Masalah Kawin Sedarah Islamiah
Posted: Thu Apr 05, 2012 2:40 pm
Masalah Kawin Sedarah Islamiah
Fenomena tragis yang membuat semua yang bersangkutan jadi sangat menderita
19 September, 2010 - 11:42 malam
Oleh Nicolai Sennels
Terdapat kecenderungan menyedihkan yang semakin sering terjadi di Eropa yang bisa melumpuhkan seluruh masyarakat, tapi sayangnya seluruh benua Eropa tampaknya memilih tidur saja dalam menghadapi hal ini. Mereka tidak hanya tidak mau menghadapi masalah sebesar gajah ini, tapi bahkan menganggap masalah itu tidak ada. Masalah nyata ini adalah berkembang luasnya praktek kawin sedarah (perkawinan sekerabat) di lingkungan Muslim yang menghasilkan bayi² cacat mental dan penyakit² sosial.
Pihak liberal (sayap kiri) selalu saja ingin mengontrol masalah apa yang boleh diperdebatkan dan mereka menuduh setiap orang yang berani mempermasalahkan hal ini sebagai “Islamofobia” dan “rasis” (Adadeh: tuduhan ini biasanya tak berlaku jika pihak pengritik adalah non-kulit putih). Orang yang berani menunjukkan masalah besar dalam kawin sedarah di masyarakat Muslim dituduh sebagai orang yang membenci Muslim. Tapi tentu saja semua tuduhan ini ngawur sekali. Menentang kawin sedarah merupakan usaha mempertahankan humanitas dan mencegah lahirnya bayi² yang cacat. Menentang praktek Islamiah ini justru mencegah kerusakan dalam diri masyarakat Muslim sendiri.
Kawin sedarah massal diantara Muslim telah terjadi sejak Muhammad menghalalkan perkawinan antara sepupu pertama selama lebih dari 50 generasi (1.400 tahun) yang lalu. Karenanya, bagi kebanyakan Muslim, kawin sedarah adalah bagian dari Islam. Di banyak masyarakat Muslim, sudah jadi pusat status sosial untuk menikahkan anak perempuan atau laki pada saudara sepupunya. Kawin sedarah juga menjaga agar harta tetap berada dalam lingkungan keluarga. Sifat Islam yang sangat otoriter (sangat gila kontrol sampai taraf sakit jiwa) berperan besar juga: kedekatan dengan anak² perempuan dan laki setelah mereka nikah membuat pihak keluarga punya kontrol besar dan bisa menetapkan pilihan dan cara hidup mereka.
Tradisi sejarah masyarakat Barat menunjukkan bahwa mereka siap untuk berperang dan mati bagi negaranya. Di lain pihak, masyarakat Musilm tidak terlalu terikat dengan patriotisme, tapi dengan hubungan keluarga dan agama. Kawin sedarah dilakukan untuk melindungi keluarga dan masyarakat dari pengaruh non-Muslim, dan sikap ini lebih banyak dilakukan oleh Muslim yang hidup di negara kafir Barat. Mereka lebih memilih kawin sedarah daripada integrasi dengan kafir dan menikah dengan mereka.
Saat ini, 70% masyarakat Pakistan Muslim melakukan kawin sedarah dan di Turki jumlahnya sekitar 25-30% (Jyllands-Posten, 27/2 2009 “More stillbirths among immigrants“). Perkiraan kasar menunjukkan bahwa hampir separuh dari Muslim yang hidup di dunia Arab melakukan kawin sedarah. Sebagian besar para orangtua yang punya hubungan darah berasal dari keluarga² yang juga melakukan kawin sedarah selama bergenerasi, dan sudah jadi bagian dari tradisi Muslim.
Penyelidikan yang dilakukan BBC di Inggris beberapa tahun yang lalu menunjukkan setidaknya 55% dari masyarakat Pakistan di Barat menikah dengan sepupu pertama mereka. Koran Times of India membenarkan hal ini, dengan mengatakan bahwa “diperkirakan kawin sedarah di masyarakat Pakistan di Inggris menghasilkan 13 kali lebih banyak anak² cacat gen dibandingkan masyarakat Inggris lainnya.”
Penelitian BBC juga menunjukkan bahwa meskipun orang² Pakistan Inggris hanya menghasilkan 3.4% jumlah kelahiran bayi di Inggris, tapi angka kematian bayi dan anak² cacat mental mereka berjumlah 30% dari semua anak² Inggris. Karena hal itu, tak heran bahwasanya MP Partai Buruh melarang pernikahan antara sepupu pertama.
