Fatwa: Sebuah kompas yang berbenturan dengan kehidupan modern
http://topics.nytimes.com/top/reference ... ne=nyt-per
oleh MICHAEL SLACKMAN
Published: June 12, 2007
CAIRO, June 11 — Pertama keluar fatwa Menyusui. Dinyatakan bahwa larangan islam bagi lelaki dan wanita yang tidak menikah utk berada dalam ruangan yang sama dapat diselesaikan utk kasus2 yang terjadi ditempat kerja, jika sang wanita menyusui sang lelaki teman kerjanya paling sedikit lima kali, utk membangun hubungan keluarga.
Lalu keluar fatwa air kencing. Katanya bahwa meminum air kencing nabi Muhammad dianggap sebagai berkat.
Selama beberapa minggu ini, fatwa menyusui dan air kencing terbukti menjadi sumber berita nasional yang memalukan di Mesir (
http://topics.nytimes.com/top/news/inte ... ne=nyt-geo), sedikitnya karena kedua fatwa itu dikeluarkan oleh wakil dari pihak berwenang keagamaan paling tinggi dinegara itu.
“Kami sangat marah ketika mendengar mengenai kartun Danish mengenai nabi kami; tapi, dua fatwa ini merusak agama islam dan nabi kami lebih parah dibanding kartun tsb,” Galal Amin, seorang profesor ekonomi di American University di Kairo, menulis di Al Amsry Al Yom, koran disana.
Bagi banyak muslim, fatwa, atau maklumat agama, adalah jembatan antara prinsip2 agama mereka dengan kehidupan modern. Fatwa2 itu harus dikeluarkan oleh para ulama setelah melihat Quran dan ajaran2 nabi Muhammad sebagai petunjuk. Sementara pengumuman fatwa itu membuat sensasi perhatian yang heboh, banyaknya jumlah fatwa yang mengurusi kehidupan rutin sehari-hari juga jadi perhatian. Di Mesir saja, ribuan fatwa dikeluarkan tiap bulan.
Kontroversi di Kairo lebih dari sekadar memalukan. Fatwa tsb keluar tepat ketika para pemimpin politik dan agama disana bilang ada krisis dalam islam karena terlalu banyak fatwa dikeluarkan, dan kebanyakan lebih ditekankan pada ideologi daripada pembelajaran.
Keluhan telah menjadi subjek konferensi2 belakangan ini ketika wakil pemerintah mengenai standar2 islam bilang fatwa, secara umumnya, telah menjadi semacam iklan bagi aliran garis keras dan ketidak toleransian.
Konflik di Mesir berfungsi juga sebagai pengingat yang keras akan tantangan utama yang dihadapi masyarakat islam ketika mereka berdebat membela agama mereka dan juga dengan cara mereka mengakomodasi kemodernan. Fatwa adalah gugus depan dalam peperangan teologi dengan, seringnya sih, melawan pandangan2 dunia. Disinilah dimana tafsir bertemu kehidupan sehari-hari.
“Ini menjadi isu paling kritis bagi kita,” kata Abdullah Megawer, eks pemimpin komite Fatwa di Universitas Al Azhar, sebuah lembaga pendidikan Sunni Muslim yang berumur seabad di Mesir. “Anda menjelaskan pesan2 tuhan dengan cara yang bisa benar2 mempengaruhi cara hidup orang2.”
Teknisnya, fatwa tidak mengikat dan yang penerimanya bebas utk melihat sumber lain utk aturan yang lebih baik. Dalam sebuah agama yang tidak mempunyai otoritas doktrin yang terpusat, terjadi ledakan jumlah tempat2 yang menawarkan fatwa, mulai dari situs web yang menjawab pertanyaan2 tertulis, tv satelit yang menerima pertanyaan lewat telepon, sampai organisasi2 radikal dan teroris yang menyusun komite fatwa mereka sendiri.
“Ada kekacauan sekarang,” kata Mr. Megawer. “Masalahnya menciptakan kebingungan pikiran, kebingungan tentang apa yang benar dan salah, secara agama.”
Pemerintah mencoba memberi petunjuk dan mengontrol prosesnya, tapi karena mereka juga sedang berjuang mempertahankan keabsahan mereka, mereka jadi sering meremehkan keabsahan dari orang2 yang mereka tunjuk sendiri menjadi pemimpin2 agama. Di Mesir, ada dua institusi resmi yang bertanggung jawab mengenai tafsir agama: the House of Fatwa atau Dar AL-lfta, yang secara formal berada dibawah Mentri Hukum, dan Universitas Al-Azhar. Semua hukuman mati dipengadilan harus disetujui oleh Dar AL-lfta, misalnya.
“Orang2 ini sebenarnya ditunjuk sebagai agen pemerintah,” kata Muhammad Serag, professor bidang Islam di American University di Kairo. “Mereka tidak bisa dipercaya lagi.”
