasa dan berpengaruh dalam sistem penjara. Kupikir aku bisa memanfaatkan mereka untuk kepentinganku.

Anas Rasras adalah ketua maj’d. Ayahnya adalah dosen perguruan tinggi di Tepi Barat dan teman dekat pamanku Ibrahim. Setelah aku tiba di Megiddo, pamanku meminta Anas untuk membantuku menyesuaikan diri di penjara. Anas berasal dari Hebron, berusia sekitar 40 tahun, sangat bersikap rahasia, sangat cerdas, dan sangat berbahaya. Dia diawasi Shin Bet setiap saat dia berada di luar penjara. Dia punya beberapa kawan, tapi dia tidak pernah ikut menyiksa. Karena itu, aku merasa hormat dan bahkan percaya padanya.

Aku beritahu dia bahwa aku setuju untuk bekerja sama dengan Israel agar aku bisa jadi agen dobel, memiliki persenjataan canggih, dan membunuh mereka dari dalam. Aku bertanya apakah dia bisa menolongku.

“Aku harus memeriksa dulu,” katanya, “Aku tak akan menceritakan hal ini pada siapapun, tapi akan kulihat dulu.”

“Apa maksudmu kau harus lihat dulu? Kamu ini bisa menolong aku atau tidak?”

Aku seharusnya sudah mengetahui bahwa aku tidak bisa mempercayai orang ini. Bukannya menolong diriku, dia langsung memberitahu pamanku Ibrahim dan beberapa anggota maj’d lain tentang rencanaku.

Keesokan paginya, pamanku datang menemuiku.

“Apa yang kau pikir sedang kau lakukan?”

“Jangan takut. Tiada sesuatu yang terjadi. Aku punya rencana. Kau tidak perlu ambil bagian dalam hal ini.”

“Ini sungguh berbahaya, Mosab, bagi reputasimu dan reputasi ayahmu, bagi seluruh keluargamu. Orang lain melakukan hal ini, tapi kamu tidak.”

Dia lalu mulai menanyaiku. Apakah Shin Bet memberiku keterangan orang dalam penjara mana yang harus dihubungi? Apakah aku bertemu dengan petugas keamanan Israel? Apa yang diberitahu oleh dia padaku? Apa yang aku beritahu pada orang lain? Semakin banyak dia menginterogasiku, semakin marah aku jadinya. Akhirnya, aku meledak di hadapan wajahnya.

“Kenapa kau tidak mengurus urusan agama saja dan tidak usah mengurus perihal keamanan? Semua orang ini menyiksa orang lain tanpa tujuan berarti. Mereka sendiri tidak tahu apa yang mereka lakukan. Aku tidak punya apapun lagi yang bisa kukatakan. Aku akan melakukan apa yang ingin kulakukan, dan kau, silakan lakukan apa yang kau inginkan.”

Aku tahu perkembangan ini tentunya tidak baik untuk diriku. Aku yakin mereka tidak menyiksa atau menginterogasiku karena ayahku, tapi aku bisa melihat bahwa pamanku Ibrahim tidak tahu apakah aku mengatakan yang sebenarnya atau tidak.

Pada saat itu, aku sendiri juga tidak merasa yakin lagi.

Aku menyadari bahwa aku bertindak **** dengan mempercayai maj’d. Apakah aku juga **** jika mempercayai Israel? Mereka tetap belum memberitahu apapun padaku. Mereka tidak menyebut orang manapun yang harus kuhubungi. Apakah mereka ini juga sedang bermain-main denganku?

Aku masuk tendaku dan merasa diriku tertekan secara mental dan emosianal. Aku tidak bisa mempercayai siapapun lagi. Tawanan² yang lain bisa melihat ada yang salah pada diriku, tapi mereka tidak tahu apa tepatnya. Meskipun maj’d tidak menyebarkan apa yang kusampaikan, tapi mereka mengawasiku dengan seksama. Setiap orang merasa curiga padaku. Aku pun merasa curiga terhadap siapapun. Dan kami semua hidup bersama di dalam kandang terbuka dan tidak bisa pergi ke tempat lain. Tiada tempat untuk menghindar atau sembunyi.

Waktu merambat. Kecurigaan pun bertambah besar. Setiap hari, terdengar jerit kesakitan; setiap malam, penyiksaan. Hamas menyiksa anggota²nya sendiri! Biarpun aku mencoba sekuat tenaga, aku tetap tidak bisa membenarkan tindakan itu.

Tak lama kemudian, keadaan semakin memburuk. Jika dulu yang diperiksa satu orang saja, sekarang tiga orang sekaligus pada saat yang sama. Pada saat subuh jam 4 pagi, seseorang berlari keluar, memanjat pagar, dan dalam waktu 20 detik dia sudah berada di luar kamp penjara, baju dan dagingnya tersobek oleh kawat silet. Seorang penjaga menara penjara mengayunkan senapannya dan membidik orang itu.

“Jangan tembak!” teriak orang itu. “Jangan tembak! Aku tidak mencoba melarikan diri. Aku hanya mencoba menghindari mereka!” Dan dia menunjuk pada para maj’d yang memelototinya dari balik pagar. Para prajurit berlari di luar pintu gerbang, melempar tawanan itu ke tanah, memeriksanya, dan membawanya pergi.

Apakah ini Hamas? Apakah ini Islam?
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Bab 14 - Kekacauan di Penjara

Post by Adadeh »

Bab 14 - Kekacauan di Penjara
1996-1997


Ayah adalah Islam bagiku.

Jika aku harus meletakkan ayah di atas timbangan Allâh, maka beratnya lebih besar daripada Muslim mana pun yang pernah kutemui. Dia tidak pernah alpa sholat, bahkan jika dia pulang kerja larut malam dan telah merasa lelah. Aku sering mendengarnya berdoa dan menangis berharap pada tuhan Qur’an di tengah malam. Dia adalah orang yang rendah hati, penuh kasih, dan pemaaf - terhadap ibuku dan anak²ny, bahkan orang² yang tidak dikenalnya sekalipun.

Ayah bukanlah sekedar Muslim pembela Islam, tapi dia menjalani kehidupannya sebagai contoh bagaimana seorang Muslim seharusnya bersikap. Dia memantulkan sisi Islam yang indah, dan bukan sisi kejam yang menuntut umat Muslim untuk menaklukkan dan memperbudak seluruh dunia.

Akan tetapi, selama periode 10 tahun setelah aku dipenjara, aku melihat ayah bergulat dengan konflik irasional di dalam bathinnya. Di satu pihak, ayah tidak menganggap perbuatan Muslim yang membunuhi para warga sipil, prajurit, wanita dan anak² Israel sebagai tindakan yang salah. Dia percaya bahwa Allâh memberinya hak untuk melakukan hal itu. Akan tetapi di lain pihak, dia sendiri tidak tega melakukan apa yang para Muslim radikal itu lakukan. Ada sesuatu dalam hatinya yang menolak perbuatan seperti itu. Apa yang dianggapnya salah untuk dilakukan oleh dirinya sendiri, dibenarkannya jika yang melakukan adalah orang lain.

Tapi sebagai anaknya, aku dulu hanya bisa melihat kebaikannya saja dan beranggapan kebaikannya itu merupakan buah² Islam. Karena aku ingin menjadi seperti dia, maka aku percaya apa yang dia percayai tanpa banyak tanya lagi. Yang tak kuketahui saat itu adalah tidak peduli berapapun beratnya kita di atas timbangan Allâh, semua perbuatan mulia dan pekerjaan baik kita, tidak lebih nilainya daripada sekedar gombal busuk bagi Allâh.


Para Muslim yang kutemui di Megiddo sama sekali tidak sama dengan ayahku. Mereka menghakimi orang dengan lagak bagaikan dirinya lebih tinggi daripada Allâh saja. Mereka kejam dan memuakkan, menghalangi layar TV agar kita tidak bisa melihat wanita tak berjilbab. Mereka tanpa toleransi dan munafik, suka menyiksa orang² yang mendapat nilai merah tinggi - meskipun orang² ini hanyalah tawanan yang terlemah dan tak berdaya. Tawanan² lain yang punya hubungan baik dengan maj’d tidak disentuh - bahkan jika tawanan itu mengakui sebagai mata² Israel, hanya karena dia adalah putra Syeikh Hassan Yousef.

Untuk pertamakalinya dalam hidupku, aku mulai mempertanyakan berbagai hal yang dulu selalu kuyakini.

“Delapan dua tiga!”

Sudah saatnya aku menghadap sidang pengadilan. Aku telah dipenjara selama enam bulan. Prajurit IDF mengantarku ke Yerusalem, di mana jaksa penuntut meminta hakim menjatuhkan hukuman bagiku selama enambelas bulan.

Enambelas bulan! Kapten Shin Bet dulu mengatakan aku hanya tinggal di penjara untuk sesaat saja! Apa sih yang kulakukan sehingga harus dihukum seberat ini? Memang benar aku punya niat gila dan lalu membeli beberapa senjata. Tapi kan senjata² itu rusak dan tidak dapat dipakai?

“Enambelas bulan!”

Pengadilan menghitung bahwa aku telah menghuni penjara selama enam bulan, sehingga aku dikirim kembali ke Megiddo dan harus tinggal di sana selama sepuluh bulan lagi.

“Baiklah,” kataku pada Allâh. “Aku rela dipenjara selama sepuluh bulan, tapi jangan di sana dong! Jangan di neraka itu!” Tapi tiada yang peduli akan keluhanku - tidak juga pihak keamanan Israel yang dulu merekrutku dan sekarang meninggalkanku begitu saja.

Setidaknya aku bisa melihat keluargaku sekali sebulan. Ibuku melakukan perjalan yang melelahkan ke Megiddo sekali setiap empat minggu. Dia diijinkan untuk membawa tiga orang saja dari semua adik²ku, maka mereka mengunjungiku secara bergiliran. Setiap kali datang, ibu membawa penganan bayam campur yang segar dan baklava. Keluargaku tidak pernah alpa mengunjungiku.

Melihat keluargaku mendatangkan rasa lega yang besar bagiku, meskipun aku tidak bisa menceritakan apa yang terjadi di dalam pagar penjara dan di balik layar. Bertemu dengan diriku juga sedikit meringankan rasa kehilangan mereka. Aku telah berperan bagaikan ayah bagi adik² laki dan perempuanku - aku memasak untuk mereka, membersihkan bagi mereka, memandikan dan memakaikan baju mereka, mengantar jemput ke sekolah - dan dengan dipenjara, aku juga menjadi pahlawan perjuangan bagi mereka. Mereka merasa sangat bangga akan diriku.

Pada suatu kunjungan, ibuku memberitahu bahwa PA telah membebaskan ayahku. Aku tahu ayah selalu ingin naik haji ke Mekah. Ibu mengatakan ayah pergi ke Saudi Arabia tak lama setelah kembali pulang ke rumah. Ibadah naik haji merupakan pilar kelima Islam, dan setiap Muslim yang mampu secara fisik dan finansial wajib melakukan ibadah ini setidaknya sekali dalam hidupnya. Setiap tahun, lebih dari dua juta Muslim berkumpul di Mekah untuk naik haji.

Tapi ayahku gagal untuk melakukan ibadah haji. Setelah melalui Jembatan Allenby diantara Israel dan Yordania, dia ditahan lagi, kali ini oleh pihak Israel.
*******************
Di suatu sore, para ketua tawanan Hamas di Megiddo menyodorkan daftar permintaan pada penjaga penjara, dan memberi batas waktu 24 jam untuk memenuhi permintaan, dan mengancam untuk membuat keonaran jika permintaan tidak dipenuhi.

Tentu saja penjaga penjara tidak ingin para tawanan melakukan keonaran. Kekacauan di penjara bisa menyebabkan tawanan tertembak, dan Pemerintah Pusat di Yerusalem tentunya enggan berhubungan dengan segala hal yang bisa membuat Palang Merah dan berbagai organisasi HAM protes dan ribut besar. Keonaran di penjara itu jelek untuk tawanan dan penjaga penjara. Untuk menghindari keonaran, pihak Israel bertemu muka dengan shawish utama, yang ditunjuk dari bagian penjara kami.

“Kami tidak bisa bekerja secepat ini,” kata pejabat penjara padanya. “Kami perlu waktu yang lebih banyak untuk mempertimbangkan.”

“Tidak,” katanya memaksa. “Kau hanya punya waktu 24 jam.”

Tentu saja pihak Israel juga tidak mau dipaksa seperti itu. Aku tak tahu mengapa ketua tawanan Hamas sampai mengancam seperti itu. Meskipun aku menderita di sini, dibandingkan dengan fasilitas penjara lain yang kudengar, Megiddo bagaikan hotel bintang lima. Permintaan terdengar konyol bagiku - waktu bicara di telepon yang lebih lama, jam kunjungan yang lebih lama, dan berbagai hal sepele seperti itu.

Kami menanti sepanjang hari sampai matahari terbenam. Ketika batas waktu berakhir, Hamas memerintahkan kami untuk membuat kekacauan.

“Apa yang harus kami lakukan?” tanya kami.

“Hancurkan barang² dan bikin gaduh! Hancurkan aspal di lantai dan lemparkan pada para penjaga. Lempar sabun. Lempar air panas. Lempar segala macam benda yang bisa kau angkat!”

Beberapa tawanan mengisi gentong dengan air agar jika prajurit melempar kaleng gas air mata, mereka bisa mengambilnya dan menyemplungkannya ke dalam air. Kami mulai mengobrak-abrik daerah olahraga. Seketika terdengarlah suara sirine dan keadaan jadi sangat berbahaya. Ratusan prajurit mengenakan baju dan perlengkapan anti kericuhan massal keluar mengepung kamp tawanan dan mengarahkan senjata pada kami.

Satu²nya yang kupikirkan adalah semuanya ini terasa sangat tak masuk akal. Mengapa kami harus melakukan ini? Tanyaku. Ini adalah gila! Apakah kami harus melakukan ini hanya gara² shawish sinting itu? Aku bukanlah orang yang penakut, tapi juga tidak mau melakukan hal yang tak berarti. Pasukan Israel bersenjata lengkap dan terlindung, sedangkan kami hanya bisa melempari mereka dengan bongkahan aspal.

Hamas memberi perintah, dan setiap tawanan di setiap bagian mulai melempari kayu, pecahan aspal, dan sabun. Dalam waktu beberapa detik saja, ratusan kaleng gas air mata dilempar masuk dan meledak, memenuhi kamp tawanan dengan asap putih. Aku tidak dapat melihat apapun. Baunya sungguh sukar untuk dijabarkan. Semua orang di sekitarku menjatuhkan diri ke tanah dan tersengal-sengal mencoba menghirup udara segar.

Semua ini terjadi dalam waktu tiga menit saja. Tapi para prajurit Israel baru saja mulai.

Prajurit² lalu mengarahkan pipa besar pada kami yang mengeluarkan asap kuning. Asap kuning ini tidak terapung di udara seperti gas air mata; karena lebih berat daripada udara, asap kuning itu turun menyentuh tanah dan menyingkirkan semua oksigen. Para tawanan mulai bergelimpangan pingsan.

Aku mencoba bernapas sebisanya tatkala aku melihat nyala api.

