BRIGITTE GABRIEL: Because they hate (Jihad di LEBANON)
Posted: Mon Apr 03, 2006 11:15 pm
http://www.frontpagemag.com/Articles/Re" onclick="window.open(this.href);return false; ... p?ID=21364
Because They Hate
By Brigitte Gabriel
FrontPageMagazine.com | February 20, 2006
Saya baru berusia 10 tahun ketika rumah saya diledakkan, mengubur saya dibawah puing-puing. Utk mempertahankan hidup, saya terpaksa meminum darah saya sendiri, sambil diteriaki sorakan “Allah Akbar!” oleh para pelaku pemboman. Kesalahan saya hanyalah karena saya Kristen yang tinggal di sebuah kota Kristen. Pada usia 10 tahun saya sudah tahu arti kata “Kafir”.
Saya mendpt kursus kilat ketrampilan dlm bertahan hidup. Bukan melalui kegiatan Pramuka, melainkan dalam ruang perlindungan dari bom, tempat hidup saya selama 7 tahun dalam kegelapan, kedinginan yang menyiksa, minum air kotor dan makan rumput agar tetap hidup. Pada usia 13, pakaian tidur saya adalah kain kafan, kalau2 setiap saat saya dibantai. Menjelang usia 20, saya telah menguburkan hampir semua sahabat saya yang dibunuh oleh muslim. Kami bukan orang2 Amerika yang tinggal di New York, atau orang Inggris di London. Kami orang2 Kristen Arab yang tinggal di Lebanon.
Sebagai korban langsung terror Islam, saya terkejut melihat rakyat Amerika baru terbangun pada 12 September 2001 dan bertanya2 “Kenapa mereka membenci kami?” Para pakar psychoanalyst memberikan segala dalih alasan mengapa kita sampai membuat Muslim tersinggung. Namun jika saja AS dan Barat lebih berupaya mengenal Timur Tengah, tentu mereka tidak akan heran. Sederhana saja, mereka (muslim) benci kepada kita karena dalam mata mereka kita ini bisa dirangkum dalam satu kata sederhana: “kafir”.
Dgn "la, ilaha illa allah, muhammad rasulu allah," mereka membantai anak-anak Yahudi di Israel, menyembelih orang Kristen di Lebanon, membunuh kaum Koptik di Mesir, kaum Assyria di Syria, umat Hindu di India dan mengusir hampir 900,000 orang Yahudi dari negeri-negeri Muslim. Kami, para kafir Timur Tengah telah menanggung getirnya. Sekarang giliran para kafir di seluruh dunia membayar harga dari kecuekan dan ketidakpedulian mereka.
Membiarkan kejahatan sama saja dgn kejahatan itu sendiri. Membujuk/bermanis-manis dengan para pembunuh tidak akan memberikan kita perlindungan. Mereka malah akan semakin menjadi-jadi dan menganggap kita lemah, tidak punya harga diri. Sifat tidak peduli Barat sama saja dgn bunuh diri. Basa-basi politik malah membelenggu kita, dan memang inilah yang disenangi oleh para Islamis yang menginginkan kehancuran kita.
Amerika dan Barat akan gagal dalam perang ini kecuali mereka bangkit dan mengenali siapa musuh sebenarnya: ISLAM. Anda mendengar tentang Wahabi dan Islam Salafi sebagai bentuk Islam ekstrim. Muslim lain dianggap moderat. Sementara itu, Muslim2 yg bukan dianggap Muslim sejati, ngamuk bak kebakaran jenggot dan bereaksi keras atas gambar2 kartun Muhammad yang dimuat koran Denmark. Mulai dari bakar2an kedutaan, panggilan untuk membantai mereka yang melecehkan Islam, sampai peringatan2 supaya Barat siap2 saja menghadapi holocaust/pembantaian berikutnya, ini semuanya memberikan kita sekilas mengenai apa sesungguhnya wajah musuh kita itu. Kejadian2 ini melambangkan sebuah bentuk kebencian yang mencuat dari sebuah ideologi kebencian dan ketiadaan toleransi yang berakar dari sumber yang sama: ISLAM YANG SEJATI, ajaran yang bangun dari tidur panjang dan menunjukkan kembali dorna-murkanya terhadap kafir dan bertujuan menguasai seluruh bumi. Sebuah ajaran yang telah menyatakan perang “Intifada” terhadap Barat.
