RUFUS: filsuf Romawi PRA ISLAM yg bela hak wanita

Post Reply
Pop Eye
Posts: 397
Joined: Thu Sep 09, 2010 1:53 pm

RUFUS: filsuf Romawi PRA ISLAM yg bela hak wanita

Post by Pop Eye »

MEMBANTAH MITOS MUHAMAD MAJU DLM PEMIKIRAN TTG HAK WANITA
http://www.newenglishreview.org/blog_di ... g_id/27936


Image Image

Philosophers on the Role of Women
(Para filsuf tentang Peranan Wanita)
http://www.stoa.org/diotima/anthology/w ... hers.shtml


Musonius Rufus, Pemikir/filsuf Roma adab pertama Masehi yang mendukung pendidikan bagi wanita

Filsuf yg pintar mengendalikan hawa nafsunya (ga seperti si setan bejat Muhammad), Musonis Rufus (30-101M) adalah orang Romawi dari kumpulan ahli penunggang kuda, yg sama juga seperti Socrates, berusaha untuk mempraktekkan apa yg dia ajarkan dan menggunakan filsafat sebagai penuntun hidup. Murid Musonius Rufus menulis pidato2 dan tulisannya, termasuk pandangannya terhadap wanita yg menurutnya jauh lebih rasional dan manusiawi, dan pastinya jauh lebih positif dari orang2 yg hidup sezaman dengannya seperti Rasul Paulus (baca tulisan Rasul Paulus di 1 Korintus 7:1-16,25-40,11:2-16,14:33b-5). Meskipun banyak pula dijumpai ide2 yg relatif sama dari penulis2 kafir yg lain, namun nampaknya ide2 tersebut penekanan dan artinya jauh lebih jelas diekspresikan oleh Musonius.

Studi Filsafat

Ketika dia ditanya apakah wanita sepatutnya belajar filsafat, dia mulai menjawab pertanyaan tersebut kurang lebih seperti ini: Wanita dikaruniai kemampuan berfikir yg SAMA dengan pria oleh dewa2 (intelektualitas wanita tidak setengah dari pria, seperti dalam Islam). Kita pria menggunakan kemampuan berfikir dalam hubungan kita dengan sesama dan sebisa mungkin dalam segala hal yg kita lakukan, entah hal baik atau buruk, mulia atau tercela. Sama juga dengan wanita yg mempunyai panca indera seperti pria dalam hal penglihatan, pendengaran, penciuman, mempunyai beberapa bagian tubuh yg sama dengan pria, dan juga aktivitas2 yg berkaitan dengan seks tidak lebih dan tidak kurang dari pria.

Sebagai tambahan, bukan hanya pria yg memiliki hasrat dan kecenderungan alami akan hal-hal kebajikan, wanita juga. Wanita juga tidak kalah puasnya dengan pria akan hal2 yg bersifat mulia dan menolak segala sesuatu yg berlawanan akan hal itu. Kalau begitu, kenapa filsafat dinilai tepat untuk ditelaah dan dipelajari oleh pria agar kehidupan mereka bisa lebih baik tapi tidak dengan wanita? Filsafat ok bagi pria, kenapa juga hal yg sama tidak berlaku dengan wanita?

Mari kita menimbang dan telaah secara detail kualitas-kualitas seperti apa yg perlu wanita miliki, karena nampaknya dengan mempelajari filsafat, kualitas2 tersebut akan dapat diraih oleh wanita.

Pertama dan dari awalnya wanita harus mengurusi rumah tangganya dan harus memilah-milah apa yg memberikan benefit bagi keluarganya dan juga mengurusi pembantu-pembantu rumah tangga. Saya menyatakan filsafat sangat berguna untuk mendukung aktivitas-aktivitas tesebut, dikarenakan setiap aktivitas tersebut berkenaan dengan aspek kehiudpan, dan filsafat sendiri itu tak lain tak bukan adalah ilmu kehidupan, dan sebagai filsuf, Socrates terus menerus merenungkan “hal2 apa saja yg baik dan tidak baik yg sudah dilakukan dirumahnya”.

