Jihad vs Umat Buddha (abad 6-abad 13)
Posted: Sun Nov 16, 2008 9:47 pm
Jihad dan Penyerangan terhadap Umat Buddhis
Terdapat lagu rakyat Turki yang meneceritakan tentang penyerangan Karakhanid terhadap kerajaan Buddhis Uyghur di Turfan. Lagu rakyat tersebut dicatat dalam kamus yang ditulis oleh Al-Kashagri pada abad ke-12 M:
Kami datang kepada mereka layaknya air bah
Kami pergi ke kota-kota mereka
Kami merobohkan vihara-vihara Buddha
Kami mengumpat di kepala Buddha!
Para penjajah Arab menyebut penganut agama-agama India sebagai But-parast dan para penghancur patung sebagai “but-shikan” Kata-kata “But” berasal dari kata “Buddha”, namun bangsa Arab menggunakannya untuk mendeskripsikan umat-umat agama India. Ketika bangsa Arab datang ke Sind, cuma ada sedikit pengaruh agama Buddha di sana dan tidak ada pemerintahan Buddhis. Dari abad ke-7 sampai 13 M, Islam menggantikan agama Buddha sebagai agama perdagangan di banyak tempat, bersama dengan konsolidasi agama-agama para petani yaitu Hindu.
1. Periode Umayyad (661-750 M)
Pada tahun 711 M, Dinasti Umayyad, Muhammad bin Qasim menaklukkan Sind dan membawa penduduk India untuk bertemu dengan ajaran Islam. Pada saat itu umat Buddhis yang hidup di Sindh sangat banyak dan biasnaya berada dalam golongan pedagang. Para pasukan Hindu melawan serangan pasukan Umayyad. Para Buddhis yang tidak mempunyai kemampuan perang menyerah dengan damai. Pasukan Muhammad bin Qasim akhirnya berhasil mengalahkan Raja Dahir, raja Hindu di Sindh dengan bantuan aliansi Jat. Peperangannya sukses berkat dukungan kasta rendah seperti Jats, Meds dan Bhutto. Pasukan Umayyad menghancurkan kuil-kuil Hindu dan menggantinya dengan masjid. Gubernur kota yang Buddhis juga mengajukan perdamaian dengan pasukan Umayyad. Masjid juga dibangun di daerah vihara utama. Mereka yang berganti keyakinan menjadi Islam terutama dari umat Buddhis yang dari kalangan pedagang, karena mereka melihat banyak sekali keuntungan ekonomi dan politik apabila mereka menjadi Muslim. Mereka juga membayar pajak yang rendah apabila mereka berganti keyakinan menjadi Muslim.
Namun pasukan Umayyad ini cukup toleran dengan agama Buddha, mereka tidak menyerang Dudda Vihara yang berada di Valabhi (di bawah pemerintahan Rastrakuta), mereka malah mengadakan hubungan damai dengan Rastrakuta. Penghancuran vihara Buddhis oleh pasukan Umayyad bisa dibialng jarang.
Pada tahun 715 M, Gubernur Hajjaj mengrim Jenderal Qutaiba untuk mengambil kembali Bactria dengan menyerangnya dari timur laut Iran. Jenderal tersebut kemudian merusak Nava Vihara. Banyak Bhiksu melarikan diri ke Kashmir dan Khotan. Raja Karkota, Lalitaditya (701-1738) membangun banyak vihara baru untuk menampung para pengungsi Buddhis, atas anjuran menteri Bactria yang Buddhis. Lebih lanjut lagi dari Khotan, sebagain pengungi pergi ke Tibet. Ratu Jincheng pada tahun 725 M di Tibet menerima para Bhiksu pengungsi dan membangun tujuh vihara untuk mereka. Ketika pada tahun 739 M Ratu Jincheng meninggal, para Bhiksu pengungsi dipindahkan lagi ke Gandhara dan akhirnya mereka menetap di Baltistan di uata Oddiyana. Waktu terus berjalan dan Nava Vihara kemudian kembali berfungsi seperti sedia kala. Umat Muslim dan umat Buddhis hidup berdampingan dengan damai di Sindh.
