Siapa Panji Gumilag atau Abu Toto ?
Saya mendapat dua versi
Versi I alias versi baik baik
- Nama: Syaykh Abdussalam Panji Gumilang
Lahir: Gresik, 30 Juli 1946
Agama: Islam
Istri: Khotimah Rahayu
Anak:
-Imam Prawoto,
-Ahmad Prawiro Utomo, sekarang bernama Ahmad Is’yaim,
-Ikhwan Triatmo, sering dipanggil Abdul Hamid,
-Khoirun Nisa (perempuan),
-Muhammad Hakim Prasojo,
-Sofyah Alwida (perempuan),
-Karim Abdul Zabbar (wafat menghadap ke Rahmatullah)
Ayah:Panji Gumilang (alias Syamsul Alam, alias Mukarim, alias Imam Rasydi)
Ibu:
Pengalaman Pendidikan:
-IAIN Ciputat
-Pondok Pesantren Gontor
-Sekolah Rakyat di Gresik
-Sekolah Arab (Madrasah) di Gresik
Pengalaman Pekerjaan:
-Syaykh Ma’had Al-Zaytun, Indramayu
-Mendidik di Madrasah Darussalam Ciputat
Pelopor Pendidikan Terpadu
Syaykh Abdussalam Panji Gumilang adalah personifikasi Ma’had Al-Zaytun. Pendiri dan pemimpin pondok pesantren modern (kampus) ‘Pusat Pendidikan dan Pengembangan Budaya Toleransi serta Pengembangan Budaya Perdamaian’ ini sungguh seorang pelopor pendidikan terpadu (kampus peradaban).
Alumni Ponpes Gontor dan
IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat ini seorang guru yang mengandalkan
manajemen ‘kekitaan’ bukan ‘keakuan’.
Menurut pria kelahiran Gresik 30 Juli 1946 ini, pendidikan itu harus diciptakan sebagai gula dan ekonomi sebagai semutnya.
Jangan malah ekonomi yang diciptakan sebagai gula dan rakyat (pendidikan) jadi semutnya. Bila pendidikan sebagai gula dan ekonomi sebagai semut, maka semut (ekonomi) akan mendatangi orang yang terdidik. Karena semut adalah makhluk yang mengerti kualitas dirinya terhadap gula, sehingga semut tidak akan terkena sakit gula.
Suatu cita-cita mulia dari Syaykh A.S Panji Gumilang, sejak kecil, adalah menjadi guru dan mendirikan sebuah lembaga pendidikan. Dengan maksud agar peradaban umat manusia tidak putus, maka dengan berbagai kemampuan yang ada padanya, ia berusaha menyambungnya. Itulah cita-citanya mendirikan pesantren ini, di samping untuk merangkum kehendak bangsa Indonesia sendiri, menjadi bangsa yang diperhitungkan di antara bangsa-bangsa lain.
Pria yang sejak kecil bercita-cita jadi guru, dan yang hingga kini masih tetap seorang guru, ini berpendapat bahwa peradaban tersebut harus disambung dengan manajemen ‘kekitaan’ bukan ‘keakuan’. Sebab menurutnya, keakuan umurnya sangat pendek, hanya terbatas. Tapi kalau kekitaan berumur lama dan tidak pernah putus. “Kekitaan itu mempunyai satu kekuatan yang tidak pernah dapat diruntuhkan oleh siapa pun kecuali oleh yang membuat kita itu sendiri,” katanya lebih jelas. Kekitaan itu pulalah yang dipakainya dalam membangun dan mengelola Ma’had Al-Zaytun ini.
Sedikit berkisah mengenai awal mula adanya ide atau cita-cita pendirian lembaga pendidikan ini. Dia mengata-kan bahwa sebagaimana orang pada umumnya selalu punya cita-cita untuk berlaku, berbuat dalam kebaikan, demikian juga halnya dengan dirinya.
Dimotivasi sosok ayahnya yang mempengaruhi menguatnya cita-cita menjadi guru dan mendirikan lembaga pendidikan terpadu.
Ayahnya, seorang pemimpin, seorang Kepala Desa. Walaupun hanya sebagai kepala desa, namun ayahnya ini ditakdirkan oleh Ilahi menjadi orang yang suka mendidik lingkungan, sampai-sampai mendirikan sebuah sekolah yang dinamai orang ketika itu ‘Sekolah Arab’ karena setiap hari mengajarkan baca Al-Qur’an, dan menulis Arab.