Wanita itu harus suci, mampu untuk menjaga dirinya bersih dari perselingkuhan, dan menjaga hatinya dalam kesenangan-kesenangan dunia, ga menyukai pertengkaran, ga berlebihan, atau terikat perhatiannya dengan penampilannya. Sifat-sifat tersebut adalah karakteristik dari wanita yg suci akhlaknya. Masih banyak kriteria-kriteria yg lain: ga pemarah, ga gampang ditaklukan oleh kesedihan, tegar dalam segala bentuk emosi yg ada. Filsuf Rasional mengemban hal-hal tersebut, dan orang yg mengerti hal itu dan mempraktekannya (baik pria maupn wanita) bagi saya terlihat jauh lebih bisa mengontrol dirinya. Begitu banyak hal2 penguasaan diri yg dibahas dalam filsafat.

Nah sekarang, bukankah wanita yg mempraktekkan ilmu filsafat itu pasangan hidup yg jauh lebih pantas dan tidak bercacat cela, pekerja keras dari segala aspek pada umumnya, lebih berdedikasi terhadap tanggung jawabnya terhadap suami dan anak, dan terbebas dari segala nafsu ambisi dan keserakahan? Siapa yg bisa memperoleh karakteristik tersebut diatas melebihi wanita yg mempraktekkan filsafat? Selama wanita tersebut seorang filsuf, tak terelakkan dia pasti berfikir bahwa melakukan segala sesuatu yg tidak benar jauh lebih buruk daripada menjadi korban akan hal2 yg tidak benar, karena jauh lebih memalukan jika dia yg melakukan hal yg salah. Dan selanjutnya untuk berfikir bahwa menjadi inferior (Red: gw kurang suka kata inferior (ga tau kenapa penulis milih kata2 ini), mungkin lebih tepatnya being submissive karena submit itu pengertiannya kearah positif dimana perempuan yg pintar dan lebih hebat sekalipun dari suaminya memilih untuk hormat dan tunduk terhadap suami dalam upaya mendukung suami memimpin rumah tangga) adalah lebih baik dibandingkan dengan menjadi ambisius, dan sebagai tambahan, mencintai anak mereka lebih dari diri sendiri. Kualitas apalagi yg hendak dicapai seorang wanita yg bisa melebihi kualitas-kualitas yg sudah dipaparkan diatas?

Jelas bahwa perempuan yg berpendidikan dan menjalankan praktek filsafat jauh lebih berani dalam menghadapi hidup dibandingkan dengan perempuan yg tidak berpendidikan atau perempuan yg hanya dibekali dengan ilmunya sendiri. Hal ini dikarenakan perempuan yg berpendidikan dan mempraktekkan filsafat tidak takut terhadap kematian atau pengertian akan penderitaan akan memaksanya bertahan akan hidup dalam aib, demikian juga mereka tidak akan takut terhadap seseorang (dalam hal ini pria) yg kaya dan berkuasa atau seseorang yg seperti yg dikatakan Zeus, mempunyai sifat tirani.

Bagi wanita yg berpendidikan dan mepraktekkan ilmu filsafat, adalah cukup bagi dirinya dengan menjalankan pola fikir yg luas dan berintelektual, menjadi orang yg terbebas dari segala bentuk kekangan dan penilaian dari pihak luar dan bertekun terhadap kewajibannya sebagai istri, karena dia telah menyusui anaknya dengan payudaranya sendiri dan membantu suaminya tanpa ragu dengan kedua tangannya sendiri dimana bagi beberapa orang pekerjaan tersebut seperti pekerjaan seorang budak. Bukankah wanita demikian penolong yg luar biasa bagi suami, kebanggaan bagi keluarga dan teladan bagi yg mengenalnya?[/b]