2. Periode Abbasid (750-840 M)
Pada tahun 780 M, para penguasa Abbasid di Sindh menyerang Surashtra dan menghancurkan vihara-vihara Buddhis di Valabhi. Setelah kejatuhan Dinasti Rashtrakuta, vihara ini menjadi tanpa perlindungan. Valabhi tidak hanya merupakan pusat pengajaran Buddhis, namun juga Jain sekte Shvetambara yang memakai jubah putih.
Pasukan Abbasid salah mengira kalau mereka (Jain) adalah pengikut Manichaean dan Musalemmiya yang keberdaaannya dianggap mengancam. Ketika berada di Valabhi, mereka tidak dapat membedakan mana yang vihara Buddhis mana yang kuil Jain. Mereka menghancurkan semuanya.
Dinasti Abbasid tetap terus melanjutkan sistem status dhimmi seperti pada dinasti sebelumnya, Umayyad. Mereka tetap memberikan status dhimmi bagi para Buddhis. Satu-satunya agama non-Muslim yang disiksa oleh pengikut Abbasid adalah umat agama Manichaean.
Kitab Al-Budd, Kita Bilawhar wa Budhasaf dan kitab al-Fihrist yang berkisah tentang Sang Buddha dan Bodhisattva semuanya muncul pada masa ini, menunjukkan bahwa para pemerintah Abbasid sangat toleran terhadap agama Buddha.
Pada tahun 815 M, pasukan Abbasid memenangkagn pertempuran melawan penguasa Turki Shahi, yaitu Kabul Shah. Kabul Shah dipaksa untuk masuk Islam. Sebagai tanda penyerahan dirinya, Kabul Shah mengirim sebuah rupang Buddha dari emas ke tanah Mekah dan disimpan selama 2 tahun sebagai harta di Kabah. Rupang Buddha tersebut dipertontonkan untuk menunjukkan bahwa Allah memimpin Raja Tibet ke dalam agama Islam. Bangsa Arab salah mengira Kabul Shah sebagai Raja Tibet. Pada tahun 817 M, bangsa Arab meleburkan rupang Buddha tersebut di Kabah untuk menghasilkan koin-koin emas.
3. Periode Bangsa Turki (840-1206 M)
Agama Buddha berkembang di Kerajaan Saffarid. Asadi Tusi, dalam karyanya Garshap Name yang ditulis tahun 1048, menjelaskan tentang vihara Subahar yang ditemukan oleh Ghaznavid ketika mereka menduduki Kabul. Sedangkan raja kerajaan Samanid yang beragama Sunni Islam, yaitu Nasr II juga sangat toleran dengan agama Buddha, dengan fakta bahwa pratima Buddha masih dibuat dan dijual di istana Samanid, Bukhara.
Khotan menjadi salah satu pusat perkembangan agama Buddha. Para penduduk Buddhis Kashgar, yang menolak untuk berganti keyakinan di tangan Qarakhanid karena mereka bukan orang Turki, didukung oleh umat Buddhis di Khotan. Umat Buddhis Khotan membantu penduduk kashgar untuk menjatuhkan kekuasaan Muslim Turki pada tahun 971 M. Namun 4 imam mengirim Yususf Qadr Khan, saudara Qarakhanid Oaghan untuk mengadakan jihad melawan pasukan Khotan dan Kashgar. Akhirnya pasukan Yusuf berhasil memberantas mereka dan Khotan menjadi salahstau daerah kekuasaan Qarakhanid. Penduduk Khotan kemudian beralih keyakinan dari Buddhis ke Islam. Raja Yeshey-wo dari Ngari yang Buddhis juga pernah ditangkap oleh para pasukan Qarakhanid ketika ia mengunjungi Khotan. Selama pendudukan Khotan oleh Qarakhanid, bahas Turki menggantikan bahasa Khotan dan seluruh kota menjadi Islam. Agama Buddha sepenuhnya lenyap di kota tersebut. Setelah keruntuhan Qarakhanid pada 1137 M, para penguasa Kashgar mendukung agama Buddha dan juga terdapat para pejabat Buddhis di Kashgar.