Bukti medis menunjukkan bahwa salah satu konsekuensi negatif dari kawin sedarah adalah peningkatan sebanyak 100% terjadinya resiko bayi mati sebelum lahir. Satu riset yang membandingkan orang² Norwegia dan Pakistan menunjukkan bahwa resiko kematian bayi hasil kawin sedarah dalam proses melahirkan meningkat sampai 50%. Resiko kematian ini terjadi karena kelainan autosom lemah – yakni cystic fibrosis dan berhentinya pertumbuhan otot tulang punggung – meningkat 18 kali lebih tinggi. Resiko kematian karena kelainan pembentukan bayi meningkat 10 kali lebih tinggi. Resika terjadinya sakit mental/jiwa juga meningkat: kecenderungan depresi lebih tinggi di masyarakat yang sering melakukan kawin sedarah. Semakin dekat hubungan darah, semakin tinggi pula retardasi (keterbelakangan mental dan intelijen) mental dan fisik dan penyakit² gangguan jiwa kronis.
Lalu tampak pula masalah pada kemampuan intelijen/kecerdasan. Riset menunjukkan bahwa orangtua yang berhubungan darah menghasilkan anak yang taraf intelijennya turun sebagai 10 sampai 16 angka IQ. Resiko punya anak yang ber-IQ lebih rendah daripada 70 (kriteria ‘retard’ (terbelakang mental)) meningkat sebanyak 400% diantara anak² hasil kawin sedarah antar sepupu. Tulisan akademis yang diterbitkan oleh Indian National Science Academy menunjukkan bahwa “bayi² hasil kawin sedarah mengalami keterbelakangan yang sangat jelas dalam berbagai komunikasi sosial seperti menunjukkan perasaan mendalam, tersenyum pada orang lain, menderita sakit ayan, menunjukkan ekspresi wajah, kemampuan menggenggam dengan tangan dan jari.” Penelitian lain menunjukkan bahwa para anak laki dari sekolah² madrasah India hasil kawin sedarah antar sepupu menunjukkan tingkat intelijen yang sangat rendah dibandingkan anak² hasil kawin tak sedarah.
Diperkirakan dari sepertiga orang cacat mental/tubuh di Copenhagen berasal dari keluarga imigran Muslim. Enam puluh empat persen anak² sekolah di Denmark yang punya orangtua Arab tetap saja buta huruf meskipun sudah dididik di sistem sekolah Denmark selama sepuluh tahun. Penyelidikan yang sama menyimpulkan bahwa terdapa pola yang sama dalam kemampuan mereka akan membaca, matematika, dan sains: “Kecerdasan dan kemampuan anak² imigran Muslim sangat amat rendah dibandingkan teman² kelas Denmark mereka.”
Masalah dalam Islam ini menghasilkan banyak hambatan bagi negara² Barat. Biaya bantuan sosial yang harus dikeluarkan negara² Barat bagi para imigran Muslim yang cacat mental dan fisik sangat besar, dan menghabiskan dana sosial negara. Lihat saja di Denmark contohnya: seperti dana sekolah negara dihabiskan bagi anak² yang butuh bantuan khusus (anak² cacat mental/jiwa/fisik), dan hampir semua dari mereka adalah anak² Muslim. Lebih dari separuh anak² sekolah yang mengalami cacat mental/fisik di Copenhagen adalah anak² imigran Muslim. Satu riset menyimpulkan bahwa “imigran Muslim yang kawin sedarah menghabiskan biaya negara bermilyar-milyar” karena banyak orang² dewasa dan anak² Muslim yang cacat.
Apakah yang harus kita (orang Barat) lakukan sebagai masyarakat humanis (peduli sesama) pada masalah yang terus meningkat ini? Kita tahu bahwa orangtua tentu ingin anak mereka tumbuh sehat. Tidak sukar membayangkan penderitaan dan tekanan jiwa orang² sedarah sepupu yang dipaksa nikah untuk punya anak. Bukankah sudah jadi kewajiban kita untuk memperjuangkan hak setiap orang agar tidak diperlakukan secara barbar dan biadab seperti itu?
Apa sih yang bisa kita lakukan?