Di samping itu, Sang Ayah juga seorang pejuang. Sebagai seorang pejuang,
Sang Ayah sengaja mempunyai banyak nama, sekali waktu dipanggil Panji Gumilang, Syamsul Alam, Mukarib, atau Imam Rasyidi. Melihat Sang Ayah yang demikian, tumbuh perasaan bangga dan senang pada diri Panji Gumilang kecil. Bangga melihat orang tuanya yang kepala desa, yang konon setiap hari harus lapor kepada Belanda, tapi sekaligus juga pejuang dan mendirikan sekolah.
Dalam kebanggaan Panji Gumilang kecil itu, timbul juga rasa penasaran melihat sikap ayahnya. “Pihak mana dipilih oleh orang tua ini?” begitu pertanyaan dalam hatinya saat itu. Maka ia akhirnya bertanya, “Ayah! Kenapa harus laporan ke Ndoro Asisten Wedana?”.
“Karena dia yang menjadi pimpinan di kecamatan ini,” jawab Sang Ayah.
“Mengapa ayah ini kok ikut berjuang?”
“Karena kita akan merdeka”.
“Mengapa Ayah membuat sekolah?”
“Karena kamu dan kawan-kawanmu harus pintar nanti”. Begitu kira-kira jawaban Sang Ayah saat itu, yang semakin membanggakan hatinya.
Akhirnya kalau petang, Panji Gumilang kecil masuk dalam sekolah yang didirikan orang tuanya itu. Sedangkan pagi masuk ke Sekolah Rakyat (SR), Sekolah Dasar sekarang. Sejak dari sanalah tumbuh cita-citanya ingin jadi guru. Bahkan walaupun orang tuanya menginginkannya jadi kepala desa, ia tetap bersikeras menjadi guru.
Awal keinginannya menjadi guru, terpantik ketika dirinya masih kecil yakni antara tahun 1952 atau 1953, saat ada program pemberantasan buta huruf (PBB). Ketika itu ia masih kelas satu SR. Begitu pulang sekolah ia ditanya orang tuanya, “Kamu diajar apa tadi?” Kemudian ia jawab, “Ini pak, diajari baca po,lo,wo, go, ro, no, go, sos, ro, to, mo, ho,…”. Masa itu yang diajarkan bukan a,b,c,d, tapi po, lo, wo, dan seterusnya. Orang tuanya pun tanya lagi, “Kamu sudah bisa nulis?” Dijawabnya, “Bisa pak”. Lalu ayahnya menganjurkan: “Nanti malam, kamu mengajar ya…!”
Ia pun lantas mengajar pemberantasan buta huruf orang-orang yang sudah sepuh. Ia merasa bangga dan senang. Pagi-pagi ditanya Pak Guru, disuruh menulis, ia bisa. Malam harinya, ia mengajar beberapa orang buta huruf, sekaligus mengulang pelajaran yang diterima di sekolah pada pagi harinya. Mengajar orang-orang sepuh itu, membangkitkan perasaan sangat senang.
Saat itu suasana belajar dan mengajar itu membuatnya sangat senang. Maka kalau ia dapat nilai 10 atau 9, ia langsung menempelkannya di pipi, lalu lapor pada orang tuanya, “Pak, ini 9!” katanya mengenang.
Sejak itu, rasa senangnya jadi guru pun tumbuh. Orang-orang sepuh itupun menjadi melek huruf. Hal ini menanamkan rasa bangga tersendiri baginya.
Bersamaan setelah tamat SR, sekolah yang tadinya dibina oleh orang tuanya, akhirnya diambilalih sebuah yayasan. Orang tuanya sudah tidak mengurus lagi. Pengambilalihan Madrasah ini berkesan bagi diri dan keluarganya. Bersamaan dengan itu, ia pun kemudian meninggalkan Gresik, kampung kelahirannya itu. Tidak mau tinggal di sana lagi. Tekadnya, ia harus belajar jauh entah ke mana. “Biar bagaimanapun saya harus belajar jauh. Jauh dari kampung,” itulah yang selalu ada di benaknya.