Sementara pandangan tsb dibantah oleh pejabat kedua institusi, tiap orang mengakui bahwa mereka yang mengeluarkan fatwa bertindak sebagai perantara agama dan modernitas dan sebagai wasit moral. Mereka harusnya tidak saja menganggap ajaran2 agama saja, tapi juga kondisi waktunya.
Posisi demikian juga terjadi di Barat, dan ini melibatkan peran pekerja sosial, terapis, pengacara dan penasehat religius.
Malah, hubungan antara Quran dan sebuah fatwa adalah masalah perselisihan saja. Beberapa akademisi muslim melihat perkataan dalam Quran dan idenya ditetapkan, dg sedikit ruang utk bermanuver. Yang lainnya melihat pekerjaan mereka adalah utk menyesuaikan kehidupan modern dengan teks2 yang secara halus dibengkokan utk sesuai dengan keadaan yang baru ini.
Isu kedua adalah dasar dari tafsir. Perkataan nabi Muhammad, yang dikenal sebagai Hadits, juga bertindak sebagai dasar bagi banyak fatwa. Tapi semua perkataannya itu, dimana ada ribuan, telah disampaikan lewat mulut kemulut dan bisa asli bisa juga tidak asli. Sebagian berupaya utk membatasi fatwa2 hanya berdasarkan Quran saja, sebagai hasilnya.
Sebuah tanda digantung ditembok belakang sebuah ruangan kecil yang berfungsi sebagai Fatwa Center bagi orang2 mesir yang mencari petunjuk: “Saudara2, Komite Fatwa Azhar menyambut para warga dan mengumumkan bahwa fatwa2 ini gratis, alias tidak usah bayar.”
Terselip didekat pintu masuk mesjid bersejarah Al Azhar ditengah kota, Fatwa Center ini buka 6 hari seminggu dari pukul 10 pagi sampai 2 siang. Sebuah ruangan yang kumuh dengan atap yang kotor, sofa2 hitam yang direkat dengan packing tape dan kursi2 besi yg berderit-derit jika diduduki. Lima Sheiks duduk disofa dan siap menerima orang2.
Sheik Abdel Aziz el-Naggar telah mengerjakan fatwa selama 17 tahun sebagai pegawai Al Azhar. Seperti sheik lainnya, dia dirotasi tiap bulan ke komite yang beroperasi di pemerintahan mesir regional. Bertahun2, katanya, mayoritas besar pengunjung telah meminta pertolongan dengan masalah pernikahan mereka.
“Kesakitan terbesar dimasyarakat yg saya amati adalah kurangnya kepercayaan dan pengetahuan antara suami dan istri,” katanya. “Sang suami berpikir maskulinitas adalah menjadi seorang diktator.”
Jam 11:30 siang, seorang wanita muda masuk dan duduk pd kursi didepannya. Dia memangku anaknya, sekitar 4 tahun, dan menjelaskan bahwa suaminya telah menikahi wanita lain (EMPAT istri boleh dalam islam) dan bahwa istri barunya itu hanya berumur 18 tahun. “Dia bilang dia akan menginap lima malam dengannya dan satu malam denganku,” keluh sang wanita. “Bolehkah saya minta cerai?” (Lho, satu malam lagi kemana dia ya???????, penerjemah)
Berdasarkan islam, sheik menyarankan, semua istri harus diperlakukan sama. Jadi jika suami tidak memperbaiki masalah ini dengan damai, maka ya, dia bisa minta cerai.
Itulah fatwa baginya.
Satu pasangan mendekati. Pakaian yang lelaki sobek2, dan istrinya kelihatan stress. Pakaian anak mereka, kira2 9 tahun, bersih, rambutnya pakai jel, senyumnya cerah. Sang lelaki menjelaskan bahwa mereka telah mengadopsi anak ini ketika anak masih berumur 9 bulan, dan mereka dengar bahwa dalam islam, anak mereka harus dikeluarkan dari rumah, karena ibunya tidak melahirkan dia atau menyusuinya.
Dia akan mencapai masa puber sebagai seorang luar, dan tidak boleh, teknisnya, ada disekitar wanita yang sekarang dia kenal sebagai ibunya. Imam dimesjid dekat rumah mereka bilang itu haram, tinggal bersama anak tsb.
Sheik mengiyakan, itu betul, sang anak tidak bisa tinggal bersama mereka. Sang ayah menyandarkan diri, terkejut dan akhirnya berkata, “ya sudah.”
Sang sheik tertegun melihat ini dan lalu menemui sheik lain utk minta pendapatnya.
Itulah fatwa bagi mereka.