Denmark merupakan pionir yang memulai penanggulangan masalah: untuk mencegah kawin paksa, negara melarang warga Denmark untuk menikah dengan warga asing yang belum berusia 24 tahun. Denmark juga menawarkan imigran non-Barat sebanyak 15.000 Euro atau 20.000 US dollar untuk balik ke negara asli mereka. Imigran yang non-warga Denmark diusir dari Denmark jika melakukan kejahatan kriminal. Denmark juga tak akan menanggung kebutuhan ekonomi keluarga yang punya banyak anak. Hal ini mencegah orang² asing yang datang ke Denmark dan berencana punya banyak anak dan hidup dari tunjangan sosial saja. Denmark juga menolak ijin tinggal bagi warga asing yang menikahi saudara sepupu mereka di Denmark. Sekarang Denmark sedang berusaha mengeluarkan Undang² mencegah sepenuhnya imigrasi dari negara² yang tidak mendukung nilai² Barat (yang menentang nilai² Barat tentunya adalah negara² Muslim). Kita harus melarang kawin sedarah antar sepupu. Dengan melakukan pelarangan ini, kita tidak hanya mengurangi konsekuensi mengerikan hasil kawin sedarah, tapi juga mencegah Muslim yang ngotot ingin kawin sedarah untuk melakukan hal mengerikan ini di negara² Barat kita.
Tetaplah ingat bahwa Muslim merupakan korban Islam yang pertama dan terbesar. Selama motivasi kita adalah untuk menolong mereka, maka tindakan kita ini benar dan bertentangan dengan tuduhan pihak kiri yang menuduh kita sebagai “anti Muslim.” Yang kita lakukan adalah peduli akan nasib bayi² Muslim yang lahir dengan cacat mental dan fisik – dan juga peduli akan nasib orangtua mereka yang terus-menerus khawatir dan terbeban akan keadaan anak² mereka. Malah sebaliknya, sikap pihak kiri yang diam saja akan masalah ini (dan masalah Muslim lainnya) sebenarnya menunjukkan bahwa merekalah yang “anti-Muslim.”
Selama kita tetap berpaku pada fakta, punya motivasi luhur, dan berani bersikap, kita bisa merasa yakin bahwa tujuan kita adalah menolong umat Muslim, tapi juga melindungi diri kita sendiri dari kehancuran dasar humanistik dan nilai² Barat dalam menghadapi ideologi² dan praktek² yang tak berkemanusiaan dan agresif.
Dr. Nicolai Sennels adalah ahli jiwa Denmark yang telah bekerja bertahun-tahun menangani Muslim kriminal muda di penjara Copenhagen. Dia adalah penulis "Among Criminal Muslims. A Psychologist’s Experience from the Copenhagen Municipality." Buku ini akan diterbitkan tahun ini. Contact him at [email protected].
Contoh² cacat tubuh/wajah pada Muslim karena kawin sedarah:
Fenomena tragis yang membuat semua yang bersangkutan jadi sangat menderita
19 September, 2010 - 11:42 malam
Oleh Nicolai Sennels
Terdapat kecenderungan menyedihkan yang semakin sering terjadi di Eropa yang bisa melumpuhkan seluruh masyarakat, tapi sayangnya seluruh benua Eropa tampaknya memilih tidur saja dalam menghadapi hal ini. Mereka tidak hanya tidak mau menghadapi masalah sebesar gajah ini, tapi bahkan menganggap masalah itu tidak ada. Masalah nyata ini adalah berkembang luasnya praktek kawin sedarah (perkawinan sekerabat) di lingkungan Muslim yang menghasilkan bayi² cacat mental dan penyakit² sosial.
Pihak liberal (sayap kiri) selalu saja ingin mengontrol masalah apa yang boleh diperdebatkan dan mereka menuduh setiap orang yang berani mempermasalahkan hal ini sebagai “Islamofobia” dan “rasis” (Adadeh: tuduhan ini biasanya tak berlaku jika pihak pengritik adalah non-kulit putih). Orang yang berani menunjukkan masalah besar dalam kawin sedarah di masyarakat Muslim dituduh sebagai orang yang membenci Muslim. Tapi tentu saja semua tuduhan ini ngawur sekali. Menentang kawin sedarah merupakan usaha mempertahankan humanitas dan mencegah lahirnya bayi² yang cacat. Menentang praktek Islamiah ini justru mencegah kerusakan dalam diri masyarakat Muslim sendiri.
Kawin sedarah massal diantara Muslim telah terjadi sejak Muhammad menghalalkan perkawinan antara sepupu pertama selama lebih dari 50 generasi (1.400 tahun) yang lalu. Karenanya, bagi kebanyakan Muslim, kawin sedarah adalah bagian dari Islam. Di banyak masyarakat Muslim, sudah jadi pusat status sosial untuk menikahkan anak perempuan atau laki pada saudara sepupunya. Kawin sedarah juga menjaga agar harta tetap berada dalam lingkungan keluarga. Sifat Islam yang sangat otoriter (sangat gila kontrol sampai taraf sakit jiwa) berperan besar juga: kedekatan dengan anak² perempuan dan laki setelah mereka nikah membuat pihak keluarga punya kontrol besar dan bisa menetapkan pilihan dan cara hidup mereka.