Tenda Jihad Islam di Kotak Tiga terbakar. Dalam waktu beberapa detik saja, api berkobar-kobar setinggi 6 meter ke langit. Tenda² yang terbuat dari bahan anti air berbasis minyak tanah terbakar bagaikan disiram bensin. Tonggak² dan bingkai² kayu, matras², dan tempat² sepokat - semuanya dilalap api. Angin menyebarkan api ke tenda² DFLP/PFLP dan Fatah, dan sepuluh detik kemudian, tenda² tersebut terbakar bagaikan dilalap api neraka.

Kobaran api merambat sangat cepat ke daerah kami. Sebagian tenda terbang ditiup angin dan mendarat di pagar kawat silet. Para prajurit mengepung kami. Tiada jalan keluar selain melewati api.

Maka kami berlarian.

Aku menutupi wajahku dengan handuk dan berlari ke arah dapur. Ada celah selebar 3 meter diantara tenda² terbakar dan tembok. Lebih dari 200 tawanan mencoba berlari melalui celah itu kala para prajurit terus memenuhi bagian dengan asap kuning.

Dalam waktu beberapa menit saja, separuh Kotak Lima sudah lenyap - semua yang kami miliki, sesedikit apapun, terbakar hangus. Tiada yang tersisa kecuali abu.

Banyak tawanan terluka. Tapi sungguh ajaib, tak satu pun mati terbunuh. Mobil² ambulans datang mengumpulkan orang² yang terluka. Setelah kekacauan berakhir, tawanan² yang tendanya terbakar ditempatkan di tenda lain yang masih utuh. Aku dipindahkan ke tengah² tenda Hamas di Kotak Dua.

Satu²nya akibat baik dari kerusuhan penjara Megiddo adalah berhentinya penyiksaan yang dilakukan para ketua Hamas. Mereka terus melakukan pengamatan, tapi kami merasa tidak terlalu tegang lagi dan tidak terlalu takut untuk melakukan sedikit kesalahan. Aku berteman dengan beberapa orang yang kuanggap bisa kupercaya. Tapi kebanyakan kegiatanku hanyalah berjalan-jalan saja selama berjam-jam sendirian, tak ada pekerjaan lain dari hari ke hari.
*******************
“Delapan dua tiga!”

Pada tanggal 1 September, 1997, seorang penjaga penjara mengembalikan semua barang²ku dan sedikit uang yang kumiliki sewaktu aku ditangkap, memborgol tanganku dan memasukkan aku ke dalam sebuah mobil van. Para prajurit menyetir mobil menuju ke pos penjagaan pertama setiba di daerah Palestina, yakni Jenin di Tepi Barat. Mereka membuka pintu van dan melepaskan borgol.

“Kau bebas pergi sekarang,” kata salah satu dari mereka. Lalu mereka membalikkan mobil kembali ke arah kedatangan mereka, dan membiarkan aku berdiri seorang diri di pinggir jalan.

Aku sungguh tak percaya. Senang sekali rasanya bisa berjalan di tempat bebas ini. Aku sangat ingin bertemu ibuku dan saudara² laki dan perempuanku. Aku masih berada dalam jarak dua jam menyetir kendaraan dari rumahku, tapi aku sengaja berjalan lambat. Aku ingin menikmati kemerdekaanku.

Aku berjalan selama dua mil, sambil menghirup udara segar yang memenuhi paru²ku dan menikmati sunyi senyap lingkungan dengan telingaku. Setelah mulai merasa jadi manusia utuh lagi, aku lalu memanggil sebuah taksi untuk membawaku ke pusat kota. Taksi yang lain membawaku ke Nablus, lalu Ramallah, dan sampai di rumahku.

Image
Kota Ramallah.

Naik mobil melalui jalanan Ramallah, melihat toko² dan orang² yang kukenal, membuat aku ingin loncat dari taksi dan menyapa mereka semua. Sebelum aku melangkah keluar dari taksi yang berhenti di depan rumahku, aku melihat ibu berdiri di depan pintu. Airmata bercucuran di pipinya saat dia memanggilku. Dia berlari ke arah mobil dan lengannya memelukku erat². Sewaktu dia memelukku dan menepuk-nepuk punggung, bahu, wajah, dan kepalaku, semua rasa sakit yang ditanggungnya selama 1 1/2 tahun tumpah keluar.

“Kami telah menghitung hari menantikan kedatanganmu,” katanya. “Kami sangat khawatir tidak akan melihatmu lagi. Kami sangat bangga akan dirimu, Mosab. Kau benar² pahlawan sejati.”

Sama seperti ayahku, aku tahu aku tidak bisa menceritakan pada ibu atau saudara²ku apa yang telah kualami. Keterangan seperti itu akan terlalu menyakitkan mereka. Bagi mereka, aku adalah pahlawan yang ditawan di penjara Israel bersama pahlawan² lainnya, dan sekarang aku sudah pulang ke rumah. Mereka malah memandang hal ini sebagai pengalaman yang baik bagiku. Apakah ibuku tahu akan senjata² yang dulu kubeli? Iya. Apakah dia menganggap itu sebagai perbuatan ****? Mungkin, tapi semuanya itu dianggap sebagai bagian dari usaha menentang pendudukan dan karenanya bisa diterima.

Kami merayakan hari kebebasanku dan kami makan enak dan bercanda, sebagaimana yang dulu selalu kami lakukan bersama. Rasanya seperti aku tidak pernah pergi saja. Dan selama beberapa hari, banyak teman²ku dan teman² ayahku datang untuk bergembira bersama kami.

Aku tinggal di rumah selama beberapa minggu, menikmati semua kasih sayang di sekitarku dan makan masakan ibu yang enak. Lalu aku keluar untuk menikmati pemandangan sekitar, suara² dan aroma yang sangat kurindukan. Di malam hari, aku pergi ke pusat kota bersama teman²ku - makan falafel di Mays Ar Rim dan minum kopi di Kit Kat bersama Basam Huri, pemilik warung kopi. Sewaktu aku berjalan-jalan di jalanan yang ramai dan bicara dengan teman²ku, aku menyerap semua rasa damai dan merdeka.

Diantara waktu ayah dilepaskan dari penjara PA dan dia ditangkap kembali oleh Israel, ibuku hamil lagi. Hal ini mengejutkan kedua orangtuaku, karena mereka sebenarnya tidak mau lagi punya anak setelah kelahiran adik perempuanku Anhar tujuh tahun yang lalu. Sewaktu aku pulang dari penjara, ibu telah hamil enam bulan dan kandungannya semakin besar. Lalu ibu mengalami kecelakaan patah pergelangan kaki, dan proses kesembuhan berlangsung sangat lamban karena bayi dalam kandungannya menyerap semua kalsium di tubuh ibu. Kami tidak punya kursi roda sehingga aku harus menggendongnya ke mana dia harus pergi. Dia sangat menderita kesakitan, dan aku sungguh sedih melihat keadaannya seperti itu. Aku punya SIM sehingga kami bisa melakukan berbagai hal dan belanja. Ketika akhirnya Naser lahir, aku mengambil tanggung jawab memberinya makan, memandikannya, dan mengganti popoknya. Dia memulai hidupnya dengan mengira akulah ayahnya.

Sudah tentu aku gagal menjalani ujian akhir SMA dan tidak lulus SMA. Mereka menawarkan ujian pada kami semua di penjara, tapi aku adalah satu²nya tawanan yang tidak lulus ujian. Aku tidak pernah mengerti mengapa, sebab wakil dari Departemen Pendidikan datang ke penjara dan memberi semua orang kertas jawaban sebelum ujian dilakukan. Sungguh gila. Seorang tawanan berusia 60 tahun dan buta huruf meminta orang lain menulis jawaban ujian baginya. Dan ternyata bahkan dia pun lulus ujian! Aku punya jawaban ujian, ditambah lagi aku telah bersekolah selama 12 tahun sehingga tahu akan materi pertanyaan. Tapi ketika hasil ujian keluar, semuanya lulus kecuali aku sendiri. Satu²nya penjelasan yang bisa kupikirkan adalah mungkin Allâh tidak mau aku lulus dengan cara mencontek.

Maka ketika aku keluar dari penjara, aku mulai mengambil kelas malam di Al-Ahlia, sebuah sekolah Katolik di Ramallah. Kebanyakan muridnya adalah Muslim tradisional yang datang ke situ karena sekolah itu adalah yang terbaik di kota. Karena kelas berlangsung di malam hari, maka aku bisa kerja di siang hari di toko hamburger Checkers untuk mencari nafkah bagi keluargaku.

Aku hanya mendapat angka 64% dari ujian²ku, tapi ini sudah cukup untuk lulus. Aku tidak belajar dengan serius karena aku tidak terlalu suka dengan mata pelajarannya. Aku tidak peduli. Aku cukup senang bisa tamat SMA.

Image
Mosab (sebelah kiri) bersama teman.
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Bab 15 - Jalan ke Damaskus

Post by Adadeh »

Bab 15 - Jalan ke Damaskus
1997-1999


Dua bulan setelah keluar dari penjara, ponselku berdering.

“Selamat ya,” terdengar suara berbicara dalam bahasa Arab.

Aku kenal aksen bahasanya. Orang ini adalah kapten Shin Bet-ku nan “setia,” si Loai!

“Kami akan senang sekali jika bertemu denganmu,” kata Loai, “tapi kita tidak bisa bicara panjang lebar di telepon. Dapatkah kita bertemu?”

“Tentu saja.”

Dia memberi aku nomer telpon, password, dan beberapa arah jalan. Aku merasa bagaikan agen rahasia. Dia memberitahuku untuk pergi ke suatu tempat, dan lalu ke tempat lain, dan menelpon dia di tempat itu.

Aku mengikuti petunjuknya, dan ketika aku akhirnya menelponnya, aku diberi lagi petunjuk lain. Aku berjalan sekitar 20 menit sampai sebuah mobil bergerak di sebelahku dan berhenti. Seorang pria dalam mobil menyuruhku untuk masuk, dan aku menurutinya. Aku diperiksa, disuruh telungkup di lantai, dan ditutupi selimut.

Kami mengendarai mobil selama satu jam, dan selama itu tak ada seorang pun yang bicara. Ketika akhirnya kami berhenti, kami berada di dalam garasi rumah. Aku bersyukur ini bukan pusat militer atau penjara lagi. Nantinya aku mengetahui bahwa rumah itu milik Pemerintah di daerah Israel. Begitu aku tiba di sana, aku diperiksa lagi, kali ini jauh lebih teliti, dan lalu aku diajak masuk ke dalam ruangan yang disusun dengan perabot² yang rapih. Aku duduk sebentar di sana, dan lalu Loai muncul. Dia menjabat tanganku - dan bahkan memelukku.

“Bagaimana kabarmu? Bagaimana pengalamanmu di penjara?”

Aku katakan padanya aku baik² saja dan pengalamanku di penjara tidak terlalu menyenangkan, terutama karena dia bilang aku tidak usah tinggal di penjara terlalu lama.

“Maafkan aku; kami harus melakukan itu untuk melindungimu.”

Aku berpikir tentang pengakuanku pada maj’d tentang jadi agen dobel dan berpikir mungkin Loai juga harus tahu akan hal ini. Kupikir aku harus mencoba melindungi diriku.

“Begini nih,” kataku, “mereka menyiksa orang² di sana, dan aku tak punya pilihan lain selain mengatakan pada mereka bahwa aku setuju bekerja bagimu. Aku takut saat itu. Kau tidak pernah memperingatkanku apa yang terjadi di sana. Kau tidak pernah memberitahuku untuk berhati-hati dengan orang²ku sendiri di sana. Kau tidak pernah melatih aku, dan aku ketakutan. Maka aku beritahu mereka bahwa aku berjanji untuk jadi mata² agar aku bisa jadi agen dobel dan akhirnya membunuh kalian semua.”

Loai tampak terkejut, tapi dia tidak marah. Meskipun Shin Bet tidak melalukan penyiksaan di kamp penjara itu, mereka tentunya tahu penyiksaan itu terjadi - dan tentunya mengerti mengapa aku jadi merasa ketakutan.

Dia menelpon bossnya dan memberitahu semua yang kukatakan. Mungkin karena sungguh sukar bagi Israel untuk merekrut anggota Hamas atau mungkin juga karena aku adalah putra Syeikh Hassan Yousef, aku dianggap sangat berharga sehingga mereka melupakan keteranganku begitu saja.

Orang² Israel ini tidaklah seperti yang kuduga sebelumnya.

Loai memberiku beberapa ratus dollar dan memberitahuku untuk beli baju, merawat diriku, dan menikmati hidupku.

“Kita akan berhubungan lagi,” katanya.

Apa? Tiada tugas rahasia? Tiada buku sandi? Tiada senjata? Hanya segepok duit dan rangkulan? Hal ini sungguh sukar kumengerti.

Kami bertemu kembali dua minggu kemudia, dan kali ini di sebuah rumah Shin Bet di jantung Yerusalem. Rumah ini diberi perabotan lengkap, penuh dengan alarm tanda bahaya dan penjaga², dan begitu rahasia sehingga tetangga sebelah juga tak tahu apa yang terjadi di rumah ini. Kebanyakan ruangan digunakan untuk rapat. Aku tidak pernah diijinkan mengunjungi ruangan² itu tanpa pengawal, bukan karena mereka tidak percaya padaku, tapi karena mereka tidak mau aku terlihat oleh agen² Shin Bet lainnya. Ini sekedar lapisan keamanan lain.

Sewaktu pertemuan kedua, anggota² Shin Bet sangatlah ramah. Mereka bicara dalam bahasa Arab yang baik, dan sudah jelas bahwa mereka mengenal diriku, keluargaku, dan budayaku. Aku tidak punya informasi apapun dan mereka pun tidak bertanya apapun. Kami hanya mengobrol biasa saja tentang berbagai hal umum.

Semua ini sungguh diluar dugaanku. Aku sangat ingin tahu apa yang mereka ingin aku lakukan, meskipun karena catatan yang kubaca di penjara, aku agak khawatir mereka akan menyuruhku untuk berhubungan seks dengan saudara perempuanku atau tetanggaku dan harus merekam adegan sex itu. Tapi tak ada yang menyinggung hal itu sama sekali.

Setelah pertemuan kedua, Loai memberiku uang dua kali lebih banyak daripada pertemuan pertama. Dalam waktu sebulan saja, aku telah mendapatkan uang sebanyak $800 darinya, dan ini sungguh uang yang buanyak sekali bagi pemuda usia 20 tahun seperti aku pada saat itu. Dan aku pun tidak memberikan apapun pada Shin Bet. Malah sebenarnya, dalam waktu beberapa bulan aku jadi agen Shin Bet, aku belajar jauh lebih banyak dari mereka sedangkan aku tak memberi keterangan apapun.

Mereka mulai melatihku dengan aturan² dasar. Aku tidak boleh berzinah karena ini akan mengungkapkan diriku dan membuatku menghadapi masalah besar. Aku tidak diperbolehkan memiliki hubungan di luar nikah dengan wanita sama sekali - baik wanita Palestina maupun Israel - sewaktu aku bekerja bagi mereka. Jika aku melakukan itu, maka aku akan dipecat. Aku juga tidak boleh menceritakan pada siapapun bahwa aku ingin menjadi agen dobel lagi.

Setiap kali kami bertemu, aku belajar lebih banyak tentang kehidupan dan keadilan dan keamanan. Shin Bet tidak mencoba menghancurkanku dengan memaksaku melakukan hal² yang jahat. Mereka sebenarnya tampak berusaha sebaik mungkin untuk membangun diriku, untuk membuatku lebih kuat dan bijaksana.