Amerika dan Barat tidak dapat lagi bersantai2. Konsekuensi dari kemalasan mental ini mulai menggerogoti tubuh mereka, dan jika mereka masih saja tidak mengambil tindakan tepat untuk mengontrol hal ini, maut kan menunggu mereka. Jika anda ingin memahami sifat musuh yang kita hadapi ini, bayangkan saja seekor ular. Ular merayap dan berbisik, dan mereka saling makan satu sama lainnya, tapi mereka akan bergerombol demi mencapai tujuan mereka bersama yaitu memaksakan Islam kepada dunia.
Inilah wajah mengerikan musuh yang kita perangi itu. Kita sedang memerangi sebuah paham ideologi yang kuat yang mampu merubah tatanan dasar dari naluri kemanusiaan. Sebuah ideologi yang mampu merubah seorang ibu menjadi monster penebar bom maut. Sebuah contoh yang sempurna adalah ketika seorang pejabat Hamas Palestina memenangkan pemilihan dan saking gembiranya menjadikan ketiga putranya sbg suicide bomber dan menyerahkan yang masih hidup untuk tujuan yang sama. Ini sebuah ideologi yang mampu menawarkan orang2 pandai macam dokter dan pengacara, sebuah kesenangan yang jauh lebih besar lewat jihad, daripada berkarya bagi kepentingan bersama.
AS telah menjadi sasaran utama dari kebencian dan teror Islam. Setiap Jumat, mesjid2 di Timur Tengah berdengung2 dengan doa2 tajam dan lengkingan2 teriakan yang mengutuki, menyumpah mati dan menyiasati kehancuran dan kelaknatan bagi Amerika dan penduduknya. Perbuatan2 radikal para Islamis ini sama busuk dengan kata2 mereka. Sejak krisis penyanderaan di Iran, sudah lebih dari 3000 orang Amerika tewas dalam aksi teror yang tidak ada duanya tingkat kekejamannya. Bahkan Nazi pun tidak menjadikan anak2 mereka menjadi bom manusia, dan berjingkrak2 atas kematian mereka dan korban mereka. Pembunuhan warga Amerika yang disengaja tanpa pandang bulu dan yang diumbar ini dijunjung-tinggi dan dimuliakan dalam nama Islam.
Amerika tidak dapat mempertahankan dirinya dalam perang ini dengan efektif sampai orang Amerika mengerti betul sifat musuh yang dihadapinya. Bahkan sesudah 9/11 pun masih ada yang berkata bahwa kita harus “merangkul” musuh2 kita yang teroris, bahwa kita harus “memperhatikan keluh-kesah mereka”. Keluh-kesah mereka adalah kemerdekaan beragama kita. Keluh-kesah mereka adalah kebebasan berpendapat kita. Keluh-kesah mereka adalah proses demokrasi kita di mana aturan hukum berasal dari banyak pihak dan bukan dari satu nabi saja. Inilah rasa hormat yang kita tanamkan di dalam anak-anak kita terhadap semua agama. Inilah kesejajaran yang kita berikan satu kepada lainnya sebagai umat manusia yang berbagi urang hidup dlm planet ini dan berjuang membuat bumi menjadi sebuah tempat yang lebih baik bagi umat manusia. Keluh-kesah mereka adalah kebaikan dan rasa hormat yang ditunjukkan kaum pria kepada wanita, keadilan bagi semua warga tanpa pandang bulu, dan belas kasih yang kita berikan kepada musuh-musuh kita.
Sikap terbelakang kita yang enggan untuk menghadapi dan melabrak kekuatan2 dengki dan benci Islami ini dimana pun mereka memunculkan wajah jelek mereka dalam kurun 30 tahun belakangan, telah
memperkuat mereka dlm serangan2 berskala penuh terhadap kebebasan2 yang sangat kita junjung, guna memaksakan nilai2 dan cara hidup mereka kepada peradaban kita.