Tradisi sejarah masyarakat Barat menunjukkan bahwa mereka siap untuk berperang dan mati bagi negaranya. Di lain pihak, masyarakat Musilm tidak terlalu terikat dengan patriotisme, tapi dengan hubungan keluarga dan agama. Kawin sedarah dilakukan untuk melindungi keluarga dan masyarakat dari pengaruh non-Muslim, dan sikap ini lebih banyak dilakukan oleh Muslim yang hidup di negara kafir Barat. Mereka lebih memilih kawin sedarah daripada integrasi dengan kafir dan menikah dengan mereka.
Saat ini, 70% masyarakat Pakistan Muslim melakukan kawin sedarah dan di Turki jumlahnya sekitar 25-30% (Jyllands-Posten, 27/2 2009 “More stillbirths among immigrants“). Perkiraan kasar menunjukkan bahwa hampir separuh dari Muslim yang hidup di dunia Arab melakukan kawin sedarah. Sebagian besar para orangtua yang punya hubungan darah berasal dari keluarga² yang juga melakukan kawin sedarah selama bergenerasi, dan sudah jadi bagian dari tradisi Muslim.
Penyelidikan yang dilakukan BBC di Inggris beberapa tahun yang lalu menunjukkan setidaknya 55% dari masyarakat Pakistan di Barat menikah dengan sepupu pertama mereka. Koran Times of India membenarkan hal ini, dengan mengatakan bahwa “diperkirakan kawin sedarah di masyarakat Pakistan di Inggris menghasilkan 13 kali lebih banyak anak² cacat gen dibandingkan masyarakat Inggris lainnya.”
Penelitian BBC juga menunjukkan bahwa meskipun orang² Pakistan Inggris hanya menghasilkan 3.4% jumlah kelahiran bayi di Inggris, tapi angka kematian bayi dan anak² cacat mental mereka berjumlah 30% dari semua anak² Inggris. Karena hal itu, tak heran bahwasanya MP Partai Buruh melarang pernikahan antara sepupu pertama.
Bukti medis menunjukkan bahwa salah satu konsekuensi negatif dari kawin sedarah adalah peningkatan sebanyak 100% terjadinya resiko bayi mati sebelum lahir. Satu riset yang membandingkan orang² Norwegia dan Pakistan menunjukkan bahwa resiko kematian bayi hasil kawin sedarah dalam proses melahirkan meningkat sampai 50%. Resiko kematian ini terjadi karena kelainan autosom lemah – yakni cystic fibrosis dan berhentinya pertumbuhan otot tulang punggung – meningkat 18 kali lebih tinggi. Resiko kematian karena kelainan pembentukan bayi meningkat 10 kali lebih tinggi. Resika terjadinya sakit mental/jiwa juga meningkat: kecenderungan depresi lebih tinggi di masyarakat yang sering melakukan kawin sedarah. Semakin dekat hubungan darah, semakin tinggi pula retardasi (keterbelakangan mental dan intelijen) mental dan fisik dan penyakit² gangguan jiwa kronis.
Lalu tampak pula masalah pada kemampuan intelijen/kecerdasan. Riset menunjukkan bahwa orangtua yang berhubungan darah menghasilkan anak yang taraf intelijennya turun sebagai 10 sampai 16 angka IQ. Resiko punya anak yang ber-IQ lebih rendah daripada 70 (kriteria ‘retard’ (terbelakang mental)) meningkat sebanyak 400% diantara anak² hasil kawin sedarah antar sepupu. Tulisan akademis yang diterbitkan oleh Indian National Science Academy menunjukkan bahwa “bayi² hasil kawin sedarah mengalami keterbelakangan yang sangat jelas dalam berbagai komunikasi sosial seperti menunjukkan perasaan mendalam, tersenyum pada orang lain, menderita sakit ayan, menunjukkan ekspresi wajah, kemampuan menggenggam dengan tangan dan jari.” Penelitian lain menunjukkan bahwa para anak laki dari sekolah² madrasah India hasil kawin sedarah antar sepupu menunjukkan tingkat intelijen yang sangat rendah dibandingkan anak² hasil kawin tak sedarah.
Diperkirakan dari sepertiga orang cacat mental/tubuh di Copenhagen berasal dari keluarga imigran Muslim. Enam puluh empat persen anak² sekolah di Denmark yang punya orangtua Arab tetap saja buta huruf meskipun sudah dididik di sistem sekolah Denmark selama sepuluh tahun. Penyelidikan yang sama menyimpulkan bahwa terdapa pola yang sama dalam kemampuan mereka akan membaca, matematika, dan sains: “Kecerdasan dan kemampuan anak² imigran Muslim sangat amat rendah dibandingkan teman² kelas Denmark mereka.”