Pada abad ke-10 M, Mahmud dari Ghazni yang seorang Muslim Sunni berhasil mengalahkan Hindu Shahi dan mengakhir pemerintahan Buddhis di Asia Tengah dan Punjab. Mahmud menghancurkan stupa-stupa dan vihara-vihara selama peperangannya melalui India Utara, namun meninggalkan vihara-vihara yang berada dalam daerah kekuasaannya, Sogdia, Bactria, Kabul, dan Afghanistan. Ia menghancurkan vihara-vihara Buddhis di Nagarkot dan Mathura. Mahmud dari Ghazni adalah penentang pemujaan berhala. Rupang-rupang Hindu dan Buddhis semaunya dihancurkan dan banyak Buddhis yang pergi berlindung ke Tibet. Pada masa ini, Al-Biruni mencatat Sang Buddha sebagai Nabi Burxan.
Namun Mahmud tidak dapat menyerang dan menginvasi Kashmir. Berdasarkan catatan Buddhis, penguasa Ghazanavid tersebut dihentikan oleh mantra Buddhis yang dilafalkan oleh Prajnaraks**ta, murid dari Mahasiddha Naropa.
Seperti Samanid, Ghaznavid juga mempopulerkan kebudayaan Persia. Puisi-puisi Persia sering menggunakan perumpamaan istana-istana itu seindah “Nawbahar” (Nava Vihara).
Dihancurkannya banyak vihara adalah salah satu penyebab utama mundurnya agama Buddha di India, karena vihara adalah tempat berkumpulnya banyak umat Buddhis. Pasukan-pasukan Muslim Ghurid juga menghancurkan dan meluluhlantakkan Vihara Odantapuri dan Vikramashila.
Muhammad dari Ghur menyerang India utara banyak kali. Gujarat jatuh ke tangan pasukan Muhammad dari Ghur pada tahun 1197 M. Pasukan Muhammad dari Ghur menghancurkan banyak bangunan Buddhis.
Vihara-vihara Odantapuri dan Nalanda dihancurkan oleh Muhammad-bin-Bakhtiyar pada tahun 1197 M dan kota tersebut dinamakan kembali. Para bhiksu dibunuh dalam penyerangan itu. Taranatha dalam Sejarah India-nya (dpal dus kyi 'khor lo'i chos bskor gyi byung khungs nyer mkho) memberikan detail catatan sejarah mengenai abad-abad terkahir agama Buddha di India, terutama India Timur. Catatannya menunjukkan kemunduran agama Buddha yang luar biasa, namun bukan kepunahan agama Buddha.
Pada tahun 1200 M, Muhammad Khilji, salah satu jenderal Qutb-ud-Din, menghancurkan vihara-vihara yang ditempati oleh pasukan Sena, seperti di Vikramashila. Banyak monumen dan banunan di India yang dihancurkan oleh para penjajah Muslim, termasuk vihara-vihara Buddhis di Benares (Varanasi). Para bhiksu yang berhasil lolos dari pembantaian pergi ke Nepal, Tibet dan India Selatan.
Sejarawan Tibet pada abad 17 M menulis bahwa pada waktu pemerintahan Raja Sena, orang Tayi (Turki) telah muncul dengan pasukan berkudanya dan vihara-vihara kemudian diduduki dan diserbu oleh pasukan Tayi, para bhiksu di Uddandapura (Odantapuri) dibunuh, vihara diruntuhkan dan diganti oleh benteng baru dan Vikramashila yang ada di sebelah timur laut juga dihancurkan.