Tepatnya pada tahun 1961 ia pun melanjutkan sekolahnya ke Ponpes Gontor. Di sana, di samping belajar, ia juga sudah sangat tertarik mengamati cara mendidik dari berbagai guru. Sehingga ketika suatu kali ia mendapat didikan yang keras dari seorang guru yakni pernah ditempeleng, juga pernah dicukur rambutnya, kenangan itu masih diingatnya sampai sekarang. Bukan karena dendam, tapi karena ia tidak setuju dengan cara mendidik seperti itu.
Pengalaman itu akhirnya begitu cepat menanamkan hal positif dalam hatinya. “Kalau saya punya tempat pendidikan, saya akan memberi kebebasan, tidak akan aku cukur rambutnya, tidak akan aku hukum dalam bentuk kekerasan fisik, aku hanya akan beri isyarat agar dimengerti,” begitulah kata hatinya ketika itu yang akhirnya dibuktikannya kemudian sepanjang karirnya sebagai guru, terutama di Ma’had Al-Zaytun.
Mengenang masa sekolah di Gontor, ia mengatakan bahwa walaupun dulu tempat itu terasa sangat jauh sekali, namun ia sangat mengagumi sekolahnya tersebut. Gresik dan Gontor yang berjarak 210 km itu terasa tambah jauh karena bus waktu itu masih bus kayu yang setiap 10 km harus diengkol lagi. Sehingga jika naik bus, subuh berangkat, magrib baru tiba.
Sekolah di Gontor sangat membanggakannya. Selama enam tahun sekolah di sana, ia banyak memetik hikmah, pelajaran dan ilmu yang kemudian sebagian ditularkannya dalam mendidik santri di Ma’had Al-Zaytun ini. Bahkan karena kebanggannya dengan Pesantren Gontor tersebut, anaknya yang pertama sampai yang keempat di sekolahkannya di sana.
Selesai dari Gontor, pada tahun 1966 ia datang ke Jakarta bertepatan setelah peristiwa Gerakan 30 September, sehingga suasananya masih belum tenang. Karena itu, orang tuanya awalnya tidak terlalu mengijinkan, karena konon kata orangtuanya, Jakarta adalah tempat kekerasan. “Semua bisa terjadi di Jakarta, kamu belum punya kawan di sana, karena kami tidak punya kawan di sana,” begitu ucapan orang tuanya. “Saya ingin membuat kawan bertambah di sana, doakan saja,” jawabnya meyakinkan orang tuanya.
Di Jakarta, ia kemudian masuk ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Ciputat, di mana saat itu masih belum seperti sekarang ini. Jalan ke Pasar Jumat sampai ke Ciputat itu masih tanah merah. Kendaraan dari Kebayoran Lama ke Ciputat juga hanya ada sampai pukul empat sore.
Mendidik sudah merupakan bagian dari hidup pria ini. Dalam membangun kehidupan manusia, baginya pendidikanlah yang terutama dan harus diutamakan. Maka hampir tidak ada waktunya yang terlewat selain dari mendidik dan mendidik. Sampai hari ini dia mendidik. Ketika kuliah di IAIN, ia membuat sekolah di Rempoa. Waktu itu dinamakan Darussalam. Ia mengajar di Madrasah serta di sekolah lain yang berdekatan dengan Madrasah itu. Malamnya mengajar, paginya sekolah. “Hingga hari ini saya adalah seorang guru,” katanya bangga.
Selama di IAIN, ia mulai sering berkumpul dengan kawan-kawannya, dan
mulai merencanakan mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bisa mewakili kemajuan Indonesia. Keinginan-keinginan itu semakin kuat tapi tak pernah kunjung terwujud. Namun walaupun begitu, dia terus bergerak dan berkarya.
Dalam upayanya itu ia pernah membuat gambar dan lain sebagainya, kemudian didagangkannya pada kawan-kawannya. Namun kawan-kawannya tidak begitu percaya, bahkan menganggap idenya itu suatu ide yang tidak masuk akal. “Ah…kamu ini gila, bagaimana kita bisa membuat seperti ini,” begitulah kadang sambutan kawannya ketika itu.