Seorang lelaki ingin tahu jika dia bisa menyimpan uang yang dia temukan. Yang lain ingin tahu apa dia perlu bersaksi pada sebuah pengadilan jika dipanggil. Yang ketiga ingin tahu apa OKE2 saja membeli mobil dengan rencana kredit jangka panjang. Seorang ibu tidak suka istri anaknya dan ingin tahu apa dia bisa melakukan sesuatu utk membatalkan atau mengakhiri pernikahan anaknya itu.
Tiap konsultasi berlangsung beberapa menit saja. Pertanyaan2 demikian telah ditanyakan selama bergenerasi-generasi.
Haruskah patung kuno dihancurkan atau dirawat? Bolehkah wanita mengemudi mobil, bekerja, melakukan perjalanan tanpa ijin lelaki? Bolehkan lelaki dan wanita mengikuti sekolah bersama-sama? Apa boleh beli asuransi, memakai celana olah raga yang ada gambar silang (salib), berjabatan tangan dengan non muslim, berfoto, melihat foto keluarga?
Semua ini telah dibahas dengan fatwa2.
“Kami adalah nuraninya bangsa,” kata Abdel Moety Bayoumi, anggota Komite Riset Al Azhar, sebuah lembaga yang mengeluarkan pendapat dan issu religius dan sering berda dibelakan keputusan mengenai buku apa yang boleh dan tidak boleh diedarkan.
Di mesir, dan negara muslim lain, dimana hukum harus tunduk pada Quran, fatwa oleh pejabat pemerintah punya bobot sama dengan hukum. “Kita harus jelas apa yang jadi taruhan disini,” kata Mufti agung Mesir, Sheik Ali Gomaa, dalam pidato baru2 ini di London. “Jika pendapat yang tidak berbobot tiap orang dianggap sebuah fatwa, kita kehilangan alat yang penting utk mengendalikan ekstremisme dan mempertahankan kelenturan dan keseimbangan hukum islam.”
Dalam peran dan prakteknya sendiri, Mufti agung mewujudkan banyak isu2 yang diangkat sekitar praktek fatwa. Dia telah mengeluarkan aturan2 yang dianggap oran progresif hingga dirasakan sebagai hinaan, dan yang lainnya begitu harafiah dan juga dianggap menghina.
Sheik Ali mengeluarkan fatwa air kencing, yang sekarang terkenal sekali karena kehebohan itu, dalam sebuah buku, “Religion and Life.” Diterbitkan enam tahun lalu dan menceritakan kisah seorang wanita yang meminum air kencing nabi. Buku itu dia turunkan sendiri dari lemari, dan bilang bahwa pernyataan kontroversial itu bukanlah sebuah fatwa tapi hanya pendapatnya, ayng ditawarkan sebagai jawaban utk sebuah pertanyaan.
“Kenyataannya adalah bahwa sang mufti sekarang sudah ‘terbakar’ dan kehilangan pengakuan akan keahlian agamanya dan juga kehilangan kepercayaan para muslim dan fatwanya tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali kecerobohan dari semua muslim; karena ada yg akan tidak suka padanya sama seperti mereka tidak suka minum air kencing.” Tulis Hamdy Rizk dalam koran oposisi.
Tapi tahun ini selain dikritik dia juga dipuji setelah dia keluarkan fatwa yang menyatakan bahwa boleh saja wanita melakukan operasi selaput dara sebelum menikah utk menyembunyikan bahwa mereka bukan lagi perawan. Dia bilang bahwa karena sulit diketahui apa seorang lelaki perawan atau tidak, maka wanita juga harus punya pilihan sama.
Tapi dia sudah terlalu jauh mengemukakan pendapatnya, ketika dia bilang bahwa jika seorang wanita yang sudah menikah melakukan seks dengan lelaki lain, lalu menyesali tindakannya dan meminta ampun pada tuhan, dia tidak harus memberitahukan hal ini pada suaminya. Tujuannya, kata dia, adalah utk mempertahankan keluarga.
Fatwa menyusui keluar dipertengahan Mei. Seorang akademisi religius, yang mengepalai departeman bidang ajaran2 nabi Muhammad di Foundation of Religion College of Al Azhar University, menulis bahwa ada saat2 dijaman nabi ketika wanita dewasa menyusui lelaki dewasa utk menghindarkan wanita itu memakai cadar didepannya.
“Menyusui lelaki dewasa mengakhiri masalah pertemuan2 pribadi, dan tidak melarang pernikahan,” tulis sang akademisi, Izat Atiyah. “Seorang wanita ditempat kerja bisa membuka cadarnya atau memperlihatkan rambutnya didepan orang yang telah dia susui.”
Aturan ini dijadikan olok-olok didalam pertunjukkan televisi satelit sekitar area itu, dan secara cepat dikutuk dirumah-rumah. Mr. Atiyah dihentikan sementara dari pekerjaannya, diejek dikoran-koran, dan dalam hitungan hari dikeluarkan pencabutan fatwa, alasannya “tafsiran yang buruk utk sebuah kasus khusus.”