Sejalan dengan berlalunya waktu, aku mulai mempertanyakan rencana awalku untuk membunuh orang² Israel. Orang² ini sungguh baik padaku. Mereka jelas peduli akan diriku. Mengapa aku mau membunuh mereka? Aku kaget tatkala menyadari bahwa niat itu sudah tidak kurasakan lagi.

Pendudukan tidaklah lenyap. Kuburan di Al-Bireh masih terus dipenuhi oleh mayat² lelaki, perempuan, dan anak² Palestina yang dibunuh oleh prajurit Israel. Aku juga belum lupa dengan pemukulan yang kuderita saat dibawa ke penjara atau hari² di mana aku diikat di kursi kecil.

Tapi aku juga ingat akan jeritan² dari tenda penyiksaan di Megiddo dan orang yang membiarkan dirinya tercabik-cabik kawat silet karena mencoba melarikan diri dari para Hamas yang menyiksanya. Sekarang aku mendapat pengertian dan hikmat. Dan siapakah pembimbingku sekarang? Musuh²ku sendiri! Tapi apakah mereka benar² musuhku? Ataukah mereka hanya baik padaku karena ingin memanfaatkanku? Aku jadi bertambah bingung saja jadinya.

Di suatu pertemuan, Loai berkata, “Karena kau bekerja bagi kami, kami mempertimbangkan untuk melepaskan ayahmu agar kau bisa dekat dengannya dan melihat apa yang terjadi di daerahmu.” Aku tidak tahu bahwa hal itu bisa terjadi, tapi aku senang jika ayah bisa pulang kembali.

Di tahun² berikutnya, ayah dan aku membandingkan catatan² tentang pengalaman kami. Dia tidak mau menjelaskan secara detail apa yang dideritanya, tapi dia ingin agar aku mengetahui bahwa dia memperbaiki keadaan sewaktu dia dipenjara di Megiddo. Dia mengatakan bahwa ketika dia sedang menonton TV di mi’var, seseorang menjatuhkan papan kayu di depan layar TV.

“Aku tidak akan menonton TV lagi jikalau kau terus-menerus menutup layar TV dengan papan,” katanya pada emir. Mereka menyingkirkan papan itu, dan masalah selesai sudah. Ketika dia dipindahkan ke kamp tawanan, dia pun menghentikan kegiatan penyiksaan. Dia memerintahkan maj’d untuk menyerahkan semua catatan padanya, dan dia memeriksanya, dan menemukan bahwa 60% dari orang² yang didakwa sebagai mata² ternyata tak bersalah. Maka dia memerintahkan agar pihak keluarga dan masyarakat orang² diberitahu atas tuduhan yang salah itu. Salah satu tertuduh yang tak bersalah adalah Akel Sorour. Ayah mengirim surat keterangan pada desa Akel bahwa Akel tak bersalah. Surat ini mungkin tidak bisa menghilangkan penderitaan Akel, tapi setidaknya dia sekarang bisa hidup tenang dan terhormat.

Setelah ayahku dibebaskan dari penjara, pamanku Ibrahim datang untuk menjenguknya. Ayahku juga ingin agar paman tahu bahwa ayah telah menghentikan kegiatan penyiksaan di Megiddo dan bahwa kebanyakan orang² yang disiksa maj’d adalah orang² tak bersalah dan semuanya ini berakibat hancurnya kehidupan mereka dan juga sanak saudara mereka. Ibrahim pura² kaget. Dan ketika ayah menyinggung tentang Akel, pamanku mengatakan dia mencoba membela Akel dan mengatakan pada maj’d bahwa Akel tidak mungkin jadi mata² Israel.

“Terpujilah Allâh,” kata Ibrahim, “karena kau telah menolongnya!”

Aku tak tahan akan kemunafikannya, maka aku lalu meninggalkan ruangan.

Ayahku juga memberitahuku bahwa ketika dia berada di Megiddo, dia mendengar kisah agen dobel yang kukatakan pada maj’d. Tapi dia tidak marah padaku. Dia hanya mengatakan bahwa aku **** karena mau bicara pada mereka.

“Aku tahu, ayah,” kataku. “Aku berjanji kau tak perlu khawatir akan diriku. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”

“Bagus jika begitu,” katanya. “Hati-hatilah dari sekarang. Tiada seorang pun yang bisa lebih kupercayai selain kau.”

Ketika kami bertemu lagi di bulan itu, Loai berkata padaku, “Sudah saatnya kau mulai bertugas. Ini yang harus kau lakukan.”

Akhirnya, begitu pikirku.

“Tugasmu adalah kuliah di perguruan tinggi dan meraih gelar S1.”

Dia menyerahkan amplop penuh berisi uang.

“Ini cukup untuk menutupi biaya kuliah dan keperluan²mu,” katanya. “Jika kau butuh lagi, tolong beritahu aku.”

Aku sungguh tak percaya akan hal ini. Tapi bagi orang² Israel, hal ini sangat masuk akal. Pendidikanku merupakan investasi yang baik bagi mereka. Tentunya tidak baik bagi badan keamanan negara untuk bekerja sama dengan orang yang tak berpendidikan tinggi dan tak punya prospek hidup yang baik. Bagiku juga berbahaya jika dianggap sebagai orang tak berguna karena pandangan orang² Palestina selama ini adalah hanya orang² sampah saja yang bersedia bekerja sama dengan Israel. Tentu saja pandangan seperti ini salah, karena orang² tak berguna tentunya juga tidak punya keterangan berguna apapun bagi Shin Bet.

Maka aku lalu melamar ke Universitas Birzeit, tapi mereka tidak menerimaku karena nilai² SMA-ku terlalu rendah. Aku jelaskan bahwa keadaanku adalah perkecualian karena aku telah dipenjara. Aku sebenarnya adalah pemuda cerdas, kilahku, dan aku akan menjadi mahasiswa yang baik. Tapi mereka tetap tidak memberikan perkecualian bagiku. Satu²nya pilihan bagiku adalah melamar di Universitas Terbuka Al-Quds dan belajar di rumah.

Kali ini nilai² kuliahku baik. Aku jadi sedikit bertambah bijaksana dan lebih bermotivasi. Dan pada siapakah aku harus berterima kasih atas semua ini? Musuhku.

Setiap kali aku bertemu dengan orang² Shin Bet, mereka berkata padaku, “Jika kau perlu apapun, bilang saja pada kami. Kau boleh membersihkan diri. Kau boleh sholat. Kau tidak perlu merasa takut.” Makanan dan minuman yang mereka tawarkan padaku tidak melanggar hukum Islam. Para pembimbingku sangat berhati-hati untuk tidak melakukan hal yang mereka tahu bisa menyinggung perasaanku: mereka tidak memakai celana pendek. Mereka tidak duduk dengan kaki diangkat ke atas meja dan kaki menghadap wajahku. Mereka selalu bersikap sangat menghormati. Karena sikap mereka ini, aku juga belajar banyak dari mereka. Mereka tidak bersikap seperti mesin militer. Mereka adalah manusia biasa yang normal, dan mereka pun memperlakukanku seperti manusia normal pula. Hampir setiap kali saat kami bertemu, sebongkah batu lainnya dari fondasi pandanganku dalam melihat dunia runtuh.

Budayaku - bukan ayahku - telah mengajarku bahwa IDF dan masyarakat Israel adalah musuh²ku. Ayahku tidak melihat prajurit² Israel sebagai penjahat; tapi dia melihat mereka sebagai individu² yang melakukan apa yang mereka percayai sebagai tugas para prajurit. Masalahnya bukanlah dengan orang² Israel tapi dengan ideologi yang mendorong dan memotivasi orang² Israel.

Loai bersikap mirip dengan ayahku, lebih dari semua orang Palestina manapun yang pernah kutemui. Dia tidak percaya pada Allâh, tapi dia tetap menghormatikua.

Maka sekarang siapakah musuhku sebenarnya?

Aku berbicara dengan Shin Bet tentang penyiksaan di Megiddo. Mereka berkata bahwa mereka mengetahui semua itu. Setiap gerakan tawanan², apapun yang mereka katakan, direkam diam². Mereka tahu tentang pesan² rahasia dalam bola² roti, dan penyiksaan² dalam tenda, dan juga lubang celah di pagar.

“Mengapa kalian tidak menghentikannya?”

“Pertama-tama, kami tidak bisa merubah mentalitas seperti itu. Bukan tugas kami untuk mengajar Hamas mengasihi satu sama lain. Kami tidak bisa masuk ke kamp penjara dan berkata, ‘Hey, jangan siksa sesama orang; jangan saling siksa satu sama lain,’ dan membuat semua beres. Kedua, Hamas sendiri hancur lebih banyak dari dalam daripada serangan Israel dari luar.”

Duniaku yang dulu kukenal mulai lenyap dengan cepatnya, dan timbul dunia baru yang mulai kumengerti. Setiap kali aku bertemu Shin Bet, aku belajar sesuatu yang baru, sesuatu tentang hidupku, atau hidup orang lain. Semua proses ini bukanlah proses cuci otak melumpuhkan yang diulang-ulang terus-menerus, yang dilakukan dengan siksaan larangan makan atau tidur. Apa yang diajarkan orang² Israel ini lebih masuk akal dan lebih nyata daripada apapun yang telah kudengar dari masyarakatku.

Ayahku tidak pernah mengajarku segalanya yang baru ini karena dia terus-menerus berada di penjara. Dan terus terang, aku menduga dia pun tidak bisa mengajarku tentang hal baru ini karena ayahku sendiri tidak tahu akan hal itu.
*******************
Dari tujuh buah pintu gerbang kuno yang menjadi jalan masuk ke Kota Tua Yerusalem, satu pintu gerbang dihiasi lebih dari yang lainnya. Pintu Gerbang Damaskus, didirikan oleh Raja Sulaimaan hampir 500 tahun yang lalu, terletak di dekat tengah tembok utara. Pintu gerbang ini penting karena merupakan pintu yang membawa orang masuk ke Kota Tua di perbatasan daerah di mana Lapangan Daerah Muslim (Muslim Quarter) bertemu dengan Lapangan Daerah Kristen (Christian Quarter).

Image
Pintu Gerbang Damaskus di Yerusalem.

Di abad pertama, seorang pria bernama Saulus dari Tarsus melewati versi asli dari pintu gerbang ini dalam perjalanannya ke Damaskus, di mana dia berencana untuk melakukan penindasan brutal terhadap sebuah aliran Yudaisme yang dianggapnya sesat. Target penindasannya adalah umat Kristen. Sebuah pertemuan mengejutkan yang dialaminya tidak saja membatalkan perjalanannya, tapi juga merubah hidupnya untuk selamanya.

Dengan semua latar belakang sejarah yang berhubungan dengan tempat kuno ini, maka seharusnya aku tak perlu merasa heran jika mengalami kejadian di sana yang merubah diriku selamanya pula. Pada suatu hari, aku dan sahabatku Jamal sedang berjalan melalui Pintu Gerbang Damaskus. Tiba² aku mendengar suara menyapaku.

Image
Tampaknya inilah Jamal yang tinggi (182 cm), yang bertahun-tahun kemudian diwawancarai oleh FoxNews di SINI.

“Siapakah namamu?” seorang pria yang tampak berusia sekitar 30 tahun bertanya padaku dalam bahasa Arab, meskipun jelas dia bukan orang Arab.

“Namaku Mosab.”

“Mau kemana kau, Mosab?”

“Kami mau pulang. Kami berasal dari Ramallah.”

“Aku dari Inggris,” katanya, kali ini dalam bahasa Inggris. Meskipun dia lalu terus bicara, aksennya sangat kental sehingga aku tidak mengerti perkataannya. Setelah sedikit menduga-duga, akhirnya aku bisa mengerti bahwa dia sedang bicara tentang agama Kristen dan kelompok Belajar Alkitab akan berkumpul di YMCA (Young Men's Christian Association = Perkumpulan Pemuda Kristen) di Hotel King David di Yerusalem Barat.

Aku tahu tempat itu. Aku sedang sedikit bosan saat itu dan berpikir mungkin menarik juga untuk belajar tentang agama Kristen. Jika aku bisa belajar begitu banyak dari orang² Israel, mungkin “kafir” lain juga punya hal berharga untuk disampaikan padaku pula. Selain itu, setelah bergaul dengan berbagai orang seperti Muslim KTP, Muslim radikal, atheis, orang² yang terpelajar maupun yang tidak, pengikut sayap kiri atau kanan, Yahudi dan non-Yahudi, maka aku jadi tidak pilih² lagi. Orang yang tampak sederhana ini mengundangku untuk datang dan bicara, bukan untuk memilih Yesus di Pemilu.

“Bagaimana menurutmu?” aku bertanya pada Jamal. “Apakah kita harus pergi ke sana?”

Jamal dan aku sudah saling kenal sejak kami masih sangat kecil. Kami pergi ke sekolah yang sama, melempar batu bersama, dan mengunjungi mesjid bersama pula. Jamal adalah pria tampan yang tingginya 182 cm, dan dia tidak banyak bicara. Dia jarang memulai percakapan, tapi dia adalah pendengar yang sabar. Kami tidak pernah bertengkar mulut, sekalipun tidak.

Selain tumbuh bersama, kami berdua juga pernah dipenjara di Penjara Megiddo. Setelah Kotak bagian Lima terbakar dalam kekacauan penjara, Jamal ditransfer bersama saudara sepupuku Yousef ke Kotak Enam dan dibebaskan dari sana.

Akan tetapi, penjara telah mengubahnya. Dia berhenti sholat, tidak lagi mengunjungi mesjid, dan mulai merokok. Dia mengalami tekanan mental dan menghabiskan kebanyakan waktunya dengan diam di rumah sambil nonton TV. Setidaknya aku punya kepercayaan yang kupegang saat berada di penjara. Tapi Jamal berasal dari keluarga sekuler yang tidak melakukan ibadah Islam, maka imannya terlalu tipis untuk bisa menolongnya.

Jamal memandangku, dan aku bisa melihat bahwa sebenarnya dia ingin pergi ke kegiatan belajar Alkitab. Dia tampak jelas ingin tahu – dan juga bosan – sama seperti aku. Tapi sesuatu dalam hatinya mencegahnya.

“Kau silakan pergi saja tanpa diriku,” katanya. “Telepon aku ya jika kau sudah kembali pulang.”

Image
Hotel Raja Daud di Yerusalem. Tempat Mosab berkumpul pertama kali untuk Belajar Alkitab.

Di tempat pertemuan, terdapat sekitar 50 orang yang berkumpul malam itu. Pengunjung kebanyakan adalah murid² sekolah yang berusia sama dengan diriku, berasal dari berbagai latar belakang suku dan agama. Dua orang menerjemahkan ceramah bahasa Inggris ke dalam bahasa Arab dan Ibrani.

Aku menelepon Jamal setelah pulang ke rumah.

“Bagaimana?” tanyanya.

“Wah, senang lho,” kataku. “Mereka memberi aku buku Alkitab Perjanjian Baru yang ditulis dalam bahasa Arab dan Inggris. Orang² baru, budaya baru; senang lho.”

“Wah, tak tahu ya, Mosab,” kata Jamal. “Mungkin berbahaya bagimu jika orang² tahu kamu bergaul dengan orang² Kristen.”