Namun ia tetap yakin, “Oh…bisa kalau kita buat, kalau nggak kita buat, memang nggak bisa,” katanya menjawab temannya. “Kapan?” tanya kawannya itu lagi. “Jangan tanya kapan, tapi mau apa tidak?” jawabnya lagi pada kawannya. Ternyata kesabaran dan upayanya meyakinkan kawan-kawannya itu ber-hasil juga. Akhirnya, mereka banyak yang mau.
Kemudian ia mulai mencari lokasi ke seluruh Indonesia, sampai ke Lampung, Kalimantan. Walaupun menemukan tempat yang luas tapi susah untuk dibangun. Maka ketika ia menemukan lokasi di Mekar Jaya, menurutnya sama seperti menerka kelahiran sendiri, tidak tahu akan lahir kapan dan di mana.
Pembelian tanah yang menjadi lokasi Ma’had Al-Zaytun ini hanya diawali dengan berbincang-bincang di ujung kampung Mekar Jaya itu. Seseorang bertanya, mau beli tanah? Ia jawab jalan-jalan saja. Walaupun sudah berusaha untuk tidak memberitahu bahwa ia sedang cari tanah, namun karena orang itu mengetahui ada tanah mau dijual, akhir-nya seolah membujuknya. Ia pun merespon dan bersedia meninjau dan akhirnya cocok.
Awalnya tanah yang dibeli hanya 65 ha. Namun dengan bantuan kawan-kawannya, kemudian bisa terbeli seluas 1.200 ha( Duren: HEHEHE ). “Untuk memulai segala sesuatu itu harus dari kita, apa yang ada pada kita, kita dagangkan, kita dirikan tempat ini bersama-sama. Untuk 65 ha lahan pada tahun 1996 itu, kita membelinya bersama sekitar 30 orang kawan-kawan,” katanya menjelaskan.
Menurutnya, lokasi Al-Zaytun sekarang pun bukan suatu yang direncanakan. Sebelumnya mereka merencanakan tempat yang agak lebih dekat dengan Jakarta. Mereka sudah mendapatkan tempat yakni yang sekarang ditempati oleh pabrik Texmaco di Subang, Purwakarta. Ketika itu sudah setuju, hargapun sudah setuju, namun suatu yang tidak dipahami terjadi, akhirnya tidak jadi membeli tempat itu.
Begitu panjang perjalanan untuk memulai citi-citanya itu namun itu semua tidak dianggapnya begitu susah. Kalau hari ini orang belum mau, tidak usah dikatakan susah, begitu prinsipnya. “Hanya bikin orang percaya, yang tentunya kadang ada yang sehari sudah percaya, ada yang setahun, ada yang sebulan. Tapi yang jelas, kita tidak akan pernah berhenti mengajak untuk kebaikan,” katanya.
= Semangat Pesantren & Keluarga
Ma’had Al-Zaytun yang dimulai pada tarikh 13 Agustus 1996 yang merupakan usaha unggulan Yayasan Pesantren Indonesia.
Lembaga pendidikan yang diresmikan oleh Presiden Habibie 27 Agustus 1999 ini dalam pendidikannya mempunyai landasan semangat pesantren yaitu kemandirian atau enterpreneurship namun dipadukan sistem modern. Pesantren spirit but modern system.
Prinsip dan spiritnya adalah mendidik dan membangun secara mandiri semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Sementara, nilai-nilai modern dimaksud adalah yang berazas kepada ciri-ciri modern itu yakni:
pertama, bergerak berdasar ilmu;
kedua, program oriented;
ketiga, kenal prosedur;
keempat, mempunyai organisasi yang tegas/kuat;
kelima, mempunyai etos kerja yang tinggi dan mempunyai disiplin yang ketat dan tegas.
Tujuannya membuat pendidikan seperti ini, tidak lain ingin mencerdaskan bangsa, supaya bangsa ini dan semua warganya menjadi cerdas, menjadi bangsa yang bajik dan bijak. Bajik dan bijak dalam arti bangsa yang suka terhadap kebenaran, juga bangsa yang mampu menghormati orang lain, bangsa yang sanggup secara mendalam menghormati apa yang dinamakan kemanusiaan.