Jika kita tidak bangkit dan menantang komunitas Muslim untuk mmebersihkan diri dari unsur2 teroris, jika kita tidak lagi percaya atas standar2 yang seharusnya kita pegang, maka kita akan membayar kesesatan ini dgn sangat mahal. Demi anak cucu dan negara kita, kita harus bangkit dan bertindak. Menghadapi hujatan, kebencian dan terorisme, kurva proses pembelajaran Amerika sejak krisis penyanderaan Iran adalah sangat dangkal dan hampir rata. Semakin lama kita berbaring malas, semakin sukar kita berdiri tegak.//
Because They Hate
By Brigitte Gabriel
FrontPageMagazine.com | February 20, 2006
Saya baru berusia 10 tahun ketika rumah saya diledakkan, mengubur saya dibawah puing-puing. Utk mempertahankan hidup, saya terpaksa meminum darah saya sendiri, sambil diteriaki sorakan “Allah Akbar!” oleh para pelaku pemboman. Kesalahan saya hanyalah karena saya Kristen yang tinggal di sebuah kota Kristen. Pada usia 10 tahun saya sudah tahu arti kata “Kafir”.
Saya mendpt kursus kilat ketrampilan dlm bertahan hidup. Bukan melalui kegiatan Pramuka, melainkan dalam ruang perlindungan dari bom, tempat hidup saya selama 7 tahun dalam kegelapan, kedinginan yang menyiksa, minum air kotor dan makan rumput agar tetap hidup. Pada usia 13, pakaian tidur saya adalah kain kafan, kalau2 setiap saat saya dibantai. Menjelang usia 20, saya telah menguburkan hampir semua sahabat saya yang dibunuh oleh muslim. Kami bukan orang2 Amerika yang tinggal di New York, atau orang Inggris di London. Kami orang2 Kristen Arab yang tinggal di Lebanon.
Sebagai korban langsung terror Islam, saya terkejut melihat rakyat Amerika baru terbangun pada 12 September 2001 dan bertanya2 “Kenapa mereka membenci kami?” Para pakar psychoanalyst memberikan segala dalih alasan mengapa kita sampai membuat Muslim tersinggung. Namun jika saja AS dan Barat lebih berupaya mengenal Timur Tengah, tentu mereka tidak akan heran. Sederhana saja, mereka (muslim) benci kepada kita karena dalam mata mereka kita ini bisa dirangkum dalam satu kata sederhana: “kafir”.
Dgn "la, ilaha illa allah, muhammad rasulu allah," mereka membantai anak-anak Yahudi di Israel, menyembelih orang Kristen di Lebanon, membunuh kaum Koptik di Mesir, kaum Assyria di Syria, umat Hindu di India dan mengusir hampir 900,000 orang Yahudi dari negeri-negeri Muslim. Kami, para kafir Timur Tengah telah menanggung getirnya. Sekarang giliran para kafir di seluruh dunia membayar harga dari kecuekan dan ketidakpedulian mereka.
Membiarkan kejahatan sama saja dgn kejahatan itu sendiri. Membujuk/bermanis-manis dengan para pembunuh tidak akan memberikan kita perlindungan. Mereka malah akan semakin menjadi-jadi dan menganggap kita lemah, tidak punya harga diri. Sifat tidak peduli Barat sama saja dgn bunuh diri. Basa-basi politik malah membelenggu kita, dan memang inilah yang disenangi oleh para Islamis yang menginginkan kehancuran kita.
Amerika dan Barat akan gagal dalam perang ini kecuali mereka bangkit dan mengenali siapa musuh sebenarnya: ISLAM. Anda mendengar tentang Wahabi dan Islam Salafi sebagai bentuk Islam ekstrim. Muslim lain dianggap moderat. Sementara itu, Muslim2 yg bukan dianggap Muslim sejati, ngamuk bak kebakaran jenggot dan bereaksi keras atas gambar2 kartun Muhammad yang dimuat koran Denmark. Mulai dari bakar2an kedutaan, panggilan untuk membantai mereka yang melecehkan Islam, sampai peringatan2 supaya Barat siap2 saja menghadapi holocaust/pembantaian berikutnya, ini semuanya memberikan kita sekilas mengenai apa sesungguhnya wajah musuh kita itu. Kejadian2 ini melambangkan sebuah bentuk kebencian yang mencuat dari sebuah ideologi kebencian dan ketiadaan toleransi yang berakar dari sumber yang sama: ISLAM YANG SEJATI, ajaran yang bangun dari tidur panjang dan menunjukkan kembali dorna-murkanya terhadap kafir dan bertujuan menguasai seluruh bumi. Sebuah ajaran yang telah menyatakan perang “Intifada” terhadap Barat.