Masalah dalam Islam ini menghasilkan banyak hambatan bagi negara² Barat. Biaya bantuan sosial yang harus dikeluarkan negara² Barat bagi para imigran Muslim yang cacat mental dan fisik sangat besar, dan menghabiskan dana sosial negara. Lihat saja di Denmark contohnya: seperti dana sekolah negara dihabiskan bagi anak² yang butuh bantuan khusus (anak² cacat mental/jiwa/fisik), dan hampir semua dari mereka adalah anak² Muslim. Lebih dari separuh anak² sekolah yang mengalami cacat mental/fisik di Copenhagen adalah anak² imigran Muslim. Satu riset menyimpulkan bahwa “imigran Muslim yang kawin sedarah menghabiskan biaya negara bermilyar-milyar” karena banyak orang² dewasa dan anak² Muslim yang cacat.
Apakah yang harus kita (orang Barat) lakukan sebagai masyarakat humanis (peduli sesama) pada masalah yang terus meningkat ini? Kita tahu bahwa orangtua tentu ingin anak mereka tumbuh sehat. Tidak sukar membayangkan penderitaan dan tekanan jiwa orang² sedarah sepupu yang dipaksa nikah untuk punya anak. Bukankah sudah jadi kewajiban kita untuk memperjuangkan hak setiap orang agar tidak diperlakukan secara barbar dan biadab seperti itu?
Apa sih yang bisa kita lakukan?
Denmark merupakan pionir yang memulai penanggulangan masalah: untuk mencegah kawin paksa, negara melarang warga Denmark untuk menikah dengan warga asing yang belum berusia 24 tahun. Denmark juga menawarkan imigran non-Barat sebanyak 15.000 Euro atau 20.000 US dollar untuk balik ke negara asli mereka. Imigran yang non-warga Denmark diusir dari Denmark jika melakukan kejahatan kriminal. Denmark juga tak akan menanggung kebutuhan ekonomi keluarga yang punya banyak anak. Hal ini mencegah orang² asing yang datang ke Denmark dan berencana punya banyak anak dan hidup dari tunjangan sosial saja. Denmark juga menolak ijin tinggal bagi warga asing yang menikahi saudara sepupu mereka di Denmark. Sekarang Denmark sedang berusaha mengeluarkan Undang² mencegah sepenuhnya imigrasi dari negara² yang tidak mendukung nilai² Barat (yang menentang nilai² Barat tentunya adalah negara² Muslim). Kita harus melarang kawin sedarah antar sepupu. Dengan melakukan pelarangan ini, kita tidak hanya mengurangi konsekuensi mengerikan hasil kawin sedarah, tapi juga mencegah Muslim yang ngotot ingin kawin sedarah untuk melakukan hal mengerikan ini di negara² Barat kita.
Tetaplah ingat bahwa Muslim merupakan korban Islam yang pertama dan terbesar. Selama motivasi kita adalah untuk menolong mereka, maka tindakan kita ini benar dan bertentangan dengan tuduhan pihak kiri yang menuduh kita sebagai “anti Muslim.” Yang kita lakukan adalah peduli akan nasib bayi² Muslim yang lahir dengan cacat mental dan fisik – dan juga peduli akan nasib orangtua mereka yang terus-menerus khawatir dan terbeban akan keadaan anak² mereka. Malah sebaliknya, sikap pihak kiri yang diam saja akan masalah ini (dan masalah Muslim lainnya) sebenarnya menunjukkan bahwa merekalah yang “anti-Muslim.”
Selama kita tetap berpaku pada fakta, punya motivasi luhur, dan berani bersikap, kita bisa merasa yakin bahwa tujuan kita adalah menolong umat Muslim, tapi juga melindungi diri kita sendiri dari kehancuran dasar humanistik dan nilai² Barat dalam menghadapi ideologi² dan praktek² yang tak berkemanusiaan dan agresif.
Dr. Nicolai Sennels adalah ahli jiwa Denmark yang telah bekerja bertahun-tahun menangani Muslim kriminal muda di penjara Copenhagen. Dia adalah penulis "Among Criminal Muslims. A Psychologist’s Experience from the Copenhagen Municipality." Buku ini akan diterbitkan tahun ini. Contact him at [email protected].
Contoh² cacat tubuh/wajah pada Muslim karena kawin sedarah: