Desa Muslim (SATU CAMBUKNYA BERAPA?)
Posted: Mon Aug 14, 2006 8:23 am
DESA MUSLIM
Sebanyak 12 desa di Kabupaten Bulukumba, Makasar, dipilih menjadi proyek percontohan Desa Muslim. Desa ini akan menjadi tolok ukur keberhasilan Kabupaten Bulukumba sebagai salah satu pelopor lahirnya perda – perda sejenis yang kini ditiru banyak wilayah lain.
Desa ini menjadi wilayah khusus implementasi penuh perda syariah yang sudah diputuskan pemberlakuannya di Kabupaten Bulukumba. Perda – perda itu adalah (1) Perda no 3 Thn 2002 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban, dan Penjualan Minuman Beralkohol; (2) Perda No 2 Th 2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq, dan Shadaqah; (3) Perda No 6 Th 2003 tentang Pandai Baca Alquran; (4) Perda No 5 Th 2003 tentang berpakaian Muslim dan Muslimah.
Lalu, berlomba – lomba para pejabat desa di Bulukumba mempromosikan desanya agar ditunjuk sebagai salah satu desa muslim. Karena menjadi desa muslim membuat citra kepala desa “membaik” di mata warganya. Karena menjadi desa muslim berarti menjadi lebih Islam daripada desa lain. Karena menjadi desa muslim berarti memperoleh tambahan anggaran dari kabupaten.
Lalu, berlomba – lombalah para pejabat desa percontohan itu menjadi “lebih Islam” daripada desa lain. Berlomba – lombalah mereka merumuskan standar keberislaman warganya. Islami adalah standar keberhasilan membangun desa.
Bagi, mereka mungkin para Kiai yang sudah berdakwah puluhan tahun sudah gagal, karena toh umatnya tak kunjung taat. Amar makruf nahi munkar yang selama ini diamanatkan kepada para kiai tidak membawa hasil yang signifikan.
Karena itu, mereka merasa berkewajiban mengambil alih tanggung jawab itu. Para ulama mungkin juga merasa sudah saatnya berharap pada kekuasaan karena sudah tak lagi mampu membendung kecenderungan amoral umatnya.
Maka, kita akan menemukan di depan kantor balai desa dan kantor resmi pemerintahan tulisan seperti ini : “Maaf....!Tamu Wanita yang Tidak Berjilbab Tidak Akan Dilayani”. Maka kita akan temukan nama – nama jalan dan nama kantor bertuliskan huruf Arab pegon (bagi yang menuduh fenomena ini sebagai gejala arabisasi, mereka akan kecele, karena yang terjadi adalah pribumisasi Arab, yaitu penulisan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu dengan huruf Arab).
Maka kita akan menemukan sepasang kekasih yang terpaksa menunda pernikahan karena menunggu lulus kursus baca Alquran. Juga sepasang kekasih yang “kawin lari”, alias menyelenggarakan pernikahannya di kampung atau kabupaten lain.
Maka kita tidak akan menemukan pengajian ala kampung seperti masa kecil kita dulu, yang cukup membawa beras atau air minum untuk guru ngaji, karena mengaji butuh uang pangkal, butuh sertifikat, butuh ujian, butuh infrastruktur (beberapa kawan menyebut ini sebagai gejala despriritualisme atau kapitalisi spritualitas).
Maka kita akan menemukan bidan Evi yang nonmuslim terpaksa membeli jilbab dulu sebelum menuruti panggilan pengobatan mendadak dari desa muslim.
Lalu muncullah Perdes No 05 Th 2006 tentang Hukum Cambuk di Desa Muslim Padang. Peminum minuman beralkohol diancam hukuman cambuk 40 kali. Para pezina akan dihukum cambuk 100 kali. Menuduh orang lain berzina tanpa 4 saksi akan dicambuk 80 kali. Pelaku judi akan dicambuk 40 kali. Pelaku penganiyaan akan dicambuk 20 kali.
Lalu, jika suatu saat nanti moralitas aparat penegak syariat Islam ternyata sama saja dengan moralitas aparat yang ada saat ini, muncullah kasus sertifikat baca Alquran palsu, terjadilah jual beli lisensi penebusan dosa, terjadilah transaksi suap yang dilakukan antara pendosa dan aparat penindak pendosa.
Lalu muncullah tren baru : “Satu cambuk berapa?”
(sumber dari Jawa Pos; Jumat 11 Agustus 2006; hal 10)
Bagaimana tanggapan saudara - saudara sekalian tentang hal diatas?