Aku tahu maksud Jamal adalah baik, tapi aku tidak terlalu khawatir. Ayahku selalu mengajarku untuk berpikiran terbuka dan menyayangi orang lain, meskipun pada kafir yang tidak percaya Islam. Aku melihat Alkitab di pangkuanku. Ayahku punya perpustakaan besar yang berisi 5.000 buku, termasuk sebuah Alkitab. Ketika aku masih kecil, aku telah membaca pasal² sexual di kitab Kidung Agung oleh Raja Sulaiman, tapi tidak pernah membaca lebih jauh lagi. Buku Alkitab Perjanjian Baru ini adalah hadiah. Karena budaya Arab menghormati dan menghargai pemberian hadiah, maka aku mengambil keputusan setidaknya yang bisa kulakukan adalah membacanya.

Aku mulai dari awal, dan ketika sampai pada bagian Khotbah di Bukit, kupikir, Wow, orang bernama Yesus ini benar² mengagumkan! Semua yang dikatakannya indah sekali. Aku tidak bisa meletakkan buku itu dan terus membacanya. Setiap ayat terasa menyembuhkan luka parah yang dalam di jiwaku. Pesannya sangat sederhana, tapi entah kenapa punya kekuatan untuk memulihkan jiwaku dan memberi aku harapan.

Lalu aku baca bagian ini: “Kalian tahu bahwa ada juga ajaran seperti ini: cintailah kawan-kawanmu dan bencilah musuh-musuhmu. Tetapi sekarang Aku berkata kepadamu: cintailah musuh-musuhmu, dan doakanlah orang-orang yang menganiaya kalian, supaya kalian menjadi anak-anak Bapamu yang di surga.” (Matius 5:43-45).

Ini dia! Aku merasa bagaikan disambar petir oleh kata² ini. Belum pernah sebelumnya aku mendengar pesan seperti ini, tapi aku tahu bahwa inilah pesan yang kucari-cari seumur hidupku.

Selama bertahun-tahun aku berjuang untuk mengetahui siapakah musuhku, dan aku melihat mreka yang diluar Islam dan Palestina sebagai musuh. Tapi tiba² saja aku sadar bahwa orang² Israel bukanlah musuhku. Bukan pula Hamas atau pamanku Ibrahim atau prajurit yang menghajarku dengan popor M16 atau penjaga penjara mirip kera di Maskobiyeh. Aku melihat bahwa musuh tidak dijabarkan melalui nasionalitas, agama, atau warna kulit. Aku sekarang mengerti bahwa kita semua menghadapi musuh² yang sama: keserakahan, kesombongan, segala pikiran jahat, dan kegelapan setan yang hidup dalam diri kita.

Ini berarti aku bisa mencintai semua orang. Satu²nya musuh yang nyata adalah musuh dalam diriku sendiri.

Jika saja aku membaca perkataan Yesus lima tahun yang lalu, tentunya aku akan berkata: Betapa bodohnya orang ini! dan segera membuang Alkitab itu. Tapi pengalamanku dengan tetanggaku tukang jagal gila, anggota² keluarga dan pemimpin² agama yang memukuliku saat ayah berada di penjara, dan saatku di Megiddo semuanya bercampur dan mempersiapkan diriku untuk menerima kekuatan dan keindahan kebenaran ini. Yang bisa kupikirkan saat itu hanyalah: Wow! Betapa hebatnya hikmat yang dimiliki orang ini!

Yesus berkata, "Janganlah menghakimi orang lain, supaya kalian sendiri juga jangan dihakimi.” (Matius 7:1). Sungguh besar perbedaan antara dia dan Allâh! Tuhan Islam sangat suka menghakimi, dan masyarakat Arab mengikuti bimbingan Allâh.

Yesus mengecam kemunafikan para Ahli Taurat dan kaum Parisi, dan aku langsung ingat akan pamanku Ibrahim. Aku ingat di saat dia menerima sebuah undangan untuk menghadiri acara khusus dan betapa marahnya dia sewaktu tidak diberi kursi yang terbaik. Rasanya bagaikan Yesus bicara pada Ibrahim, seluruh syeikh, dan imam dalam Islam.

Semuanya yang Yesus katakan dalam halaman² buku ini sangat masuk akal bagiku. Karena rasa haru yang meluap-luap, aku pun mulai menangis.

Tuhan menggunakan Shin Bet untuk menunjukkan padaku bahwa Israel bukanlah musuhku, dan sekarang dia meletakkan jawaban atas pertanyaan²ku di tanganku dalam buku Alkitab Perjanjian Baru yang kecil ini. Tapi perjalananku masih panjang sekali untuk bisa benar² mengerti Alkitab. Muslim diajar untuk beriman pada semua buku Allâh, termasuk Taurat dan Injil. Tapi kami juga diajar bahwa manusia telah mengganti Injil, dan membuatnya tidak dapat dijadikan panutan. Muhammad berkata bahwa Qur’an merupakan firman Allâh yang terakhir yang tak ada salahnya bagi manusia. Dengan begitu, pertama-tama aku harus menyingkirkan pendapatku bahwa Alkitab telah diganti. Lalu aku harus mencari cara bagaimana membuat kedua buku Qur’an dan Alkitab sejalan dalam hidupku, bagaimana mencampurkan Islam dan Kristen bersama. Hal ini bukanlah hal yang mudah, karena bagaikan mencampurkan hal yang tak tercampurkan.

Di saat yang sama, meskipun aku percaya ajaran² Yesus, aku tetap tidak bisa percaya bahwa dia itu Tuhan. Meskipun begitu, pemikiran²ku telah berubah secara tiba² dan secara dramatis, karena sekarang pikiranku lebih dipengaruhi Alkitab daripada Qur’an.

Aku terus membaca Alkitab Perjanjian Baru dan mengunjungi kegiatan Belajar Alkitab. Aku menghadiri kebaktian Kristen dan berpikir, Ini bukan agama Kristen yang kulihat di Ramallah. Inilah yang benar. Orang² Kristen yang kukenal sebelumnya tak berbeda dengan Muslim² tradisional. Mereka mengatakan diri mereka beragama, tapi tidak menjalankan ajaran agamanya.

Aku mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan orang² dalam Belajar Alkitab dan sangat menikmati persahabatan dengan mereka. Kami merasa sangat senang bicara tentang kehidupan, latar belakang, dan kepercayaan kami. Mereka sangat menghormati budaya dan warisan Muslim kami. Aku bisa jadi diriku sendiri yang sebenarnya saat aku bersama mereka.

Aku sangat ingin memberikan apa yang kupelajari ini pada budayaku, karena aku menyadari bahwa pendudukan Israel bukanlah penyebab penderitaan kami. Masalah kami adalah lebih besar daripada prajurit² dan politik Israel.

Aku bertanya pada diri sendiri apakah yang akan dilakukan masyarakat Palestina jika Israel hilang lenyap – jika semuanya tidak hanya kembali saat sebelum 1948 tapi juga jika semua orang² Yahudi meninggalkan tanah Kanaan dan terpecah belah lagi. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tahu jawabannya.

Kami akan terus berperang. Tentang segala hal yang tak ada gunanya. Tentang gadis tak berjilbab. Tentang siapakah yang lebih kuat, siapa yang lebih penting. Tentang siapa yang menentukan aturan, dan siapa yang dapat kursi terbaik.


Di akhir 1999, aku berusia 21 tahun. Hidupku mulai berubah, dan semakin banyak aku belajar, semakin bingung pula aku dibuatnya.

“Tuhan, sang Pencipta, tunjukkan kebenaran padaku,” begitu doaku setiap hari. “Aku bingung. Aku tersesat. Dan aku tak tahu lagi harus ke mana.”
abdulraharja
Posts: 528
Joined: Sat Mar 06, 2010 10:59 pm
Location: earth ??

Re: Son of Hamas (Putra Hamas)

Post by abdulraharja »

"pertama-tama aku harus menyingkirkan pendapatku bahwa Alkitab telah diganti"
son of hamas.



lanjut brader.
Sabilla
Posts: 1310
Joined: Mon Jul 20, 2009 8:23 pm

Re: Son of Hamas (Putra Hamas)

Post by Sabilla »

Son of Hamas (Putra Hamas)
Wow ! Sebuah buku yang sangat berharga ! ..... [-(
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Bab 16 – Intifada Kedua

Post by Adadeh »

Bab 16 – Intifada Kedua
Musim Panas – Musim Rontok 2000


Hamas – yang dulu merupakan kekuatan dominan di Palestina – sekarang mulai goyah. Saingan berat Hamas yang juga berusaha menarik simpati massa sudah berkuasa penuh.

Melalui intrik politik dan pembuatan perjanjian, Pemerintahan Palestina (Palestinian Authority = PA) telah berhasil mencapai apa yang tidak bisa dicapai Israel melalui kekuasaannya yang besar. PA telah menghancurkan sayap militer Hamas dan memasukkan pemimpin² dan pejuang²nya ke dalam penjara. Meskipun telah dibebaskan dari penjara, anggota² Hamas pulang dan tidak melakukan apapun terhadap PA dan kekuasaannya. Para feda’iyin muda kecapekan. Para pemimpin mereka terpecah-belah dan sangat curiga satu sama lain.

Ayahku juga hanya mengurus kepentingan keluarga saja, dan dia kembali bekerja di mesjid dan kamp² penampungan. Sekarang jika dia bicara, dia bicara dalam nama Allâh, dan bukan lagi sebagai pemimpin Hamas. Setelah bertahun-tahun berpisah karena dipenjara, aku menggunakan kesempatan sebaiknya untuk bepergian dan menghabiskan waktu bersamanya lagi. Aku rindu saat² kami ngobrol panjang lebar tentang kehidupan dan Islam.

Sewaktu aku terus melanjutkan membaca Alkitab dan belajar tentang agama Kristen, aku mendapatkan diriku tertarik sepenuhnya dalam kemuliaan, kasih sayang, dan sikap rendah hati yang disampaikan Yesus. Anehnya, sikap² seperti inilah yang membuat orang² datang pada ayahku – dia adalah salah satu Muslim yang paling berbakti yang pernah kukenal.

Tentang hubunganku dengan Shin Bet, karena sekarang Hamas tidak lagi berkuasa dan PA mengontrol keadaan agar tetap tenang, maka tampaknya tak ada yang harus kukerjakan bagi mereka. Kami hanya berteman baik saja. Mereka bisa mempersilakan aku pergi kapan pun mereka mau, atau aku pun bisa minta permisi pada mereka kapan pun aku mau.

Image
Pertemuan Camp David antara Perdana Menteri Israel Ehud Barak, Presiden Amerika Bill Clinton dan pemimpin Palestina Yasser Arafat, di tanggal 25 Juli, 2000.

Pertemuan Camp David antara Yasser Arafat, Presiden Amerika Bill Clinton, dan Perdana Menteri Israel Ehud Barak berakhir pada tanggal 25 Juli, 2000. Barak telah menawarkan Arafat kekuasaan 90% dari seluruh Jalur Gaza, dan bagian Timur Yerusalem sebagai ibukota negara Palestina. Selain itu, dana uang internasional akan dikumpulkan untuk membayar ganti rugi bagi masyarakat Palestina yang kehilangan harta benda saat bagian daerah itu dikuasai Israel. Tawaran “tanah suci” ini merupakan kesempatan bersejarah dan tawaran sangat langka yang tak terbayangkan sebelumnya bagi masyarakat Palestina yang telah lama menderita. Akan tetapi, tawaran bernilai sangat besar ini tidak juga memuaskan Arafat.

Yasser Arafat telah jadi sangat kaya raya karena posisinya sebagai simbol korban penindasan di mata internasional. Dia tidak mau kehilangan kedudukannya dan menanggung tanggung jawab untuk membangun sebuah negara yang benar² berfungsi dalam mengurus masyarakatnya.
Karena itulah, dia bersikeras meminta semua pengungsi diperbolehkan kembali ke tanah² yang dulu mereka miliki di tahun 1967 – persyaratan yang dia tahu betul akan ditolak oleh Israel.

Meskipun penolakan Arafat terhadap tawaran Barak merupakan kerugian sangat besar bersejarah bagi masyarakat Palestina, Arafat kembali pulang ke Palestina dengan dianggap sebagai pahlawan yang berani menantang Presiden AS dengan menolak mundur dan tetap pada keputusannya di hadapan seluruh dunia.

Arafat lalu muncul di TV dan seluruh dunia menonton sewaktu dia khotbah tentang betapa besar cintanya akan masyarakat Palestina dan kesedihannya akan jutaan keluarga yang hidup di kamp² penampungan. Setelah aku ikut bepergian bersama ayah dan menghadiri pertemuan² dengan Arafat, aku mulai melihat sendiri bagaimana orang ini sangat senang jadi perhatian media massa. Dia tampaknya sangat menikmati dianggap sebagai Che Guevara Palestina dan sederajat dengan para raja, presiden, dan perdana menteri.

Image
Yasser Arafat.

Yasser Arafat dengan jelas mengakui bahwa dia ingin jadi pahlawan yang ditulis di buku² sejarah. Tapi tatkala aku melihatnya, inilah yang kupikirkan: Ya, biarlah dia diingat dalam buku² sejarah kami, bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai pengkhianat yang menggunakan bahu masyarakatnya untuk ditungganginya, sebagai Robin Hood terbalik yang mencuri dari masyarakatnya yang miskin untuk membuat dirinya kaya raya, sebagai sepotong daging babi murahan yang membeli ketenarannya dengan darah masyarakat Palestina.

Juga menarik untuk menilai Arafat melalui sudut pandang para agen rahasia Israel. “Gimana sih orang ini?” kata pembimbing Shin Bet-ku suatu hari. “Kami tidak pernah menyangka para pemimpin kami bisa rela mengajukan tawaran begitu besar pada Arafat. Tidak pernah! Dan lalu Arafat menolaknya?”

Memang sesungguhnya Arafat telah ditawari kunci² perdamaian di Timur Tengah dan juga sebuah negara berdaulat utuh bagi masyarakat Palestina – dan dia membuang tawaran besar ini begitu saja. Sebagai hasilnya, korupsi yang dilakukan diam² terus saja berlangsung. Tapi keadaan tidak tetap diam untuk waktu yang lama. Bagi Arafat, dirinya akan lebih banyak beruntung jika masyarakat Paletina terus berdarah. Sebuah intifada yang baru tentunya akan membuat darah terus mengalir dan kamera² media massa Barat akan berputar sekali lagi.

Pendapat para pemerintah dunia dan juga media massa menyatakan pada kita bahwa Intifada Kedua berdarah terjadi secara spontan karena kemarahan masyarakat Palestina terhadap kedatangan Jendral Ariel Sharon ke kompleks Temple Mount (Mesjid di Bukit atau Mesjid al-Aqsa yang berkubah emas). Tapi seperti biasanya, pendapat umum itu salah.
*******************
Di sore hari tanggal 27 September, ayahku mengetuk pintu kamarku dan bertanya apakah aku bisa mengantarkannya pakai mobil ke rumah Marwan Barghouti esok pagi setelah sholat fajar.

Image
Marwan Barghouti, ketua Fatah.

Marwan Barghouti adalah sekretaris jendral Fatah, bagian politik terbesar di PLO. Dia adalah pemimpin muda Palestina yang kharismatik, pendukung utama PA dan pasukan keamanan Arafat. Marwan adalah pria pendek yang seringkali berpakaian santai dan memakai celana jeans, dan dia dianggap sebagai calon presiden Palestina berikut.

“Ada masalah apa?” tanyaku pada ayah.