Pendidikan ini juga diharapkan bisa menghasilkan putra-putri bangsa yang sanggup menguasai ‘science & technology’ dengan segala perkembangannya. Dan yang paling inti yakni sebagai warga bangsa, putra-putri bangsa itu mampu hidup di dalam negara ini dengan penuh tanggung jawab dan mampu menciptakan kestabilan dan keselamatan negara. Dan terakhir, sanggup hidup dalam tatanan antar bangsa yang hidup dalam peradaban yang sempurna. “Nah, itu cita-citanya. Jadi tidak terlalu jauh. Kalau dalam
bahasa Al-Qur’an-nya disebut dengan basthotan fil ‘ilmi wal jismi,” katanya.
( Duren : KATANYA )
.....................
Mengenai biaya,
mereka sebelumnya memperbolehkan membayarnya pakai lembu. Cuma karena saat itu situasi rupiah goyang terhadap dollar, mereka menghargakan dengan menggunakan dollar. Ketika itu, pertama dihargakan US$ 1.500 untuk enam tahun dengan perhitungan US$ 1 sebesar Rp 4.500, padahal ketika itu sudah Rp 9.000-10.000, setelah dipotong sesuai kurs maka jumlahnya pun US$ 1.500.
Banyak orang yang bertanya, “Apa cukup biaya ini? Bagaimana mengelola uang sebanyak itu untuk seorang santri selama 6 tahun?” Namun untuk menjawab pertanyaan itu ia mengatakan, “Kalau dianggap cukup atau tidak, jumlah itu tidak cukup sebab ini memang cuma mampu untuk menghidupi satu tahun, tapi kita bertekad, yayasan ini mau memberikan subsidi untuk anak bangsa ini,” katanya.
Namun sebagai pesantren, ia pun memberikan persyaratan-persyaratan di antaranya, yang diperbolehkan masuk menjadi santri
hanya anak-anak yang sudah berumur 12 tahun, tamat sekolah dasar, sudah boleh dan mampu membaca Al-Qur’an. Dengan demikian nantinya agak sedikit ringan dalam proses pendidikannya. Persyaratan itu dipenuhi juga. Dan ternyata di awal penerimaan saja, 1.600-an orang pendaftar yang datang sedangkan yang bisa diterima baru 1.200 orang saja. Seiring dengan perjalanan waktu,
dalam tempo 5 tahun, santri sudah berjumlah 7.000-an lebih, persisnya 7.329 orang.
Sebelum menerima santri, guru telah direkrut lebih dulu. Guru yang pertama direkrut sebanyak 150 orang dari berbagai universitas yang ada di Indonesia. Kurikulumpun disesuaikan dengan kurikulum nasional ketika itu maupun dari Departemen Agama.
Dalam penerimaan santri, motto dan tujuan Ma’had selalu dijelaskan.
Motto yang dimaksud adalah, bahwa Ma’had Al-Zaytun merupakan pusat pendidikan dan pengembangan budaya toleransi dan pengembangan budaya perdamaian.
Dalam proses pendidikannya, Ma’had Al-Zaytun sengaja mengekspos sebuah laboratorium alam untuk ditanamkan ke benak anak-anak didiknya. Ini dilakukan agar nanti para santri berinovasi. Misalnya, bila diekspos perahu, maka akan timbul dalam pikiran mereka, dulu kami buat sendiri itu yang namanya perahu, kenapa sekarang harus beli? Akhirnya mereka akan buat sendiri sebab ilmu ada, pengalamannya juga ada. Hal tersebut terbersit dalam pikiran Syaykh karena mengenang masa kecilnya yang pernah diekspos oleh orang tuanya menjadi guru pemberantasan buta huruf sehingga membuatnya berinovasi sepanjang hidup.
Sedangkan globalisasi 2020 yang menjadi sangat hangat diperbincangkan belakangan ini, bagi Al-Zaytun hanyalah suatu fase langkah, artinya, tahun 2020 itu dipersiapkan sedemikian rupa menuju tahun-tahun berikutnya, karena tahun, bukan hanya 2020 saja. Jadi 2020 menurutnya hanyalah satu langkah menuju langkah berikutnya, step by step.
............