Catatan sejarah Muslim dan satu saksi mata Chag Lotsawa Dharmasvamin sekitar tahun 1235 M pergi ke India Utara dan bercerita tentang vihara-vihara yang ditinggalkan dan digunakan sebagai kamp oleh para Turukshah. Dharmasvamin juga menemukan bahwa Universitas Nalanda telah rusak dan ditinggalkan, namun masih berdiri dan berfungsi dengan hanya 70 murid. Di dekat Nalanda tepatnya di Vajrasana, Bodhgaya juga masih berdiri Vihara Srilanka Mahabodhi dengan 300 bhikshu Srilanka. Vihara Jagaddala di barat laut Bengal masih berkembang dan penuh dengan bhiksu. Somapura, vihara universitas terbesar di bengal, tampaknya ditinggalkan pada masa ini.
Akhirnya Jagaddala dan Somapura dihancurkan juga oleh pasukan Muslim.
Taranatha juga menyebutkan: “para Turukshah menaklukkan seluruh Magadha dan menghancurkan banyak vihara dan memberi banyak kerusakan pada Nalanda, dan banyak bhiksu melarikan diri.”
4. Periode-periode Selanjutnya
Raja Timur (abad ke-14 M) yang seorang Muslim dan pendiri Kerajaan Timurid banyak menghancurkan bangunan Buddhis dan menduduki daerah-daerah di mana agama Buddha berkembang.
Pemerintahan Dinasti Mughal juga memberikan dampak bagi kemunduran agama Buddha. Para penguasa Mughal seperti Aurangzeb menghancurkan kuil-kuil Hindu dan vihara-vihara Buddhis, kemudian menggantinya dengan masjid-masjid.
Banyak vihara-vihara Buddhis yang dihancurkan selama penjajahan di tanah India, pertama dilakukan oleh pasukan Umayyad pada abad ke-8 M dan kemudian oleh pasukan Islam Turki (pemerintahan Abbasid) mulai dari abad 11 – 13 M.
Terdapat lagu rakyat Turki yang meneceritakan tentang penyerangan Karakhanid terhadap kerajaan Buddhis Uyghur di Turfan. Lagu rakyat tersebut dicatat dalam kamus yang ditulis oleh Al-Kashagri pada abad ke-12 M:
Kami datang kepada mereka layaknya air bah
Kami pergi ke kota-kota mereka
Kami merobohkan vihara-vihara Buddha
Kami mengumpat di kepala Buddha!
Para penjajah Arab menyebut penganut agama-agama India sebagai But-parast dan para penghancur patung sebagai “but-shikan” Kata-kata “But” berasal dari kata “Buddha”, namun bangsa Arab menggunakannya untuk mendeskripsikan umat-umat agama India. Ketika bangsa Arab datang ke Sind, cuma ada sedikit pengaruh agama Buddha di sana dan tidak ada pemerintahan Buddhis. Dari abad ke-7 sampai 13 M, Islam menggantikan agama Buddha sebagai agama perdagangan di banyak tempat, bersama dengan konsolidasi agama-agama para petani yaitu Hindu.
1. Periode Umayyad (661-750 M)
Pada tahun 711 M, Dinasti Umayyad, Muhammad bin Qasim menaklukkan Sind dan membawa penduduk India untuk bertemu dengan ajaran Islam. Pada saat itu umat Buddhis yang hidup di Sindh sangat banyak dan biasnaya berada dalam golongan pedagang. Para pasukan Hindu melawan serangan pasukan Umayyad. Para Buddhis yang tidak mempunyai kemampuan perang menyerah dengan damai. Pasukan Muhammad bin Qasim akhirnya berhasil mengalahkan Raja Dahir, raja Hindu di Sindh dengan bantuan aliansi Jat. Peperangannya sukses berkat dukungan kasta rendah seperti Jats, Meds dan Bhutto. Pasukan Umayyad menghancurkan kuil-kuil Hindu dan menggantinya dengan masjid. Gubernur kota yang Buddhis juga mengajukan perdamaian dengan pasukan Umayyad. Masjid juga dibangun di daerah vihara utama. Mereka yang berganti keyakinan menjadi Islam terutama dari umat Buddhis yang dari kalangan pedagang, karena mereka melihat banyak sekali keuntungan ekonomi dan politik apabila mereka menjadi Muslim. Mereka juga membayar pajak yang rendah apabila mereka berganti keyakinan menjadi Muslim.