“Sharon dikabarkan akan mengunjungi Mesjid Al-Aqsa besok hari, dan PA yakin ini adalah kesempatan baik untuk melakukan pemberontakan.”

Ariel Sharon adalah pemimpin Partai Likud dan musuh politik Perdana Menteri Ehud Barak dan partai sayap kirinya yakni Partai Buruh. Sharon sedang melakukan persaingan politik terhadap Barak untuk memimpin Pemerintahan Israel.

Image
Ariel Sharon.

Pemberontakan? Apakah mereka serius? Para pemimpin PA yang memasukkan ayahku ke penjara, sekarang meminta ayah untuk menolong mereka mengadakan intifada yang baru. Ini sungguh ironis, tapi aku bisa menarik kesimpulan mengapa mereka minta bantuan ayah bagi terlaksananya rencana mereka. Mereka tahu masyarakat cinta dan percaya pada ayah sama besarnya - jika tidak lebih besar - dengan kebencian dan ketidakpercayaan mereka terhadap PA. Mereka akan ikut ayahku ke manapun, dan PA tahu tentang hal itu.

Mereka juga kenal Hamas, yang sekarang bagaikan petinju yang kecapekan yang sedang dihitung oleh juri. PA ingin ayah membangkitkan Hamas, menyiram air ke wajahnya, dan mengirimnya kembali bertarung untuk satu ronde lagi agar PA dapat menghajarnya KO di hadapan penonton yang bersorak-sorai. Bahkan para pemimpin Hamas - yang juga kelelahan karena bertahun-tahun berperang - memperingatkan ayah untuk berhati-hati.

“Arafat hanya menggunakan kita sebagai bahan bakar bagi tungku pembakaran politiknya,” kata mereka pada ayah. “Jangan terlibat terlalu jauh dengan rencana intifada mereka.”

Tapi ayah mengetahui pentingnya melakukan gerak isyarat ini. Jika dia tidak menampakkan keinginan untuk bekerja sama dengan PA, mereka akan dengan mudah menunjuk Hamas, menyalahkan kami karena mengganggu proses perdamaian.

Apapan yang kami lakukan, kami tetap saja dalam situasi yang kalah, dan aku sangat khawatir akan rencana ini. Tapi aku tahu ayahku perlu melakukan hal itu, maka keesokan paginya aku menyetir mobil mengantarnya ke rumah Marwan Barghouti. Kami mengetuk pintu, tidak terdengar jawaban untuk beberapa saat, dan akhirnya kami diberi tahu bahwa Marwan saat itu masih tidur.

Biasalaah, kataku pada diriku sendiri. Fatah melibatkan ayahku dalam rencana mereka yang **** tapi mereka bahkan tidak merasa perlu bangun tidur untuk menjalankan rencananya.

“Tak apa²,” kataku pada ayah. “Jangan khawatir. Masuklah ke dalam mobil, dan aku akan membawamu ke Yerusalem.”

Tentu saja membawa ayah ke daerah yang akan didatangi Sharon adalah tindakan yang riskan, karena kebanyakan mobil Palestina tidak boleh masuk Yerusalem. Biasanya, jika seorang supir Palestina tertangkap polisi Israel, maka dia akan didenda, tapi karena latar belakang kami, aku dan ayah bisa langsung ditangkap di tempat. Aku harus sangat berhati-hati, berusaha tetap berada di sisi jalan dan percaya bahwa hubunganku dengan Shin Bet akan melindungiku jika dibutuhkan.

Mesjid Al-Aqsa dan Dome of the Rock (tempat keramat bagi Muslim) dibangun di atas reruntuhan dan peninggalan dua Kuil Yahudi kuno, yakni Kuil Salomo (Bait Allah pertama) dari abad ke 10 SM dan Kuil Raja Herodes di jaman Yesus. Tak heran mengapa sebagian orang menganggap bukit berbatu ini merupakan tempat berukuran 35 aker (141.639,974 m²) yang paling berubah drastis fungsinya di dunia. Tempat ini merupakan tempat suci bagi tiga agama besar monotheistik dunia. Bagi para sejarawan dan ilmuwan, tempat ini juga sangat penting karena mengandung peninggalan arkeologi yang sangat besar - bahkan begitu pula pendapat para atheis.

Image
Mesjid Al-Aqsa dan Dome of the Rock.

Beberapa minggu sebelum kedatangan Sharon di tempat ini, para Muslim Waqf - penguasa Muslim di daerah itu - telah menutup seluruh daerah Temple Mount dan menghentikan penelitian² arkeologi yang dilakukan oleh Badan Penelitian Peninggalan milik Pemerintah Israel. Untuk melakukan pekerjaan membangun bagian bawah mesjid di tempat itu, pihak mesjid mendatangkan mesin² pembongkar tanah yang besar². Koran² sore Israel menampilkan foto² buldozer, mesin penggali hidrolik, dan truk pengangkut brangkal yang semuanya digunakan di sekitar tempat itu. Dalam waktu beberapa minggu, truk² pengangkut tanah telah memindahkan sekitar 13.000 ton bongkahan tanah dari kompleks Temple Mount ke pembuangan sampah kota. Laporan surat kabar di tempat pembuangan sampah menunjukkan para ahli arkeologi menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya sewaktu mereka mencari sisa² peninggalan kuno di tempat sampah. Sebagian dari peninggalan yang ditemukan berasal dari jaman Bait Allah pertama dan kedua.

Bagi umumnya masyarakat Israel, sudah jelas bahwa rencana pembongkaran tanah dan pendirian bagian bawah mesjid adalah untuk membuat seluruh daerah 35 aker itu jadi daerah Muslim saja, dengan menghilangkan semua tanda, sisa² benda kuno, dan sejarah Yahudi di masa lalu. Hal ini termasuk penghancuran penemuan² arkeologi yang mewakili bukti sejarah Israel di daerah itu di masa lalu.

Kedatangan Sharon bertujuan untuk menyampaikan pesan diam tapi jelas bagi masyarakat Israel yang akan menentukan suara dalam Pemilu mendatang: “Aku akan menghentikan penghancuran yang tidak seharusnya dilakukan ini.” Dalam melakukan kunjungannya, orang² Sharon telah mendapat jaminan dari kepala keamanan Palestina Jibril Rajoub bahwa kedatangannya tidak akan jadi masalah selama dia tidak menginjakkan kaki ke dalam mesjid.

Aku dan ayah datang ke tempat itu beberapa menit sebelum kedatangan Sharon. Pagi hari itu masih sepi. Sekitar seratus orang Palestina datang untuk sholat. Sharon datang di saat jam kunjungan turis biasa, bersama delegasi dari Partai Likud dan seribu polisi anti huru-hara. Dia datang, melihat-lihat, dan pergi. Dia tidak mengatakan apapun. Dia tidak pernah masuk mesjid.

Image
Ariel Sharon mengunjungi Temple Mount.

Semuanya tampak biasa saja bagiku. Di saat pulang kembali ke Ramallah, aku bertanya pada ayahku ada urusan besar apakah yang terjadi?

“Apa yang terjadi?” tanyaku. “Kau tidak memulai intifada.”

“Belum,” jawabnya. “Tapi aku telah memanggil beberapa aktivis dari gerakan pelajar Islam dan meminta mereka menemuiku di sini untuk melakukan protes.”

“Tidak ada apapun yang tejadi di Yerusalem, mengapa kau sekarang mau melakukan demonstrasi di Ramallah? Ini sungguh gila,” kataku padanya.

“Kita harus melakukan apa yang kita harus lakukan. Al-Aqsa itu mesjid kita, dan Sharon tidak seharusnya datang ke sana. Kita tidak bisa membiarkan hal ini.”

Aku berpikir apakah sebenarnya perkataan itu ditujukan pada dirinya untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Demonstrasi di Ramallah bukanlah aksi yang menghebohkan yang membuat kekacauan besar²an. Demonstrasi ini dilakukan di pagi hari, dan orang² yang berlalu-lalang di kota itu merasa heran dengan apa yang dilakukan para pelajar dan anggota Hamas yang tampaknya juga tidak mengerti apa sebenarnya protes yang mereka ajukan.

Beberapa orang berdiri dengan pengeras suara tanduk kerbau dan melakukan pidato, dan sekelompok kecil orang Palestina yang mengelilingi para pembicara kadang² berteriak-teriak. Tapi selain itu, tidak banyak yang memperhatikan adegan ini. Akhir² ini daerah Palestina memang jauh lebih tenteram daripada sebelumnya. Setiap hari berlalu seperti biasa. Serdadu² Israel sudah jadi pemandangan biasa. Orang² Palestina diperbolehkan bekerja dan bersekolah di daerah Israel. Ramallah memiliki kehidupan malam yang ramai. Dengan keadaan seperti ini, susah untuk mengerti mengapa orang² ribut protes.

Menurut pendapatku, demonstrasi ini tidak tampak penting. Aku merasa santai saja dan aku panggil teman²ku dari kelompok Belajar Alkitab, dan kami pun pergi bersama untuk piknik dekat danau Galilea.

Karena tidak ada sumber berita apapun di sana, aku tidak tahu bahwa keesokan harinya sejumlah besar demonstrator Palestina melempari batu dan berkelahi menghadapi tentara anti huru-hara Israel di dekat daerah yang dikunjungi Sharon. Lemparan² batu berkembang jadi lemparan² bom molotov, dan diikuti dengan tembakan² senapan Kalashnikov. Polisi menggunakan peluru karet, tapi sebagian berita mengatakan peluru² tajam juga ditembakkan pada para demonstrator. Empat demonstrator mati terbunuh, dan 200 lainnya luka². Empat belas polisi terluka juga. Dan semua ini persis seperti yang diinginkan oleh Pemerintah Palestina (Palestinian Authority = PA).

Keesokan harinya, aku menerima telepon dari Shin Bet.

“Di mana kamu?”

“Aku sedang piknik di Galilea bersama teman²ku.”

“Galilea? Apa? Kau gila!” Laoi mulai tertawa. “Kau sungguh sukar dimengerti,” katanya. “Seluruh Tepi Barat jungkir balik dan kamu malah bersenang-senang piknik bersama teman² Kristenmu.”

Ketika dia memberitahu aku apa yang terjadi. Aku meloncat masuk mobil dan segera pulang.

Yasser Arafat dan pemimpin² PA telah bertekad untuk menciptakan intifada baru. Mereka telah merencanakan hal ini selama berbulan-bulan, bahkan sewaktu Arafat dan Barak bertemu bersama Presiden Bill Clinton di Camp David. Mereka hanya menunggu saat tepat untuk menciptakan dalih. Kedatangan Sharon adalah dalih tepat yang telah mereka tunggu². Maka setelah melakukan beberapa kesalahan, akhirnya Intifada Al-Aqsa berlangsung dengan semangat berkobar yang menyebabkan Tepi Barat dan Jalur Gaza penuh pertempuran berdarah lagi, terutama Gaza.

Di Gaza, Fatah melancarkan demonstrasi yang mengakibatkan penayangan internasional kematian anak laki usia 12 tahun yang bernama Mohammed al-Dura. Anak ini dan ayahnya, Jamal, terperangkap dalam kobaran api dan berlindung di balik tembok semen berbentuk silinder. Anak laki ini tertembak peluru nyasar dan mati di tangah bapaknya. Semua kejadian ini direkam oleh kamerawan Palestina yang bekerja bagi TV Perancis. Dalam beberapa jam saja, video kejadian ini beredar di seluruh dunia dan membuat marah jutaan orang terhadap pendudukan Israel.

Image
Kasus penembakan Mohammed al-Dura yang diduga adalah rekayasa pihak Palestina.

Akan tetapi, dalam bulan² berikutnya, terjadi perdebatan yang meragukan keaslian peristiwa ini. Sebagian menyatakan sebenarnya yang membunuh anak itu adalah peluru Palestina sendiri. Yang lain terus menyalahkan Israel. Ada pula yang menuduh kejadian itu hanyalah adegan film yang telah diatur oleh pihak Palestina sendiri. Karena video juga tidak menunjukkan anak laki itu ditembak atau bahkan tubuhnya, banyak yang mengira ini semua hanyalah propaganda PLO saja. Jika hal itu memang benar, maka ini sungguh cerdik dan efektif.

Apapun kejadiannya, aku tiba² saja berada di tengah² perang di mana ayahku adalah pemimpin pentingnya – meskipun sebenarnya dia juga tidak tahu ke mana dia akan memimpin dan apa akibatnya bagi dirinya. Dia hanya dimanfaatkan dan dimanipulasi oleh Arafat dan Fatah untuk memulai kekacauan, sehingga menyediakan PA bahan untuk mengajukan tawaran baru pada Israel dan minta sumbangan dana lagi pada masyarakat internasional.

Image
Intifada Al-Aqsa.

Di lain pihak, lagi² banyak orang yang mati terbunuh di pos² pemeriksaan. Semua pihak menembak membabi-buta. Anak² juga terbunuh. Dari satu hari penuh darah ke hari lainnya, Yasser Arafat yang menangis mengucurkan airmata sambil berdiri di hadapan kamera² media Barat. Dia meremas jari²nya dan menyangkal bertanggungjawab atas terjadinya kekerasan. Sebaliknya, dia malahan mengarahkan jarinya pada ayahku, pada Marwan Barghouti, dan pada masyarakat di kamp penampungan. Dia meyakinkan dunia bahwa dia tidak bisa berbuat apapun untuk meredakan pemberontakan. Di saat yang sama, jarinya yang lain menarik pelatuk senapan kuat².

Akan tetapi, kemudian Arafat menyadari bahwa dia telah melepaskan setan celaka. Dia telah membangkitkan emosi masyarakat Palestina dan membuat mereka marah, dan hal ini sesuai dengan rencananya. Tapi tak lama setelah itu, masyarakat Palestina jadi benar² diluar kontrol. Sewaktu mereka melihat tentara² IDF menembaki ayah, ibu, dan anak² mereka, mereka jadi begitu marah sehingga tidak lagi mau mendengar PA atau siapapun lagi.

Arafat juga kemudian menyadari bahwa petinju loyo yang dibangunkannya dulu ternyata terbuat dari bahan yang lebih ulet daripada dugaannya. Jalanan merupakan lingkungan alami bagi Hamas. Petinju itu memulai perkelahiannya di situ, dan karena tempat itulah dia menjadi yang terkuat.

Damai dengan Israel? Camp David? Oslo? Separuh Yerusalem? Persetan dengan semua itu! Semua niat awal untuk kompromi telah menguap dalam bara api konflik yang panas. Masyarakat Palestina kembali pada mentalitas lama: dapat semuanya atau tidak dapat apapun sama sekali. Dan sekarang malah Hamas, dan bukan lagi Arafat, yang mengipasi api.

Gigi balas gigi, mata ganti mata, dan kekerasan semakin memuncak. Dari hari ke hari, daftar duka masing² pihak juga semakin panjang.

○ 8 Oktober, 2000, sekelompok masyarakat Israel menyerang masyarakat Palestina di Nazareth. Dua Arab terbunuh, dan lusinan terluka.
Di Tiberias, masyarakat Yahudi menghancurkan mesjid berusia 200 tahun.

○ 12 Oktober, sekelompok masyarakat Palestina membunuh dua serdadu IDF di Ramallah. Israel membalas dengan membom Gaza, Ramallah, Yerikho, dan Nablus.

○ 2 November, sebuah bom mobil membunuh dua orang Israel di dekat pasar Mahane Yehuda di Yerusalem. Sepuluh orang lainnya terluka.