Menanggapi pernyataan betapa spektakulernya pembangunan yang dilakukan Al-Zaytun selama lima tahun ini. Ia hanya mengatakan, “Kalau sudah ditarik rodanya, kereta itu akan berjalan dengan sendirinya”. Diibaratkannya, kalau ban mobil itu sudah berjalan, justru harus pandai menyetirnya. Jadi sudah tidak ada yang berat lagi. Maka dalam menyetir Al-Zaytun ini, ia mengaku bahwa itu dilakukannya bersama dengan sahabat-sahabatnya. “Sekali waktu kita berhenti di pokok-pokok yang rindang, sekali waktu kita berhenti di padang yang terang,” ucapnya.
Sedangkan mengenai tantangan yang dihadapinya selama ini, ia hanya mengatakan bahwa hidup tanpa tantangan, tidak akan menemukan manisnya hidup. Menurutnya, tan-tangan hidup adalah ciri bahwa kita di-beri kesempatan untuk mengatasinya.
Memang sesuatu yang tidak dimengerti jika masih ada yang merasa curiga dengan kehadiran Ma’had Al-Zaytun ini, sebab menurut apa yang dilihat dan dialami dan diterima oleh penulis sendiri (Ensiklopedi TokohIndonesia.com) apa yang dicurigai oleh sebagian orang itu sangat jauh dari kenyataan yang ada.
Bahkan dalam suatu pembicaraan ketika ETI mengatakan bahwa wartawan ETI yang datang saat itu mungkin ada perbedaan aliran dengan Syaykh sendiri. Syaykh malah mengatakan bahwa tidak ada perbedaan, selaku ciptaan Tuhan kita ini semua sama, paling tidak sama-sama satu bangsa Indonesia. Menurutnya sebagai satu bangsa Indonesia, berarti sudah punya keyakinan, satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Dan kejayaan kita ini justru ada di kebhinekaan tersebut. Ini yang harus kita syukuri.
Satu kiat dari Syaykh ini dalam mengatasi berbagai tantangan itu adalah dengan terus bergerak, bergerak maju, membangun, menata, mendidik. Tantangan itu menurutnya harus diatasi dengan cara demikian. Dan harus ditampilkan dengan sesuatu yang lebih baik. Dengan begitu tantangan itu justru akan memberikan satu nilai.
Termasuk berbagai pemberitaan dan buku yang menyudutkannya. “Bukan tidak dihiraukan. Sebanyak buku yang ada, itu kita baca semua, dan kita katakan, oh…ini disini nih yang harus kita lalui, oh… ini disini yang harus kita singkirkan, oh…disini yang harus kita laju ke depan. Itu kita jadikan tantangan, dan kita siap mengatasinya,” katanya terbuka.
“Kalau reaksi kita tuangkan dalam bentuk tulisan, itu tidak punya makna apa-apa, dan akan mendapatkan warisan dari buku ke buku. Kita menginginkan reaksi itu dalam bentuk karya nyata, sehingga bangsa ini nanti menikmati karya bangsanya yang nyata itu. Kemudian mengenai masalah adanya orang mengatakan disini sesat dan sebagainya atau yang berbentuk macam-macam tadi, sejarah nanti yang akan membuktikan. Kalau kita yang menulis sejarah, kita bisa melihat dan merasakan. Kalau sejarah yang menulis dirinya sendiri, kehancuranlah yang terjadi,” katanya lebih jelas.
Jadi menurutnya, jika sejarah itu ditulis sendiri dengan karya nyata, maka sudah pasti akan menulisnya dengan sebaik-baiknya. “Ini namanya karya sastra. Sebab sastra itu macam-macam, bukan cuma tulis saja. Sastra itu termasuk seni dalam mengelola apapun. Kebetulan saya mendalami sastra karena sekolah di sastra dulu,” ujarnya.
Yang lebih jauh lagi,
ada orang sempat menduga bahwa Al-Zaytun didirikan dalam rangka mendirikan Negara Islam Indonesia. Menanggapi dugaan-dugaan seperti itu Syaykh hanya mengatakan bahwa orang menduga boleh saja. Bahkan ia mengatakan bahwa diduga sesat pun ia takkan pernah membantahnya. Menduga mau mendirikan negara Islam Indonesia pun ia tidak pernah membantahnya.
Tapi menurutnya, di dunia ini tidak boleh duga-duga, tapi harus berpikir modern. Setiap bergerak harus berdasar ilmu. “Sekarang, antara ilmu dan duga tadi, ketemu apa tidak? Jika itu ketemu maka ‘ilmu’ yang salah dan ‘duga’ yang betul. Tapi di dunia ini, duga itu tidak akan bisa mengalahkan ilmu,” ucapnya.