Namun pasukan Umayyad ini cukup toleran dengan agama Buddha, mereka tidak menyerang Dudda Vihara yang berada di Valabhi (di bawah pemerintahan Rastrakuta), mereka malah mengadakan hubungan damai dengan Rastrakuta. Penghancuran vihara Buddhis oleh pasukan Umayyad bisa dibialng jarang.
Pada tahun 715 M, Gubernur Hajjaj mengrim Jenderal Qutaiba untuk mengambil kembali Bactria dengan menyerangnya dari timur laut Iran. Jenderal tersebut kemudian merusak Nava Vihara. Banyak Bhiksu melarikan diri ke Kashmir dan Khotan. Raja Karkota, Lalitaditya (701-1738) membangun banyak vihara baru untuk menampung para pengungsi Buddhis, atas anjuran menteri Bactria yang Buddhis. Lebih lanjut lagi dari Khotan, sebagain pengungi pergi ke Tibet. Ratu Jincheng pada tahun 725 M di Tibet menerima para Bhiksu pengungsi dan membangun tujuh vihara untuk mereka. Ketika pada tahun 739 M Ratu Jincheng meninggal, para Bhiksu pengungsi dipindahkan lagi ke Gandhara dan akhirnya mereka menetap di Baltistan di uata Oddiyana. Waktu terus berjalan dan Nava Vihara kemudian kembali berfungsi seperti sedia kala. Umat Muslim dan umat Buddhis hidup berdampingan dengan damai di Sindh.
2. Periode Abbasid (750-840 M)
Pada tahun 780 M, para penguasa Abbasid di Sindh menyerang Surashtra dan menghancurkan vihara-vihara Buddhis di Valabhi. Setelah kejatuhan Dinasti Rashtrakuta, vihara ini menjadi tanpa perlindungan. Valabhi tidak hanya merupakan pusat pengajaran Buddhis, namun juga Jain sekte Shvetambara yang memakai jubah putih.
Pasukan Abbasid salah mengira kalau mereka (Jain) adalah pengikut Manichaean dan Musalemmiya yang keberdaaannya dianggap mengancam. Ketika berada di Valabhi, mereka tidak dapat membedakan mana yang vihara Buddhis mana yang kuil Jain. Mereka menghancurkan semuanya.
Dinasti Abbasid tetap terus melanjutkan sistem status dhimmi seperti pada dinasti sebelumnya, Umayyad. Mereka tetap memberikan status dhimmi bagi para Buddhis. Satu-satunya agama non-Muslim yang disiksa oleh pengikut Abbasid adalah umat agama Manichaean.
Kitab Al-Budd, Kita Bilawhar wa Budhasaf dan kitab al-Fihrist yang berkisah tentang Sang Buddha dan Bodhisattva semuanya muncul pada masa ini, menunjukkan bahwa para pemerintah Abbasid sangat toleran terhadap agama Buddha.
Pada tahun 815 M, pasukan Abbasid memenangkagn pertempuran melawan penguasa Turki Shahi, yaitu Kabul Shah. Kabul Shah dipaksa untuk masuk Islam. Sebagai tanda penyerahan dirinya, Kabul Shah mengirim sebuah rupang Buddha dari emas ke tanah Mekah dan disimpan selama 2 tahun sebagai harta di Kabah. Rupang Buddha tersebut dipertontonkan untuk menunjukkan bahwa Allah memimpin Raja Tibet ke dalam agama Islam. Bangsa Arab salah mengira Kabul Shah sebagai Raja Tibet. Pada tahun 817 M, bangsa Arab meleburkan rupang Buddha tersebut di Kabah untuk menghasilkan koin-koin emas.