○ 5 November, Intifada Al-Aqsa sudah berlangsung selama 38 hari, dan 150 orang² Palestina sudah terbunuh sampai saat itu.

○ 11 November, sebuah helikopter Israel meledakkan peralatan bom yang mereka tanam di mobil aktivis Hamas.

○ 20 November, bom di pinggir jalan meledak di sebelah bus yang berisi anak² yang akan berangkat ke sekolah. Dua orang Israel tewas. Sembilan lainnya luka², termasuk 5 anak² juga terluka. [5]
[5] Menteri Luar Negeri Israel, “Bom Bunuh Diri dan Serangan² Bom Lainnya di Israel sejak Pengumuman Prinsip (September 1993)”; Masyarakat Akademis Palestina bagi Penelitian Masalah Internasional, Yerusalem, “Fakta² Palestina – Kronologi Palestina 2000, http://www.passia.org/palestine_facts/c ... /2000.html.
Juga lihat http://www.mfa.gov.il/MFA


Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Sesuatu harus dilakukan untuk menghentikan roda kekerasan yang menggila ini. Aku tahu sudah saatnya bagiku untuk mulai bekerja bagi Shin Bet. Dan aku melakukannya dengan sepenuh hati.
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Bab 17 – Tugas Rahasia

Post by Adadeh »

Bab 17 – Tugas Rahasia
2000-2001


Apa yang akan kusampaikan ini tidak diketahui siapapun sebelumnya, kecuali oleh segelintir agen rahasia Israel. Aku mengungkapkan rahasia ini dengan harapan meluruskan beberapa kejadian penting yang selama ini hanyalah misteri saja.

Pada saat aku mengambil keputusan untuk membantu Shin Bet menghentikan semua kegilaan ini, aku mulai mempelajari dengan seksama semua kegiatan² dan rencana² Marwan Barghouti dan pemimpin² Hamas. Aku menyampaikan semua yang kuketahui pada Shin Bet, dan mereka lalu menggunakan segala kemampuan mereka untuk menangkap para pemimpin ini.

Dalam badan Shin Bet, aku diberi nama sandi Pangeran Hijau. Hijau melambangkan warna bendera Hamas, dan pangeran sudah tentu melambangkan kedudukanku sebagai anak dari ayahku – raja dalam Hamas. Maka di usia 22 tahun, aku menjadi satu²nya mata² Shin Bet dalam Hamas yang bisa menembus badan militer dan politik Hamas, dan juga organisasi² Palestina lainnya.

Tapi tanggungjawab ini tidak semuanya berada di pundakku. Sudah jelas bagiku bahwa Tuhan menempatkan diriku di tengah² kepemimpinan Hamas dan Palestina, dalam rapat² Yasser Arafat, dan dalam badan rahasia Israel untuk suatu tujuan tertentu. Aku punya posisi unik untuk melakukan pekerjaan ini. Dan aku dapat merasakan bahwa Tuhan bersamaku.

Aku ingin menyelusup lebih dalam, untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Aku dulu berada di tengah² intifada pertama, dikelilingi oleh kekerasan. Mayat² korban telah menyesakkan kuburan di mana dulu aku sebagai anak² bermain sepakbola. Aku melempar batu². Aku melanggar jam malam. Tapi dulu aku tidak mengerti mengapa masyarakatku melakukan kekerasan. Sekarang aku ingin tahu mengapa kami melakukannya sekali lagi. Aku harus mengerti.

Dari pandangan Yasser Arafat, pemberontakan tampaknya hanya bertujuan politik, uang, dan untuk tetap berkuasa. Dia adalah biang manipulator, master pengendali boneka Palestina. Di hadapan kamera, dia mengutuk Hamas karena melakukan serangan² terhadap penduduk sipil dalam wilayah Israel. Hamas tidak mewakili PA atau masyarakat Palestina, katanya. Tapi dia juga tidak banyak melakukan apapun untuk menginterupsi, dan malah merasa puas membiarkan Hamas melakukan pekerjaan kotornya dan lalu disalahkan oleh komunitas internasional. Dia adalah politikus licin yang tahu bahwa Israel tidak bisa menghentikan serangan² tanpa bersedia bekerja sama dengan PA. Semakin banyak serangan terjadi, semakin Israel terdesak untuk bersedia berunding di meja pertemuan.

Di saat ini, sebuah kelompok baru muncul di arena konflik. Kelompok ini menamakan diri Brigade Syahid Al-Aqsa. Prajurit² IDF dan para penduduk Israel adalah sasaran bunuh mereka. Tapi tiada yang tahu siapakah orang² ini atau dari mana mereka berasal. Mereka tampak relijius, meskipun tak ada orang dalam Hamas atau Jihad Islam yang mengenal mereka. Mereka juga tak nampak sebagai kelompok nasionalis dari PA atau Fatah.

Shin Bet juga bingung seperti yang lain. Sekali atau dua kali seminggu, mobil atau bus Israel diserang dengan tembakan yang tepat. Bahkan prajurit² Israel yang bersenjata lengkap juga jadi korban mereka.

Suatu hari, Loai meneleponku.

“Kami punya keterangan bahwa sebagian dari penyerang² misterius ini mengunjungi Maher Odeh, dan kami ingin kau mencari tahu siapa mereka dan apa hubungan mereka dengan Maher Odeh. Kau adalah satu²nya yang bisa kami percayai.”

Maher Odeh adalah ketua Hamas yang sangat dicari oleh Shin Bet. Dia adalah ketua kelompok keamanan Hamas dalam penjara, dan aku tahu dialah yang bertanggung jawab atas penyiksaan² yang dilakukan Hamas di penjara. Aku menduga dialah pengatur dan penggerak serangan² bom bunuh diri. Odeh juga adalah orang yang sangat menjaga rahasia, karenanya tidak mungkin bagi Shin Bet untuk mengumpulkan bukti yang cukup untuk menangkapnya.

Petang itu, aku menyetir mobil masuk ke tengah kota Ramallah. Saat itu bulan Ramadan, dan jalanan sepi. Matahari telah tenggelam, jadi semua orang sedang berada di rumah untuk buka puasa, saat aku memarkir mobil tak jauh dari gedung apartemen Maher Odeh. Meskipun aku belum dilatih untuk melakukan tugas seperti ini, aku tahu dasar² prakteknya. Dalam film², orang yang mengawasi akan duduk dalam mobil di seberang jalan tak jauh dari rumah yang diincar dan mengamati keadaan dengan kamera canggih atau peralatan agen rahasia lainnya. Meskipun Shin Bet punya segala teknologi super canggih, satu²nya yang kumiliki dalam menjalankan tugas rahasia ini hanyalah mobilku dan mataku. Yang perlu kulakukan hanyalah melihat gedung dan mengetahui siapa yang datang dan pergi.

Setelah setengah jam kemudian, beberapa orang bersenjata meninggalkan gedung dua tingkat itu dan masuk ke dalam mobil Chevy hijau baru yang berbendera Israel. Semua ini tampak salah. Pertama-tama, anggota Hamas, terutama dari bagian militer, tidak pernah membawa senjata mereka di tempat umum. Kedua, orang² seperti Maher Odeh tidak berhubungan dengan orang² bersenjata.

Aku menghidupkan mesin mobil dan menunggu dua mobil lewat diantara kami dan lalu mulai mengikuti mereka. Aku mengikuti mobil Chevy hijau hanya sebentar saja di jalan utama ke Betunia, di mana orangtuaku tinggal, dan lalu aku kehilangan mereka.

Aku marah pada diriku sendiri dan Shin Bet. Ini sih bukan seperti di film, tapi ini kejadian nyata, di kehidupan nyata, di mana memata-matai seseorang bisa membuatmu dibunuh. Jika Shin Bet ingin aku mengikuti orang² bersenjata seperti mereka, terutama di malam hari, mereka semestinya memberiku pertolongan. Ini adalah tugas untuk beberapa orang, dan bukan aku seorang diri saja. Aku dulu selalu mengira operasi rahasia seperti ini tentunya melibatkan pengawasan dari udara atau satelit – pokoknya peralatan rahasia super canggih. Tapi yang sekarang ada hanyalah diriku saja. Aku bisa saja beruntung, atau bisa malah apes tertembak. Sekarang aku tidak mendapatkan hasil apapun. Aku menyetir mobil pulang ke rumah bagaikan seseorang yang kehilangan kontrak bisnis bernilai sejuta dollar.

Keesokan paginya aku bangun dan bertekad menemukan mobil itu. Tapi setelah menyetir mobil berjam-jam, aku tetap saja tak menemukannya. Merasa putus asa sekali lagi, aku menyerah dan ingin mencuci mobilku di tempat pencucian mobil. Tak tahunya, mobil Chevy hijau itu juga ada di tempat cuci mobil! Warna hijau yang sama. Orang² di dalam mobil yang sama. Senjata² yang sama.

Apakah ini sekedar keberuntungan atau campur tangan Tuhan atau apa ya?

Aku bisa melihat mereka semua jauh lebih jelas lagi karena sekarang adalah siang hari, dan aku berada jauh lebih dekat dengan mereka daripada kemaren di petang hari. Orang² ini mengenakan pakaian yang resmi, membawa AK-47 dan M16, dan aku langsung mengenali mereka sebagai Pasukan 17, yang adalah pasukan komando elit yang telah terbentuk sejak 1970an. Mereka adalah orang² yang menjaga keamanan Arafat dan melindunginya dari orang² yang membencinya, yang semakin banyak jumlahnya.

Sesuatu terasa tidak cocok. Apakah mereka adalah orang yang sama yang kulihat meninggalkan rumah Maher Odeh kemaren petang? Apa yang dilakukan Maher Odeh dengan orang² bersenjata? Apakah dia bekerja sama dengan Arafat? Semuanya ini tampak tak masuk akal bagiku.

Setelah mereka pergi, aku bertanya pada pemilik perusahaan cuci mobil siapakah mereka. Dia tahu aku adalah anak Hassan Yousef, jadi dia tidak heran atas pertanyaanku. Dia membenarkan bahwa mereka adalah anggota² Pasukan 17 yang tinggal di Betunia. Sekarang aku lebih heran lagi. Mengapa mereka tinggal di tempat yang jauhnya hanya 2 menit menyetir dari rumah orangtuaku dan bukannya tinggal di kompleks tempat tinggal Arafat?

Aku menyetir mobil ke alamat yang kudapat dari pemilik perusahaan cuci mobil dan menemukan mobil Chevy hijau diparkir di luar. Aku cepat² pergi menuju kantor pusat Shin Bet dan memberitahu Loai semuanya yang kutemukan. Dia mendengarkan baik², tapi bossnya terus berdebat denganku.

“Ini tak masuk akal,” katanya. “Mengapa para penjaga Arafat tinggal di luar kompleks? Kau pasti salah.”

“Aku tidak salah!” aku jadi marah. Aku tahu keteranganku tak masuk akal, dan aku frustasi dengan kenyataan bahwa aku tahu apa yang kulihat, tapi tak bisa menerangkan hubungannya. Sekarang orang ini malahan mengatakan aku tidak melihat apa yang jelas sudah kulihat.

“Semuanya juga salah,” aku berkata padanya. “Aku tak peduli jika semua ini masuk akal bagimu atau tidak. Aku melihat apa yang kulihat.”

Dia tersinggung karena aku bicara padanya seperti itu dan berjalan dengan cepat meninggalkan pertemuan. Laoi membujukku untuk tenang dan kembali lagi menceritakan semua detail satu per satu. Ternyata, mobil Chevy ini tidak cocok dengan keterangan yang mereka dapatkan tentang kelompok Brigade Syahid Al-Aqsa. Mobil Chevy hijau ini adalah mobil Israel yang dicuri, dan kemungkinan dipakai oleh orang² PA, tapi kami tidak tahu bagaimana hubungan PA dengan kelompok Brigade Syahid Al-Aqsa.

“Apakah kau yakin mobil itu adalah mobil Chevy hijau?” dia bertanya. “Apakah kau tidak melihat BMW?”

Aku yakin mobilnya adalah mobil Chevy hijau, tapi aku kembali ke apartemen tersebut lagi. Di sana tampak mobil Chevy tersebut, diparkir di tempat yang sama. Di sebelah apartemen, aku melihat mobil lain yang ditutupi kain putih. Dengan hati² aku mendekati bagian samping bangunan dan mengangkat bagian belakang kain penutup. Di dalamnya tampak mobil BMW berwarna perak, buatan tahun 1982.

“Oke, kita menemukan mereka!” Laoi berteriak ke dalam ponselku ketiak aku meneleponnya untuk memberitahukan apa yang kutemukan.

“Menemukan apa?”

“Para pengawal Arafat!”

“Ah, masa? Bukankah semua keteranganku salah?” kataku sarkastik.

“Tidak, kau sangat benar. Mobil BMW itu selalu digunakan setiap kali menembak di Jalur Barat dalam waktu dua bulan terakhir.”

Dia lalu menjelaskan bahwa informasiku ini benar² memecahkan persoalan karena merupakan bukti pertama bahwa Brigade Syahid Al-Aqsa tidaklah lain daripada para pengawal Yasser Arafat sendiri – yang langsung dibiayai oleh Arafat melalui sumbangan dana dari Amerika dan dunia internasional lainnya, yang mengumpulkan uang itu melalui pemungutan pajak pada masyarakat negara² tersebut. Menemukan hubungan ini merupakan langkah teramat penting untuk menghentikan rangkaian ledakan bom yang membunuhi penduduk sipil. Bukti yang kuberikan pada Shin Bet nantinya akan digunakan untuk menghakimi Arafat di hadapan Konsul Keamanan PBB. [6] Sekarang, yang harus kami lakukan adalah menangkap anggota² dari kelompok ini – potong kepala ular, begitu istilah orang² Israel.
[6] Penegasan selanjutnya akan hubungan ini muncul di tahun berikutnya ketika Israel menyerang Ramallah dan komplek tempat tinggal Arafat. Diantara dokumen² yang ada, mereka menemukan surat permintaan bayaran bertanggal 16 September, 2001 dari Brigade Syahid Al-Aqsa untuk Brigadir Jendral Fouad Shoubaki, ketua operasi militer CFO. Surat ini meminta bayaran untuk penggunaan bahan ledak dalam pemboman² di kota² Israel dan meminta uang untuk membuat bom² lebih banyak lagi dan menutup biaya pembuatan poster² propaganda untuk promosi kegiatan pemboman bunuh diri. Yael Shahar, Brigade Syahid Al-Aqsa – Alat Politik yang Tajam,” 3 April, 2002, Institut Internasional untuk Menangkal Terorisme, IDC Hezliya.

Kami mengetahui anggota² yang paling berbahaya adalah Ahmad Ghandour, pemimpin Brigade, dan Muhaned Abu Halawa, salah seorang letnannya. Mereka telah membunuh selusin orang. Menyingkirkan mereka tampaknya bukanlah tugas yang sulit. Kami tahu siapa mereka dan di mana mereka tinggal. Terlebih lagi, mereka tidak tahu apa yang kami tahu.

IDF mengirim pesawat kecil tanpa awak mengelilingi kompleks apartemen dan mengumpulkan keterangan. Dua hari kemudian, Brigade melakukan serangan lagi di dalam wilayah Israel, dan pihak Israel ingin membalas serangan. Kanon 120 mm milik tank perang Israel Merkava yang beratnya 65 ton menembakkan 20 peluru ke gedung Brigade. Sayangnya, mereka tidak memeriksa terlebih dahulu apakah orang² itu berada di sana. Ternyata mereka sedang tak ada di tempat itu.