Tetapi beberapa orang berpendapat wanita yg berasosiasi dengan para filsuf tak pelak biasanya pembangkang dan bicaranya sangat blak2an, jika mereka meninggalkan tanggung jawab rumah tangga dan mengikuti praktek pria untuk memberikan pidato, berdiskusi dan menyerang dasar2 pikiran tertentu, dimana wanita seharusnya duduk di rumah sambil memintal kain wool
Tetapi saya pribadi tidak akan menganjurkan baik pria maupun wanita yg mempraktekkan ilmu filsafat untuk meninggalkan tanggung jawab mereka hanya untuk berdiskusi, tapi mereka harus menempatkan tanggung jawab mereka diatas diskusi. Sama seperti tidak perlu untuk berdiskusi mengenai hal2 pengobatan kecuali itu berhubungan dengan kesehatan manusia, demikian juga tidak perlu bagi seorang filsuf untuk berdebat maupun berdiskusi kecuali hal itu berguna bagi hajat hidup manusia. Diatas semuanya kita harus menelaah doktrin yg harus diikuti oleh seorang filsuf wanita, untuk memutuskan apakah ajaran yg mengajarkan pengendalian diri malahan membuat mereka menjadi blak2an, apakah ajaran yg mengajarkan bertingkah laku baik tersebut sebaliknya membuat membuat mereka hidup lebih semrawut, apakah ajaran yg seharusnya mengungkapkan dampak negative dari pemuasan nafsu terhadap diri sendiri tidak mengajarkan tentang pengendalian diri. Studi terhadap filsafat memberikan dorongan kepada wanita untuk bersukacita dan tidak bergantung terhadap orang lain melainkan bekerja dengan keringat mereka sendiri.

Dari Sisi Pendidikan

Ketika beliau ditanya apakah anak laki-laki dan perempuan seharusnya diberi porsi pendidikan yg sama, beliau memberikan contoh dalam kasus bagaimana pelatih kuda dan anjing, mereka memberikan pelatihan yg sama baik terhadap pejantan maupun betina.

Anjing betina diajarkan untuk berburu layaknya anjing jantan, dan jika engkau mempunya ekspektasi kuda betina untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yg dilakukan oleh kuda pejantan sama efektifnya, engkau harus melihat dari sisi dimana mereka juga harus mempunyai tingkat pendidikan yg setara dengan kuda pejantan. Dalam kasus manusia, pandangan pada umumnya bahwa pria harus mendapatkan pendidikan yg memang diperuntukan untuk pria dimana seakan-akan nilai-nilai kebajikan antara pria dan wanita itu berbeda, atau mereka bisa mendapatkan nilai-nilai kebajikan yg sama tapi melalui pendidikan yg berbeda.

Tapi mudah untuk dimengerti bahwasanya tidak ada perbedaan nilai kebajikan yg dianut oleh pria maupun wanita. Yg pertama baik pria maupun wanita butuh untuk bisa berfikir secara logis, apa yg bisa kita butuhkan dari seorang pria atau wanita yg ****? Yg kedua, baik pria maupun wanita butuh untuk hidup dalam tingkat taraf hidup yg adil. Pria yg tidak adil tidak bisa jadi warganegara yg baik, dan wanita juga tidak mengurusi rumah tangganya dengan benar jika ia tidak menjalankan rumah tangganya secara adil dikarenakan wanita tersebut tidak adil maka ia juga akan berbuat hal yg tidak baik kepada suaminya, persis seperti yg dikatakan oleh orang-orang tentang perlakuan Eriphyle kepada suaminya. Yg ketiga, wanita itu harus suci dan tidak bernoda, demikian juga pria, dimana Undang-undang Negara akan memberikan hukuman bagi pasangan yg terlibat perzinahan. Terlalu memuaskan nafsu diri sendiri terhadap makanan, minuman atau hal-hal lain yg serupa, hal-hal yg berlebihan yg akan mempermalukan orang2 yg terikat akan hal tersebut, membuktikan bahwa sikap hidup sederhana dan tidak berlebihan itu penting bagi manusia baik pria maupun wanita, karena hanya melalui sikap hidup sederhana kita dapat menghindari hidup yg berlebihan.