Sebanyak 12 desa di Kabupaten Bulukumba, Makasar, dipilih menjadi proyek percontohan Desa Muslim. Desa ini akan menjadi tolok ukur keberhasilan Kabupaten Bulukumba sebagai salah satu pelopor lahirnya perda – perda sejenis yang kini ditiru banyak wilayah lain.
Desa ini menjadi wilayah khusus implementasi penuh perda syariah yang sudah diputuskan pemberlakuannya di Kabupaten Bulukumba. Perda – perda itu adalah (1) Perda no 3 Thn 2002 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban, dan Penjualan Minuman Beralkohol; (2) Perda No 2 Th 2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq, dan Shadaqah; (3) Perda No 6 Th 2003 tentang Pandai Baca Alquran; (4) Perda No 5 Th 2003 tentang berpakaian Muslim dan Muslimah.
Lalu, berlomba – lomba para pejabat desa di Bulukumba mempromosikan desanya agar ditunjuk sebagai salah satu desa muslim. Karena menjadi desa muslim membuat citra kepala desa “membaik” di mata warganya. Karena menjadi desa muslim berarti menjadi lebih Islam daripada desa lain. Karena menjadi desa muslim berarti memperoleh tambahan anggaran dari kabupaten.
Lalu, berlomba – lombalah para pejabat desa percontohan itu menjadi “lebih Islam” daripada desa lain. Berlomba – lombalah mereka merumuskan standar keberislaman warganya. Islami adalah standar keberhasilan membangun desa.
Bagi, mereka mungkin para Kiai yang sudah berdakwah puluhan tahun sudah gagal, karena toh umatnya tak kunjung taat. Amar makruf nahi munkar yang selama ini diamanatkan kepada para kiai tidak membawa hasil yang signifikan.
Karena itu, mereka merasa berkewajiban mengambil alih tanggung jawab itu. Para ulama mungkin juga merasa sudah saatnya berharap pada kekuasaan karena sudah tak lagi mampu membendung kecenderungan amoral umatnya.
Maka, kita akan menemukan di depan kantor balai desa dan kantor resmi pemerintahan tulisan seperti ini : “Maaf....!Tamu Wanita yang Tidak Berjilbab Tidak Akan Dilayani”. Maka kita akan temukan nama – nama jalan dan nama kantor bertuliskan huruf Arab pegon (bagi yang menuduh fenomena ini sebagai gejala arabisasi, mereka akan kecele, karena yang terjadi adalah pribumisasi Arab, yaitu penulisan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu dengan huruf Arab).
Maka kita akan menemukan sepasang kekasih yang terpaksa menunda pernikahan karena menunggu lulus kursus baca Alquran. Juga sepasang kekasih yang “kawin lari”, alias menyelenggarakan pernikahannya di kampung atau kabupaten lain.
Maka kita tidak akan menemukan pengajian ala kampung seperti masa kecil kita dulu, yang cukup membawa beras atau air minum untuk guru ngaji, karena mengaji butuh uang pangkal, butuh sertifikat, butuh ujian, butuh infrastruktur (beberapa kawan menyebut ini sebagai gejala despriritualisme atau kapitalisi spritualitas).
Maka kita akan menemukan bidan Evi yang nonmuslim terpaksa membeli jilbab dulu sebelum menuruti panggilan pengobatan mendadak dari desa muslim.
Lalu muncullah Perdes No 05 Th 2006 tentang Hukum Cambuk di Desa Muslim Padang. Peminum minuman beralkohol diancam hukuman cambuk 40 kali. Para pezina akan dihukum cambuk 100 kali. Menuduh orang lain berzina tanpa 4 saksi akan dicambuk 80 kali. Pelaku judi akan dicambuk 40 kali. Pelaku penganiyaan akan dicambuk 20 kali.
Lalu, jika suatu saat nanti moralitas aparat penegak syariat Islam ternyata sama saja dengan moralitas aparat yang ada saat ini, muncullah kasus sertifikat baca Alquran palsu, terjadilah jual beli lisensi penebusan dosa, terjadilah transaksi suap yang dilakukan antara pendosa dan aparat penindak pendosa.
Lalu muncullah tren baru : “Satu cambuk berapa?”
(sumber dari Jawa Pos; Jumat 11 Agustus 2006; hal 10)
Bagaimana tanggapan saudara - saudara sekalian tentang hal diatas?