Ketenangan Syaykh dalam menghadapi segala tantangan tersebut sungguh menunjukkan kedewasaannya sebagai pemimpin. Namun walaupun begitu ia tetap merasa tidak berbeda dengan yang lainnya. Ia tidak merasa lebih unggul. Ia merasakan dan menjalani hidup ini dengan bijaksana. Apa yang diperintahkan konsep kehidupan, dilakukan. Apa yang dilarang oleh konsep kemanusiaan, dijauhi. Selamat. Itu saja caranya menjalani hidup. Dan keyakinannya, Tuhanpun akan suka.
Jika ada pertanyaan mengenai darimana dana pembangunan Ma’had tersebut, ia menganggap pertanyaan itu wajar saja. Tapi hendaknya jangan mengukur orang lain dengan ukuran diri sendiri. Sebab jika seseorang mengukur ukuran orang lain dengan dirinya, kadang tidak pas. Jadi kalau mengukur dengan parameter umum, maka hasil yang telah dicapai Al-Zaytun menurutnya masih wajar-wajar saja.
Demikian modernnya pendidikan Ma’had Al-Zaytun tersebut sehingga banyak yang melakukan studi banding ke sana. Seperti IPB misalnya, mereka melakukan praktek lapangan di sana.
Guru-guru yang terbagus dari IPB juga mengajar di Ma’had ini. Karena diberi kebebasan, di Ma’had ini mereka merasa punya kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya. Sehingga sesuatu yang belum dibuat di IPB sudah dibuat di Al-Zaytun. Misal-nya,
di IPB belum mengembangkan embrio transfer, tapi Ma’had Al-Zaytun sudah berhasil melakukannya. Di IPB belum mengembangkan bibit sapi unggul, di sana sudah dikembangkan dan sudah disebar. Akhirnya dengan demikian guru-guru itu penuh dengan persiapan dan kompetensi.
Sedangkan mengenai dana, menurut Syaykh hal tersebut merupakan hal yang gampang sebab setiap melompat (penemuan/pengembangan satu ilmu) selalu ada harganya. Jadi jika ada suatu lompatan, orang akan memberi apresiasi, hasilnya dibagi. “Jadi dana itu nggak susah, yang susah itu kalau kita tidak pernah berpikir mendanai ini,” katanya.
Dan yang lebih membanggakan,
saat ini Departemen Agama mengakui bahwa Ma’had ini merupakan tempat pendidikan yang digolongkan terbaik. Sertifikat penghargaan itu diberikan Januari 2004 lalu. Demikian juga dalam ujian-ujian sekolah menengah pertama, Al-Zaytun juga merupakan yang terbaik di Jawa Barat. Hal ini jelas merupakan suatu sejarah juga, yang bisa terjadi karena ditulis dan diukir.
Dukungan Keluarga
Dalam perjalanan hidupnya sebagai seorang pendidik, diakuinya bahwa keluarganya sungguh sangat membantu. Sebagaimana lazimnya, seseorang yang memangku pemimpin pesantren biasanya memiliki istri lebih dari satu,
namun pria setia ini tidak terpikirkan untuk menambah atau malah mengganti istri yang sangat disayangi itu. “Istri saya dari sejak pertama sampai hari ini, itu-itu juga,” begitu katanya agak bercanda.
Khotimah Rahayu, juga sering dipanggil dengan Faridah Al Widad, istri yang memberinya tujuh orang anak itu, juga seorang guru. Istrinya pada awalnya adalah seorang guru PNS. Lain dengan dirinya, ia tidak mau menjadi pegawai negeri. Dengan sangat senang ia pada pagi harinya mengajar, sore dagang, bertani, memborong tanaman entah padi dan sebagainya atau membo-rong kayu-kayuan yang ditanam orang, diambil terus dibelah. Atau dagang hewan seperti kerbau dan lembu. Itulah dulu pekerjaannya sehari-hari.