Terlebih jelek lagi, sekarang mereka tahu bahwa mereka terlacak. Sudah dapat diduga bahwa mereka lalu berlindung dalam kompleks tempat tinggal Arafat. Kami tahu mereka berada di sana, tapi saat itu secara politik tidaklah mungkin untuk masuk dan menawan mereka. Sekarang serangan mereka jadi lebih sering dan agresif.

Sebagai pemimpin, Ahmad Ghandour terdapat di puncak daftar cari. Setelah dia bersembunyi di tempat tinggal Arafat, kami kira kami tidak akan bisa menangkapnya lagi. Tapi ternyata kami tidak usah melakukan itu. Dia sendiri ternyata yang mengakhiri masalah.

Sewaktu sedang berjalan dekat kuburan di Al-Bireh, aku melihat penguburan militer.

“Siapa yang mati?” tanyaku ingin tahu.

“Seseorang dari utara,” jawab seseorang. “Kau tak kenal dia.”

“Siapa namanya?”

“Namanya adalah Ahmad Ghandour.”

Aku mencoba mengontrol rasa terkejutku dan bertanya secara biasa, “Apa yang terjadi dengannya? Kupikir aku sudah pernah dengar namanya.”

“Dia tidak tahu bahwa senapannya berisi peluru, dan dia tidak sengaja menembak sendiri kepalanya. Mereka bilang otaknya menempel di atap ruangan.”

Aku menelepon Loai.

“Ucapkan selamat tinggal pada Ahmad Ghandour, karena Ahmad Ghandour telah mati.”

“Apakah kau membunuhnya?”

“Apakah kau memberiku senjata? Tidak, aku tidak membunuhnya. Dia menembak dirinya sendiri. Orang ini sudah mati.”

Laoia sukar percaya keteranganku.

“Orang ini sudah mati. Aku sekarang berada di upacara penguburannya.”
*******************
Selama tahun² pertama terjadinya Intifada Al-Aqsa, aku menemani ayahku kemana pun dia pergi. Sebagai putra sulungnya, aku adalah anak-didik, bodyguard, kepercayaan, murid, dan temannya. Dan dia adalah segalanya bagiku – contoh nyata bagaimana menjadi seorang pria. Meskipun ideologi kami sudah jelas tidak sama lagi, aku tahu hatinya benar dan motivasinya tulus. Rasa sayangnya terhadap umat Muslim dan kesetiaannya pada Allâh tidak pernah luntur. Dia sangat mengharapkan perdamaian bagi masyarakatnya, dan dia menghabiskan seluruh hidupnya untuk berjuang mencapai cita² itu.

Pemberontakan kedua sebenarnya adalah kejadian Tepi Barat. Di Gaza terdapat beberapa demonstrasi, dan kematian Mohammed al-Dura yang masih kecil menyalakan amarah massa. Tapi Hamaslah yang meniupi api sehingga jadi kobaran neraka di Tepi Barat.

Di setiap desa, kota kecil, dan kota besar, masyarakat Palestina yang marah berkelahi dengan prajurit² Israel. Setiap pos keamanan menjadi medan perang berdarah. Kau akan jarang menemukan orang yang tidak menguburkan teman atau saudaranya di hari² tersebut.

Pada saat yang sama, para pemimpin semua organisasi Palestina – pemimpin² terkemuka, yang jabatannya tinggi – bertemu setiap hari dengan Yasser Arafat untuk mengatur strategi mereka. Ayahku mewakili Hamas, yang sekarang sekali lagi menjadi organisasi terbesar dan paling penting. Dia, Marwan Barghouti, dan Arafat juga bertemu setiap minggu, tanpa orang lain. Di beberapa kesempatan, aku bisa menemani ayahku dalam rapat² rahasia tersebut.

Aku benci pada Arafat dan pada perbuatan yang dilakukannya terhadap masyarakat yang kucintai. Tapi sebagai mata² Shin Bet, tentunya aku tidak boleh menunjukkan perasaanku yang sebenarnya. Meskipun begitu, di suatu saat, setelah Arafat menciumku, aku secara reflek mengelap pipiku. Dia melihat itu dan tampak jelas merasa terhina. Ayahku juga jadi malu. Setelah itu, ayah tidak pernah mengajakku masuk ke dalam ruangan rapat dengan Arafat.

Para pemimpin intifada pada berdatangan di rapat harian dengan mengendarai mobil² luar negeri seharga $70.000, ditemani dengan mobil² lain yang penuh dengan bodyguard. Tapi ayah selalu datang dengan mobil Audi biru tua, buatan 1987. Tiada bodyguard, hanya aku saja.

Rapat² ini adalah mesin yang menjalankan intifada. Meksipun aku sekarang harus duduk di luar ruangan rapat, aku tetap saja tahu setiap detail keterangan karena ayahku mencatat itu. Aku bisa membaca catatan² ayah dan membuat duplikatnya. Tidak pernah ada informasi yang super rahasia dalam catatannya, seperti misalnya siapa, di mana, dan kapan operasi militer dilakukan. Lebih tepatnya, para pemimpin selalu bicara dalam istilah² umum yang mengungkapkan pola dan arah, seperti misalnya memusatkan penyerangan di dalam wilayah Israel atau mengarah ke pos² pemeriksaan.

Meskipun begitu catatan ayah mencantumkan tanggal² demonstrasi akan diselenggarakan. Jika ayahku berkata Hamas akan mengadakan demonstrasi besok pada jam 1 siang di pusat kota Ramallah, maka penyampai berita dengan cepat pergi ke mesjid², kamp² penampungan, dan sekolah² untuk memberitahu semua anggota Hamas agar berada di sana jam 1 siang. Para prajurit Israel akan muncul juga. Sebagai akibatnya, para Muslim, pengungsi, dan juga anak² sekolah terbunuh.

Image
Sheikh Hassan Yousef (di tengah, berkacamata, yang paling pendek).

Sebenarnya Hamas sudah hampir mati sebelum terjadinya Intifada Kedua. Ayahku seharusnya meninggalkannya saja. Tapi sekarang setiap hari seluruh dunia Arab melihat wajahnya dan mendengar suaranya di siaran TV Al-Jazira. Dia sekarang tampak jelas sebagai pemimpin intifada. Hal ini membuat dia sangat terkenal dan penting di seluruh dunia Muslim, tapi juga tampak sebagai orang jahat di mata Israel.

Di akhir hari, Hassan Yousef tidak jadi besar kepala. Dia hanya merasa puas tapi tetap rendah hati karena telah melakukan keinginan Allâh.

Tatkala membaca catatan ayahku di suatu pagi, aku melihat sebuah demonstrasi akan diselenggarakan. Keesokan harinya, aku berjalan di belakang ayah di barisan depan massa yang berteriak-teriak memekakkan telinga mendekati pos pemeriksaan Israel. Dua ratus yard (182,88 meter) sebelum kami sampai di pos tersebut, para pemimpin mundur dan mengamankan diri ke puncak bukit yang aman. Orang² lainnya – anak² muda dan anak² sekolah – terus maju dan mulai melemparkan batu² terhadap prajurit² bersenjata lengkap, yang membalas dengan menembak massa.

Image
Intifada Al-Aqsa.

Dalam keadaan seperti itu, peluru karet juga bisa mematikan. Anak² tentunya paling mudah tertembak. Peluru karet ini sangat berbahaya jika ditembakkan kurang dari jarak 40 meter, dan jarak ini adalah ketetapan aturan IDF.

Image
Intifada Al-Aqsa.

Saat kami menonton dari atas bukit, kami melihat orang² mati dan terluka di mana². Para prajurit bahkan juga menembaki mobil² ambulans yang datang, menembak pengemudinya dan membunuhi pekerja rawat darurat yang mencoba mengambil tubuh korban. Pokoknya brutal deh.

Image
Intifada Al-Aqsa.

Tak lama kemudian setiap orang mulai menembak. Batu² berjatuhan di pos pemeriksaan. Ribuan orang menyerbu bagian pembatas wilayah, mencoba mendesak masuk melewati para prajurit, dengan satu tujuan yakni untuk mencapai daerah perumahan masyarakat Israel di Beit El dan menghancurkan segalanya dan semua orang yang mereka temukan. Mereka sudah gila karena marah melihat orang² yang mereka cintai berguguran dan juga karena pengaruh bau darah.

Image
Tank Merkava Israel.

Pada saat keadaan tampaknya sudah tidak mungkin bisa lebih kacau lagi, mesin disel 1200 hp tank Merkava masuk dalam kekacauan. Tiba² kanon tank menggetarkan udara dengan ledakan dahsyat.

Tank ini menjawab serangan pasukan PA yang mulai menembaki prajurit² IDF. Setelah tank datang, para bodyguard melindungi para pemimpin Palestina dan membawa mereka ke tempat yang aman. Tubuh² bergelimpangan di jalan di bawah kakiku saat aku membawa ayah masuk mobil. Begitu masuk mobil, kami langsung pergi ke Ramallah, menuju rumah sakit yang dijejali oleh orang² yang terluka, sekarat, dan mati. Tiada ruangan yang cukup menampung mereka. Bulan Sabit Merah (Palang Merahnya Muslim) membuat ruang darurat di luar untuk menghentikan pendarahan pada orang² sebelum mereka bisa dirawat di dalam rumah sakit. Tapi usaha itu tetap tidak cukup.

Tembok² dan lantai rumah sakit berlumuran darah. Orang² terpeleset saat mereka berjalan di situ. Para suami dan ayah, istri dan ibu dan anak² tersengguk menangis dengan rasa sedih dan juga amarah membara.

Anehnya, dalam keadaan yang penuh kesedihan dan marah itu, orang² tampak sangat gembira melihat para pemimpin Palestina seperti ayahku yang datang untuk meninjau keadaan mereka. Tapi justru para pemimpin Palestina inilah yang telah membawa mereka dan anak² mereka bagaikan kambing² masuk ke tempat penjagalan dan lalu merunduk menyelamatkan diri cukup jauh untuk bisa menonton penjagalan dengan nyaman. Hal ini membuatku jauh lebih merasa muak daripada melihat segala luka dan kematian.

Dan ini hanya satu demonstrasi saja. Malam demi malam, kami duduk nonton TV dan mendengar berita kematian korban yang tak hentinya. Sepuluh di kota ini. Lima di sana. Dua puluh lagi di sini.

Aku melihat sebuah berita tentang pria bernama Shada yang saat itu sedang bekerja membuat lubang di tembok di bangunan yang bersebelahan dengan kegiatan demonstrasi. Seorang prajurit tank melihatnya dan mengira alat pembuat lubang tembok adalah senjata. Prajurit itu lalu menembakkan peluru kanon yang mengenai kepala Shada.

Ayah dan aku datang berkunjung ke rumah Shada. Dia memiliki pengantin baru yang cantik jelita. Tapi keadaan ternyata bisa berkembang jadi lebih jelek lagi. Para pemimpin Palestina yang datang untuk menghibur janda itu malahan mulai bertengkar satu sama lain tentang siapa yang berhak memberi pidato saat penguburan Shada. Siapa yang akan menerima para pelayat selama tiga hari? Siapa yang akan mengurus makanan bagi keluarganya? Mereka menyebut Shada sebagai “putra kami,” mencoba mengakui bahwa Shada adalah anggota kelompoknya, dan mencoba membuktikan bahwa kelompok mereka berpartisipasi dalam intifada lebih daripada kelompok lainnya.

Organisasi² yang saling bersaing ini juga berkelahi tentang mayat² korban. Seringkali, orang² yang mati adalah orang² yang tidak pernah berhubungan dengan organisasi² tersebut. Mereka hanyalah orang yang kena getah gelombang emosi massa. Banyak dari korban, termasuk Shada, yang mati hanya gara² mereka berada di tempat yang salah, di waktu yang salah pula.

Selain itu, masyarakat Arab di seluruh dunia membakar bendera² Amerika dan Israel. Mereka berdemonstrasi dan menyumbangkan dana milyaran dollar ke wilayah Palestina untuk menghentikan pendudukan Israel. Di dua setengah tahun pertama Intifada Kedua, Saddam Hussein membayar $35.000.000 bagi keluarga² syahid Palestina - $10.000 bagi setiap keluarga bom bunuh diri. Kau bisa mengatakan berbagai hal tentang perang sinting atas sebongkah tanah ini. Tapi kau tidak pernah bisa mengatakan bahwa nyawa manusia itu murah.
cs
Posts: 74
Joined: Fri Oct 17, 2008 4:50 am

Re: Son of Hamas (Putra Hamas)

Post by cs »

permisi nandain thread, many thanks buat om Adadeh.

salam,
cs
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Bag 18 – Orang yang Paling Dicari

Post by Adadeh »

Bag 18 – Orang yang Paling Dicari
2001


Orang² Palestina tidak lagi menyalahkan Yasser Arafat atau Hamas atas masalah mereka. Sekarang mereka menyalahkan Israel karena membunuh anak² mereka. Tapi aku tetap saja berpikir akan pertanyaan² mendasar: Mengapa anak² itu berada di situ? Di manakah orangtua mereka? Mengapa para ibu dan ayah mereka tidak menempatkan mereka di tempat yang aman? Anak² itu kan seharusnya berada di sekolah, dan bukannya berlari-lari di jalanan, melempari batu kepada para tentara.

“Mengapa kau harus mengirim anak² untuk mati?” aku bertanya pada ayahku di suatu hari yang penuh darah.

“Kami tidak mengirim anak² kok,” katanya. “Mereka sendiri yang ingin pergi. Lihat saja adik² lakimu.”

Rasa takut meremang di tengkukku.

“Jika aku mendengar adik²ku pergi ke luar dan melemparkan batu, aku akan patahkan tangan² mereka,” kataku. “Aku lebih memilih mereka patah tulang daripada mati.”

“Betul begitu? Kau mungkin belum tahu ya kalau kemaren mereka melemparkan batu².” Dia berkata begitu dengan santai; aku sungguh tak percaya bahwa semua ini merupakan cara hidup kami sekarang.

Keempat adik lakiku bukan lagi anak² kecil sekarang. Sohayb berusia 21 tahun dan Seif 18 tahun, dan keduanya cukup dewasa untuk masuk penjara. Di usia 16 dan 14 tahun, Oways dan Mohammad sudah cukup umur untuk bisa ditembak. Dan semuanya seharusnya tahu bagaimana menyelamatkan diri mereka. Ketika aku bertanya pada mereka, mereka semua menyangkal melemparkan batu² kepada prajurit Israel.

“Dengar, aku sangat serius akan hal ini,” kataku pada mereka. “Aku tidak lagi memukul pantat kalian, karena kalian telah tumbuh besar sekarang. Tapi aku akan melakukannya lagi jika mendengar kalian berada dalam demonstrasi.”

“Tapi kau dan ayah juga berada dalam demonstrasi,” protes Mohammad.

“Iya, kami berada di sana. Tapi kami tidak melemparkan batu².”

Di tengah semua ini – terutama dengan sumbangan besar uang yang mengalir dari diktator kejam Iraq, Saddam Hussein – Hamas tidak lagi memonopoli pengiriman serangan bom bunuh diri. Sekarang pembom bunuh diri juga berasal dari organisasi Jihad Islam dan Brigade Syahid Al-Aqsa, Muslim sekuler, komunis, dan atheis. Mereka semua bersaing satu sama lain untuk membunuh orang² sipil Israel sebanyak-banyaknya.