Amerika dan Barat tidak dapat lagi bersantai2. Konsekuensi dari kemalasan mental ini mulai menggerogoti tubuh mereka, dan jika mereka masih saja tidak mengambil tindakan tepat untuk mengontrol hal ini, maut kan menunggu mereka. Jika anda ingin memahami sifat musuh yang kita hadapi ini, bayangkan saja seekor ular. Ular merayap dan berbisik, dan mereka saling makan satu sama lainnya, tapi mereka akan bergerombol demi mencapai tujuan mereka bersama yaitu memaksakan Islam kepada dunia.
Inilah wajah mengerikan musuh yang kita perangi itu. Kita sedang memerangi sebuah paham ideologi yang kuat yang mampu merubah tatanan dasar dari naluri kemanusiaan. Sebuah ideologi yang mampu merubah seorang ibu menjadi monster penebar bom maut. Sebuah contoh yang sempurna adalah ketika seorang pejabat Hamas Palestina memenangkan pemilihan dan saking gembiranya menjadikan ketiga putranya sbg suicide bomber dan menyerahkan yang masih hidup untuk tujuan yang sama. Ini sebuah ideologi yang mampu menawarkan orang2 pandai macam dokter dan pengacara, sebuah kesenangan yang jauh lebih besar lewat jihad, daripada berkarya bagi kepentingan bersama.
AS telah menjadi sasaran utama dari kebencian dan teror Islam. Setiap Jumat, mesjid2 di Timur Tengah berdengung2 dengan doa2 tajam dan lengkingan2 teriakan yang mengutuki, menyumpah mati dan menyiasati kehancuran dan kelaknatan bagi Amerika dan penduduknya. Perbuatan2 radikal para Islamis ini sama busuk dengan kata2 mereka. Sejak krisis penyanderaan di Iran, sudah lebih dari 3000 orang Amerika tewas dalam aksi teror yang tidak ada duanya tingkat kekejamannya. Bahkan Nazi pun tidak menjadikan anak2 mereka menjadi bom manusia, dan berjingkrak2 atas kematian mereka dan korban mereka. Pembunuhan warga Amerika yang disengaja tanpa pandang bulu dan yang diumbar ini dijunjung-tinggi dan dimuliakan dalam nama Islam.
Amerika tidak dapat mempertahankan dirinya dalam perang ini dengan efektif sampai orang Amerika mengerti betul sifat musuh yang dihadapinya. Bahkan sesudah 9/11 pun masih ada yang berkata bahwa kita harus “merangkul” musuh2 kita yang teroris, bahwa kita harus “memperhatikan keluh-kesah mereka”. Keluh-kesah mereka adalah kemerdekaan beragama kita. Keluh-kesah mereka adalah kebebasan berpendapat kita. Keluh-kesah mereka adalah proses demokrasi kita di mana aturan hukum berasal dari banyak pihak dan bukan dari satu nabi saja. Inilah rasa hormat yang kita tanamkan di dalam anak-anak kita terhadap semua agama. Inilah kesejajaran yang kita berikan satu kepada lainnya sebagai umat manusia yang berbagi urang hidup dlm planet ini dan berjuang membuat bumi menjadi sebuah tempat yang lebih baik bagi umat manusia. Keluh-kesah mereka adalah kebaikan dan rasa hormat yang ditunjukkan kaum pria kepada wanita, keadilan bagi semua warga tanpa pandang bulu, dan belas kasih yang kita berikan kepada musuh-musuh kita.
Sikap terbelakang kita yang enggan untuk menghadapi dan melabrak kekuatan2 dengki dan benci Islami ini dimana pun mereka memunculkan wajah jelek mereka dalam kurun 30 tahun belakangan, telah
memperkuat mereka dlm serangan2 berskala penuh terhadap kebebasan2 yang sangat kita junjung, guna memaksakan nilai2 dan cara hidup mereka kepada peradaban kita.
Jika kita tidak bangkit dan menantang komunitas Muslim untuk mmebersihkan diri dari unsur2 teroris, jika kita tidak lagi percaya atas standar2 yang seharusnya kita pegang, maka kita akan membayar kesesatan ini dgn sangat mahal. Demi anak cucu dan negara kita, kita harus bangkit dan bertindak. Menghadapi hujatan, kebencian dan terorisme, kurva proses pembelajaran Amerika sejak krisis penyanderaan Iran adalah sangat dangkal dan hampir rata. Semakin lama kita berbaring malas, semakin sukar kita berdiri tegak.//