3. Periode Bangsa Turki (840-1206 M)
Agama Buddha berkembang di Kerajaan Saffarid. Asadi Tusi, dalam karyanya Garshap Name yang ditulis tahun 1048, menjelaskan tentang vihara Subahar yang ditemukan oleh Ghaznavid ketika mereka menduduki Kabul. Sedangkan raja kerajaan Samanid yang beragama Sunni Islam, yaitu Nasr II juga sangat toleran dengan agama Buddha, dengan fakta bahwa pratima Buddha masih dibuat dan dijual di istana Samanid, Bukhara.
Khotan menjadi salah satu pusat perkembangan agama Buddha. Para penduduk Buddhis Kashgar, yang menolak untuk berganti keyakinan di tangan Qarakhanid karena mereka bukan orang Turki, didukung oleh umat Buddhis di Khotan. Umat Buddhis Khotan membantu penduduk kashgar untuk menjatuhkan kekuasaan Muslim Turki pada tahun 971 M. Namun 4 imam mengirim Yususf Qadr Khan, saudara Qarakhanid Oaghan untuk mengadakan jihad melawan pasukan Khotan dan Kashgar. Akhirnya pasukan Yusuf berhasil memberantas mereka dan Khotan menjadi salahstau daerah kekuasaan Qarakhanid. Penduduk Khotan kemudian beralih keyakinan dari Buddhis ke Islam. Raja Yeshey-wo dari Ngari yang Buddhis juga pernah ditangkap oleh para pasukan Qarakhanid ketika ia mengunjungi Khotan. Selama pendudukan Khotan oleh Qarakhanid, bahas Turki menggantikan bahasa Khotan dan seluruh kota menjadi Islam. Agama Buddha sepenuhnya lenyap di kota tersebut. Setelah keruntuhan Qarakhanid pada 1137 M, para penguasa Kashgar mendukung agama Buddha dan juga terdapat para pejabat Buddhis di Kashgar.
Pada abad ke-10 M, Mahmud dari Ghazni yang seorang Muslim Sunni berhasil mengalahkan Hindu Shahi dan mengakhir pemerintahan Buddhis di Asia Tengah dan Punjab. Mahmud menghancurkan stupa-stupa dan vihara-vihara selama peperangannya melalui India Utara, namun meninggalkan vihara-vihara yang berada dalam daerah kekuasaannya, Sogdia, Bactria, Kabul, dan Afghanistan. Ia menghancurkan vihara-vihara Buddhis di Nagarkot dan Mathura. Mahmud dari Ghazni adalah penentang pemujaan berhala. Rupang-rupang Hindu dan Buddhis semaunya dihancurkan dan banyak Buddhis yang pergi berlindung ke Tibet. Pada masa ini, Al-Biruni mencatat Sang Buddha sebagai Nabi Burxan.
Namun Mahmud tidak dapat menyerang dan menginvasi Kashmir. Berdasarkan catatan Buddhis, penguasa Ghazanavid tersebut dihentikan oleh mantra Buddhis yang dilafalkan oleh Prajnaraks**ta, murid dari Mahasiddha Naropa.
Seperti Samanid, Ghaznavid juga mempopulerkan kebudayaan Persia. Puisi-puisi Persia sering menggunakan perumpamaan istana-istana itu seindah “Nawbahar” (Nava Vihara).
Dihancurkannya banyak vihara adalah salah satu penyebab utama mundurnya agama Buddha di India, karena vihara adalah tempat berkumpulnya banyak umat Buddhis. Pasukan-pasukan Muslim Ghurid juga menghancurkan dan meluluhlantakkan Vihara Odantapuri dan Vikramashila.