Mungkin pembaca akan berargumen bahwa sikap berani/keberanian hanya diperuntukkan untuk pria, tetapi hal itu tidaklah benar. Wanita yg baik juga harus perkasa dan membersihkan dirinya dari sikap pengecut, sehingga ia tidak akan dikalahkan oleh penderitaan atau oleh ketakutan apapun. Jikalau ia tidak tegar, bagaimana ia akan menjadi seseorang yg suci dan tak bernoda, jika seseorang memaksanya untuk menahan aib dengan memberikan ancaman atau menyiksa dirinya? Wanita harus bersikap pemberani, jika wanita tidak lebih rendah dari ayam betina atau burung2 betina yg lain yang menghadapi binatang2 lain yg jauh lebih besar dari dirinya dalam upaya melindungi anak2nya didalam sarangnya (seperti yg dikatakan oleh dewa Zeus). Bagaimana mungkin perempuan tidak membutuhkan keberanian? Mereka mampu untuk mengangkat senjata seperti yg kita ketahui ras Amazon (suku yg ras wanitanya jauh lebih banyak dan dominan dari pria, pria hanya berfungsi untuk melahirkan keturunan perempuan bagi mereka) berperang di medan perang menghadapi banyak bangsa. Jika wanita2 yg lain kurang dalam hal ini, penyebabnya adalah jarang berlatih untuk menjadi berani, bukan dikarenakan karena sifat natural wanita yg menjadikanya demikian.

Mungkin ada juga yg berkata, “Apakah kamu berpendapat pria seharusnya juga belajar memintal kain dan wanita juga seharusnya terlibat dalam olahraga (gymnastic atau olahraga yg bertujuan untuk memaksimalkan kekuatan dan keperkasaan fisik)” saya akan berkata hal tersebut bukanlah yg saya maksudkan. Saya berkata untuk manusia, umumnya pria itu jauh lebih besar dan kuat secara fisik, dan perempuan secara fisik jauh lebih lemah, maka kita perlu memberikan tugas yg sesuai kepada mereka, dimana tugas yg jauh lebih berat diberikan kepada orang yg jauh lebih kuat, demikian juga dengan tugas yg ringan diberikan kepada orang yg lebih lemah. Oleh sebab itulah, memintal kain dan mengurus rumah tangga jauh lebih tepat diperuntukkan untuk wanita.

Gymnastic lebih cocok bagi pria dibandingkan dengan wanita, demikian juga pekerjaan2 lapangan. Namun bagi beberapa pria lebih tepat untuk mengambil bagian dalam pekerjaan2 yg lebih ringan(termasuk pekerjaan yg diperuntukkan untuk wanita) dikarenakan kondisi fisik mereka tidak memungkinkan mereka mengambil bagian dalam pekerjaan yg berat. Karena semua pekerjaan-pekerjaan manusia adalah menjadi tanggung jawab bagi pria maupun wanita, dan tidak sesuatu yg benar-benar diperuntukkan hanya untuk jenis kelamin tertentu. Beberapa pekerjaan umumnya lebih cocok bagi pria (maupun sebaliknya). Itu sebabnya beberapa pekerjaan tertentu dikategorikan pekerjaan pria atau sebaliknya. Jika disinggung akan nilai kebajikannya, engkau tentunya akan dibenarkan jika berkata bahwa pekerjaan apapun bisa dikerjakan baik pria maupun wanita, jika kita berpendapat baik pria maupun wanita memiliki nilai kebajikan yg sama.

Masuk akal jika kemudian saya berpendapat bahwa dalam kaitannya akan hal2 kebajikan wanita harus diberikan tingkat pendidikan yg sama dengan pria, dan mereka harus diajarkan hal tersebut sejak dari kecil, apa yg baik, apa yg jahat, bahwa pria dan wanita mempunyai derajat yg sama, apa2 saja yg bermanfaat dan tidak, hal2 apa saja yg perlu dan tidak perlu mereka lakukan. Dari hal2 diatas (yg diajarkan baik kepada anak laki-laki maupun perempuan) , kemampuan berfikir secara logis akan terbentuk baik untuk anak laki-laki maupun perempuan, dan tidak ada perbedaan diantara keduanya. Mereka harus diajarkan untuk menghindari hal2 yg sifatnya kurang atau tidak bermoral. Jika kualitas2 diatas terbentuk, maka tak pelak baik pria maupun wanita akan menjadi manusia yang mampu berfikir secara sehat, terpelajar, mampu bertahan menghadapi kesusahan hidup, terbiasa dan terbentuk menjadi pribadi yg tidak takut akan kematian, tidak bisa direndahkan oleh masalah2 besar atas hidupnya, hal2 inilah yg membuat seseorang menjadi perkasa.