Banjir darah sudah terlalu banyak. Aku tidak bisa tidur. Aku tidak bisa makan. Aku tidak melihat semua ini hanya melalui mata seorang Muslim atau Palestina atau bahkan putra Hassan Yousef lagi. Sekarang aku juga melihatnya melalui mata orang² Israel. Terlebih penting lagi, aku melihat semua pembunuhan yang gila ini melalui mata Yesus, yang menangis melihat mereka yang tersesat. Semakin banyak aku membaca Alkitab, semakin aku melihat kebenaran tunggal ini: kasihi dan ampuni musuh merupakan satu²nya jalan untuk menghentikan pertumpahan darah.

Tapi meskipun aku sangat mengagumi Yesus, aku tetap saja tidak percaya teman² Kristenku yang mencoba meyakinkan diriku bahwa dia adalah Tuhan. Allâh itulah tuhanku. Sadar atau tidak sadar, lama-kelamaan aku semakin menerapkan standard Yesus dan menolak aturan Allâh. Yang membuat aku semakin cepat meninggalkan Islam adalah kemunafikan yang terjadi di sekelilingku. Islam mengajarkan bahwa budak Allâh takwa yang mati syahid akan langsung masuk surga. Dia tidak akan ditanyai terlebih dahulu oleh malaikat² maut atau disiksa terlebih dahulu di neraka. Tapi sekarang semua orang yang dibunuh oleh orang² Israel – tidak peduli apakah orang itu Muslim KTP, komunis, atau bahkan atheis – diperlakukan bagaikan pejuang syahid. Para imam dan syeikh memberi tahu keluarga korban, “Saudaramu yang kau cintai telah berada di surga.”

Tentu saja Qur’an tidak mendukung bualan mereka. Qur’an telah tegas menjelaskan siapa yang masuk surga atau neraka. Tapi para pemimpin ini sudah tidak peduli. Hal ini bukanlah tentang masalah kebenaran atau theologi; melainkan berdusta pada masyarakat demi keuntungan strategi dan kebijaksanaan politik. Para pemimpin Islam ini membius masyarakat mereka dengan dusta agar masyarakat lupa akan rasa sakit yang diakibatkan oleh para pemimpin tersebut.

Sewaktu Shin Bet menyingkapkan informasi lebih banyak padaku, aku selalu saja kagum dengan apa yang mereka ketahui akan orang² yang kukenal dalam hidupku – seringkali orang² ini adalah teman lama yang sekarang jadi sangat berbahaya. Sebagian malah menjadi anggota bagian militer Hamas. Salah seorang dari orang² ini adalah Daya Muhammad Hussein Al-Tawil. Dia adalah pemuda tampan yang mempunyai seorang paman yang menjadi ketua Hamas.

Sepanjang tahun aku mengenalinya, Daya bukanlah orang yang relijius. Malah sebenarnya, ayahnya adalah seorang komunis, jadi tentunya dia tidak berhubungan apapun dengan Islam. Ibunya hanyalah Muslim KTP saja dan bukan radikal sama sekali. Saudara perempuan Daya adalah wartawan berpendidikan AS, warga negara AS, dan wanita modern yang tak berjilbab. Mereka tinggal di rumah yang bagus dan semua anggota keluarga berpendidikan tinggi. Daya belajar bagian teknik di Universitas Birzeit, di mana dia adalah murid terpandai di kelas. Sepengetahuanku, dia tidak pernah ikut dalam demonstrasi Hamas.

Dengan semua latar belakang ini, aku sangat terkejut ketika di tanggal 27 Maret, 2001, kami mendengar Daya telah meledakkan dirinya sendiri di daerah Bukit Perancis di Yerusalem. Meskipun tiada seorang pun tewas, 29 orang Israel terluka.

Daya bukanlah orang **** yang bisa ditipu untuk melakukan hal seperti ini. Dia juga bukan pengungsi miskin yang tidak punya apapun. Dia tidak butuh uang. Jadi mengapa dia melakukan hal itu? Tiada seorang pun yang mengerti. Orangtuanya kaget, dan begitu juga aku. Bahkan para agen rahasia Israel juga terheran-heran.

Shin Bet memanggilku untuk rapat darurat. Mereka menyerahkan sebuah foto kepala yang terlepas dari tubuhnya dan menanyakan apakah aku kenal orang ini. Aku meyakinkan mereka bahwa orang itu adalah Daya. Sewaktu aku pulang, aku terus bertanya: Mengapa? Kupikir tak ada seorang pun yang tahu jawabannya. Tiada yang bisa menduga. Bahkan paman Hamasnya juga tidak.

Daya adalah pembom bunuh diri pertama di Intifada Al-Aqsa. Penyerangan yang dilakukan menyiratkan adanya sel militer yang beroperasi secara independen di suatu tempat. Shin Bet bertekad mengetahui tentang sel ini sebelum mereka menyerang lagi.

Loai menunjukkan padaku daftar orang² yang dicurigai. Di bagian teratas tampak lima nama yang kukenal. Mereka adalah orang² Hamas yang dibebaskan PA dari penjara sebelum intifada berlangsung. Arafat tahu bahwa mereka berbahaya, tapi karena Hamas saat itu sudah lemah, dia lalu membebaskan mereka.

Keputusan Arafat itu salah. Orang yang paling dicurigai adalah Muhammad Jamal al-Natsheh, yang membantu ayahku mendirikan Hamas dan seketika menjadi pemimpin bagian militer Hamas di Tepi Barat. Al-Natsheh berasal dari keluarga terbesar di daerah itu, jadi dia tidak takut akan apapun. Dengan tinggi 180 cm, dia adalah tukang perang tulen – ulet, kuat, dan cerdik. Meskipun dia sangat benci orang² Yahudi, tapi aku tahu bahwa dia sebenarnya adalah orang yang sangat peduli akan orang lain.

Saleh Talahme – nama lain dalam daftar – adalah insinyur elektro yang sangat cerdas dan berpendidikan tinggi. Saat itu aku belum tahu bahwa nantinya kami berdua malah jadi sahabat baik.

Nama lain dalam daftar adalah Ibrahim Hamed, pemimpin bagian keamanan Hamas di Tepi Barat. Tiga orang ini dibantu oleh Sayyed al-Sheikh Qassem dan Hasaneen Rummanah.

Sayyed adalah pengikut yang baik – dia itu atletik, tak berpendidikan, dan penurut. Hasaneen adalah seorang seniman muda yang tampan yang sangat aktif dalam gerakan pelajar Islam, terutama dalam Intifada Pertama ketika Hamas berusaha membuktikan diri di jalanan sebagai kekuatan yang wajib dikenal. Sebagai ketua Hamas, ayahku telah bekerja keras agar orang² ini dibebaskan untku bisa kembali ke keluarga mereka. Di hari mereka dibebaskan Arafat, ayah dan aku menjemput mereka dari penjara, memasukkan mereka semua ke dalam mobil kami, dan menempatkan mereka dalam sebuah apartemen di Al Hajal di Ramallah.

Ketika Loai memperlihatkan daftar nama padaku, aku berkata, “Tahu enggak? Aku tahu semua orang itu. Dan aku tahu di mana mereka tinggal. Akulah yang menyetir mereka ke tempat baru aman bagi mereka.”

“Betulkah demikian?” tanyanya dengan senyum lebar. “Kalau begitu, mari langsung bekerja.”

Ketika ayah dan aku menjemput mereka dari penjara, aku tidak tahu seberapa besar bahaya mereka atau berapa banyak orang² Israel yang telah mereka bunuh. Sekarang aku adalah satu dari segelintir orang² Hamas yang tahu di mana mereka berada.

Aku mengunjungi mereka dengan membawa alat monitor tercanggih Shin Bet yang bisa merekam setiap gerakan dan perkataan mereka. Tapi sewaktu aku mulai bicara dengan mereka, sudah tampak jelas bahwa mereka tidak mau memberi informasi penting apapun.

Aku mengira ini karena mereka bukanlah orang² yang sedang kami cari.

“Ada sesuatu yang salah,” kataku pada Loai. “Mereka tidak memberitahu apapun padaku. Apakah ada kemungkinan mereka bekerja bagi kelompok lain?”

“Bisa jadi,” akunya. “Tapi orang² ini punya latar belakang sejarah. Kita tetap harus mengamati mereka sampai kita mendapatkan apa yang kita butuhkan.”

Memang mereka punya sejarah masa lalu, tapi ini saja tidak cukup untuk menangkap mereka. Kami butuh bukti yang kuat. Maka kami menuntungg dengan sabar untuk mengumpulkan informasi. Kami tidak mau membuat kesalahan besar dan salah tangkap orang, sambil membiarkan teroris yang sebenarnya bebas melakukan serangan bom berikut.
*******************
Mungkin kegiatan hidupku kurang padat, atau mungkin karena tampak sebagai gagasan yang baik di saat itu, tapi di bulan yang sama aku mulai bekerja di Kantor Gedung Kapasitas Agen USA bagi Perkembangan Internasional Air Desa dan Program Sanitasi (Capacity-Building Office of the United States Agency for International Development (USAID) Village Water and Sanitation Program), yang berkantor pusat di Al-Bireh. Nama yang panjang untuk proyek yang sangat penting. Karena aku belum punya gelar sarjana, aku mulai kerja sebagai penerima tamu saja.

Sebagian teman² Kristen dari kelompok Belajar Alkitab telah memperkenalkan aku pada salah seorang manajer Amerika, yang seketika suka akan diriku dan menawarkan aku pekerjaan. Loai berpendapat pekerjaan ini merupakan penyamaran yang baik karena kartu tanda pengenal yang kumiliki dicap oleh Kedutaan AS, dan ini berarti aku boleh bepergian bebas ke wilayah Israel dan Palestina. Dengan pekerjaan ini, orang² jadi tak terlalu curiga mengapa aku tampaknya selalu punya banyak uang.

Ayahku juga berpendapat pekerjaan ini merupakan kesempatan yang baik dan dia berterima kasih pada AS yang menyediakan air minum yang bersih dan sanitasi bagi masyarakatnya. Akan tetapi, pada saat yang sama, dia juga tak lupa bahwa AS juga menyediakan senjata² bagi Israel yang digunakan untuk membunuh orang² Palestina. Beginilah pandangan mendua umumnya orang² Arab terhadap AS.

Aku langsung ikut serta dalam proyek daerah terbesar yang didanai AS. Media selalu saja fokus terhadap masalah yang populer, seperti tanah, perjuangan kemerdekaan, dan penggantian rugi. Tapi sebenarnya masalah air lebih penting daripada masalah tanah di Timur Tengah. Orang² telah berperang demi air sejak jaman para gembala Abraham berkelahi dengan para gembala Lot, keponakan Abraham. Sumber air utama bagi Israel dan daerah yang diduduki adalah Laut Galilea, yang juga dikenal sebagai Gennesaret atau Tiberias. Danau ini merupakan danau air tawar terdangkal di dunia.

Air merupakan masalah pelik di tanah Alkitab. Bagi Israel modern, keadaan telah berubah dengan meluasnya perbatasan negara. Contohnya, salah satu hasil dari Perang Enam Hari di tahun 1967 adalah Israel mengambil alih Dataran Tinggi Golan dari Syria. Dengan begitu Israel mengontrol seluruh Laut Galilea, sehingga juga mengontrol Sungai Yordan dan setiap sumber mata air dan anak sungai yang mengalir masuk dan keluar. Dengan melanggar hukum internasional, Israel menyelewengkan air dari Yordan menjauhi Tepi Barat dan Jalur Gaza. Ini berarti, air yang disediakan Pengangkut Air Nasional (National Water Carrier) bagi warga dan penduduk Israel, berasal dari tiga per empat lebih sumber air bawah tanah Tepi Barat. Amerika Serikat telah menghabiskan uang sebesar ratusan juta dollar untuk menggali sumur² dan mendirikan sumber² air independen bagi masyarakat Palestina.

Pekerjaan dari USAID lebih daripada sekedar penyamaran bagiku. Para pria dan wanita yang bekerja di perusahaan ini jadi teman²ku. Aku tahu bahwa Tuhan telah memberiku pekerjaan ini. Kebijaksanaan USAID adalah tidak memperkerjakan siapapun yang aktif dalam politik, apalagi orang yang ayahnya adalah pemimpin kelompok teroris besar. Tapi entah kenapa, boss-ku tetap tidak memecatku. Kebaikannya nantinya akan terbayar dengan cara yang tidak pernah dia bayangkan.

Karena intifada sedang berlangsung, Pemerintah AS mengijinkan para karyawannya masuk ke Tepi Barat hanya untuk bekerja. Tapi ini berarti para karyawan harus melewati pos² pemeriksaan yang berbahaya. Sebenarnya lebih aman bagi mereka untuk tetap tinggal di Tepi Barat saja daripada melalui hujanan peluru di post pemeriksaan setiap hari dan mengendarai mobil² Jeep AS 4x4 dengan label kuning Israel. Rata² orang Palestina tidak akan membedakan siapa yang datang untuk menolong dan siapa yang datang untuk membunuh.

IDF selalu memperingatkan USAID untuk mengosongkan kantor jika IDF akan melakukan operasi yang bisa membahayakan karyawan USAID. Tapi Shin Bet tidak mengeluarkan peringatan terlebih dahulu karena organisasi ini sangatlah rahasia. Contohnya, jika kami mendengar seorang buronan sedang menuju Ramallah dari Jenin, maka kami akan melancarkan operasi tanpa peringatan terlebih dahulu.

Ramallah adalah kota kecil. Dalam melakukan operasi² ini, pasukan keamanan akan datang dari segala arah. Orang² akan menutup jalanan dengan mobil² dan truk², lalu mulai membakar ban. Asap hitam akan mengebul menyesakkan udara. Orang² bersenjata merunduk dari tempat perlindungan satu ke tempat perlindungan lainnya, sambil menembaki target yang ada di hadapannya. Anak² muda akan melemparkan batu. Anak² menangis di tepi jalan. Sirine² ambulans bercampur dengan jeritan para wanita dan ledakan peluru yang ditembakkan.

Tak lama setelah aku mulai bekerja bagi USAID, Loai memberitahuku bahwa pasukan keamanan akan datang ke Ramallah keesokan hari. Aku menelepon manajer Amerikaku dan memperingatkannya untuk tidak datang ke Ramallah dan memberitahu semua karyawan untuk tetap tinggal di rumah. Aku katakan padanya bahwa aku tak bisa menerangkan bagaimana aku mendapat informasi ini, tapi aku memintanya untuk percaya saja padaku. Dia melakukan itu. Mungkin karena dia mengira aku punya sumber informasi terpercaya karena aku adalah putra Hassan Yousef.

Keesokan harinya, Ramallah berkobar. Orang² berlarian di jalanan, menembak dengan membabi-buta. Mobil² yang diparkir di jalanan dibakar dan kaca² jendela berbagai toko dihancurkan, sehingga para pemilik toko tak berdaya ketika orang² masuk dan mengambili barang². Setelah boss-ku melihat hal ini di siaran berita, dia mengatakan padaku, “Mosab, kapan saja peristiwa seperti ini akan terjadi lagi, mohon beritahu aku.”

“Baiklah,” kataku, “dengan satu syarat: jangan tanya apapun. Jika aku bilang jangan datang, ya jangan datang.”
Post Reply