Muhammad dari Ghur menyerang India utara banyak kali. Gujarat jatuh ke tangan pasukan Muhammad dari Ghur pada tahun 1197 M. Pasukan Muhammad dari Ghur menghancurkan banyak bangunan Buddhis.
Vihara-vihara Odantapuri dan Nalanda dihancurkan oleh Muhammad-bin-Bakhtiyar pada tahun 1197 M dan kota tersebut dinamakan kembali. Para bhiksu dibunuh dalam penyerangan itu. Taranatha dalam Sejarah India-nya (dpal dus kyi 'khor lo'i chos bskor gyi byung khungs nyer mkho) memberikan detail catatan sejarah mengenai abad-abad terkahir agama Buddha di India, terutama India Timur. Catatannya menunjukkan kemunduran agama Buddha yang luar biasa, namun bukan kepunahan agama Buddha.
Pada tahun 1200 M, Muhammad Khilji, salah satu jenderal Qutb-ud-Din, menghancurkan vihara-vihara yang ditempati oleh pasukan Sena, seperti di Vikramashila. Banyak monumen dan banunan di India yang dihancurkan oleh para penjajah Muslim, termasuk vihara-vihara Buddhis di Benares (Varanasi). Para bhiksu yang berhasil lolos dari pembantaian pergi ke Nepal, Tibet dan India Selatan.
Sejarawan Tibet pada abad 17 M menulis bahwa pada waktu pemerintahan Raja Sena, orang Tayi (Turki) telah muncul dengan pasukan berkudanya dan vihara-vihara kemudian diduduki dan diserbu oleh pasukan Tayi, para bhiksu di Uddandapura (Odantapuri) dibunuh, vihara diruntuhkan dan diganti oleh benteng baru dan Vikramashila yang ada di sebelah timur laut juga dihancurkan.
Catatan sejarah Muslim dan satu saksi mata Chag Lotsawa Dharmasvamin sekitar tahun 1235 M pergi ke India Utara dan bercerita tentang vihara-vihara yang ditinggalkan dan digunakan sebagai kamp oleh para Turukshah. Dharmasvamin juga menemukan bahwa Universitas Nalanda telah rusak dan ditinggalkan, namun masih berdiri dan berfungsi dengan hanya 70 murid. Di dekat Nalanda tepatnya di Vajrasana, Bodhgaya juga masih berdiri Vihara Srilanka Mahabodhi dengan 300 bhikshu Srilanka. Vihara Jagaddala di barat laut Bengal masih berkembang dan penuh dengan bhiksu. Somapura, vihara universitas terbesar di bengal, tampaknya ditinggalkan pada masa ini.
Akhirnya Jagaddala dan Somapura dihancurkan juga oleh pasukan Muslim.
Taranatha juga menyebutkan: “para Turukshah menaklukkan seluruh Magadha dan menghancurkan banyak vihara dan memberi banyak kerusakan pada Nalanda, dan banyak bhiksu melarikan diri.”
4. Periode-periode Selanjutnya
Raja Timur (abad ke-14 M) yang seorang Muslim dan pendiri Kerajaan Timurid banyak menghancurkan bangunan Buddhis dan menduduki daerah-daerah di mana agama Buddha berkembang.
Pemerintahan Dinasti Mughal juga memberikan dampak bagi kemunduran agama Buddha. Para penguasa Mughal seperti Aurangzeb menghancurkan kuil-kuil Hindu dan vihara-vihara Buddhis, kemudian menggantinya dengan masjid-masjid.
Banyak vihara-vihara Buddhis yang dihancurkan selama penjajahan di tanah India, pertama dilakukan oleh pasukan Umayyad pada abad ke-8 M dan kemudian oleh pasukan Islam Turki (pemerintahan Abbasid) mulai dari abad 11 – 13 M.