Jika pria mempunyai kemampuan akan hal2 tertentu dan perempuan tidak (atau sebaliknya), hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan dalam tingkat pendidikan mereka, yg ada hanya seorang yg mengetahui lebih dibandingkan dengan yang lain, tapi biarkanlah mereka tetap mendapatkan porsi pendidikan yg sama. Jika seseorang bertanya kepadaku pengajaran yg mana yg membutuhkan filsafat, saya akan menjawabnya bahwa jika tidak ada filsafat, tidak ada pria maupun wanita yg dapat menjadi orang terpelajar. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa wanita perlu diberi kejelasan, atau fasilitas dalam menyampaikan argument, karena mereka akan mengunakan filsafat seperti yg biasa mereka lakukan. Tetapi saya tidak menyarankan bahwa kemampuan tersebut hanya diperuntukkan bagi pria. Maksud saya adalah wanita seharusnya berakhlak baik dan mulia dari segi karakter, dan filsafat tak lain tak bukan untuk melatih/menjadikan wanita untuk berakhlak demikian.[/b]


Dari sisi Perkawinan

Beliau berkata bahwa suami istri bersatu untuk membangun keluarga sebagaimana keluarga pada umumya, menghasilkan keturunan, dan mereka seharusnya menganggap semua property atau harta bahkan tubuh mereka sendiri bukan milik mereka sendiri melainkan milik keluarga. Kelahiran manusia dari persatuan suami istri tersebut adalah kejadian yg penting dan signifikan, namun kejadian tersebut bisa juga adalah kejadian biasa yg lewat begitu saja tanpa adanya ikatan suami istri dalam pernikahan, seperti kasus pada binatang. Oleh karena itu tidak cukup bagi suami istri hanya sekedar menghasilkan keturunan, namun penting bagi keduanya untuk saling menemani, saling berbagi dan saling peduli satu sama lain, baik dalam keadaan susah maupun seneng, karena alasan mereka menikah adalah hal-hal yg sudah diuraikan diatas selain menghasilkan keturunan. Ketika hal2 tersebut dapat dilakukan oleh suami istri secara sempurna, dan pasangan saling memenuhi kebutuhan satu sama lain, masing2 berusaha berjuang keras untuk menjadi lebih baik, maka dapat dikatakan pernikahan ini adalah pernikahan yg sepadan dikarenakan persatuan keduanya adalah ikatan yg mulia. Namun ketika pasangan yg satu lebih mementingkan kepentingannya sendiri dan mengabaikan kepentingan pasangannya, atau seperti juga yg dikatakan Zeus jika seseorang begitu terpecah belah pikirannya dimana dia hidup satu atap dengan pasangannya, namun pikirannya melayang ke hal yg lain, tidak bersedia untuk berkumpul dengan pasangannya untuk saling bertukar pikiran atau bekerja sama, maka tak pelak persatuan keduanya akan hancur, yg walaupun mereka hidup bersama tapi masing2 mempunyai kepentingan yg dianggapnya jauh lebih penting dibandingkan dengan kepentingan pasangannya dan pada akhirnya pilihannya adalah hanya bercerai atau tetap memaksakan diri untuk hidup bersama yg dampaknya jauh lebih buruk dibandingkan jika mereka masih sendiri/membujang.

------------------------------------------
Notes:
1. Lutz 1947, 3-147.Cf. de Ste. Croix 1981, 110.
2. Od. 4. 392.
3. Cf. no. 206.
4. A Socratic notion; cf. Plato,
Post Reply