Khotimah yang berasal dari Banten, Kampung Menes, Kecamatan Menis, Kabupaten Pandeglang, keresidenan Banten (sekarang menjadi propinsi Banten), menjadi guru bukanlah secara kebetulan atau takdirnya yang sudah begitu, namun sebagai anak dari seorang guru (orang tua dari Ibu Khotimah Rahayu), dalam dirinya sudah tumbuh satu kecintaan pada profesi pendidik itu.
................
Dalam mendidik, ayah dari Imam Prawoto, Ahmad Prawiro Utomo (sering dipanggil dengan Ahmad Zaim), Ikhwan Triatmo (sering dipanggil dengan Abdul Hamid), Khoirun Nisa (perempuan), Muhammad Hakim Prasojo, Sofyah Alwida (perempuan), Karim Abdul Jabbar (alm), ini selalu berusaha menunjukkan kasih sayang seorang ayah. Ia tidak mau berlaku otoriter apalagi menghukum dengan cara mendera fisik, maka di Al-Zaytun pun ia memberlakukan santrinya dengan bebas, sebebas-bebasnya, namun berdisiplin setinggi-tingginya.
Disiplin yang dimaksud Syaykh, yang sangat memperhatikan kesehatannya dan tidak merokok ini, adalah seperti aturan tidak bisa merokok dan narkoba. Sejak awal di sana telah diambil langkah-langkah pencegahan masuknya narkoba dengan melakukan test, baik ketika masuk maupun saat keluar pesantren.
................
Dalam perjalanannya yang masih panjang membangun Ma’had Al-Zaytun, Syaykh sangat mensyukuri rahmat Tuhan yang diterimanya hingga saat ini. Ia makan dengan menu yang teratur dan sehat serta rutin melakukan olahraga murah, naik turun masjid. Pola makan dan gaya hidupnya ini bisa menurunkan berat badannya dalam jumlah yang sangat signifikan dari 104 kg menjadi 85 kg sekarang ini.
Visi Kenegaraan
Membangun negara, tak ubahnya dengan menanam pohon jati. Dibutuhkan kerelaan dan keiklasan yang murni untuk mau bersusah payah, namun dengan sadar ia tahu hasilnya tidak akan sempat dinikmatinya namun dinikmati oleh generasi berikutnya.
.........................
Di samping itu, Syaykh yang suka olahraga murah yakni naik turun masjid, ini mengatakan bahwa bangsa ini juga harus dekat ke masyarakat desa. Menata pendidikannya, menata perikehidupannya, untuk didekatkan ke masyarakat kota. Dengan demikian, tidak ada kecemburuan sosial antara masyarakat kota dan desa. Dan pelan-pelan desanya menjadi kota, kotanya seperti masyarakat desa. Akhirnya Indonesia yang sangat luas ini menjadi berekosistem.
.......................
Di negeri ini, jika pemimpin masih belum sadar mengenai pentingnya mengutamakan pendidikan, menurut Syaykh rakyat tidak harus menunggu sama-sama sadar baru berbuat. “Tatkala kapal mau tenggelam, harus ada satu yang berani tidak tenggelam. Jangan semua mau tenggelam. Kalau semuanya tenggelam selesailah kapal kita ini. Jangan nunggu rame-rame,” katanya mengibaratkan.
Syaykh sangat prihatin melihat cara pemikiran bangsa ini. Bukan hanya pemimpin tapi juga guru sendiri. Seperti yang belakangan ini terjadi di Kabupaten Kampar. Dimana mau menumbangkan bupati saja, seluruh guru meliburkan sekolah. Anak disuruh demonstrasi, guru disuruh demonstrasi. Ini cara berpikiran yang belum sehat.
Padahal seorang guru itu dalam menghadapi gubernur atau bupati cukup dengan diplomasi guru saja. Guru yang punya Metodik Didaktik dimana untuk menaklukkan murid yang **** saja bisa pintar, apalagi bupati yang sudah pintar. Jadi menurutnya tidak perlu meliburkan sekolah sampai berpekan-pekan di luar hari libur sekolah. Itu sudah kebiasaan yang tidak bisa ditolerir.
........................
Dalam perjalanannya yang masih panjang membangun Ma’had Al-Zaytun, Syaykh sangat mensyukuri rahmat Tuhan yang diterimanya hingga saat ini. Ia makan dengan menu yang teratur dan sehat serta rutin melakukan olahraga murah, naik turun masjid. Pola makan dan gaya hidupnya ini bisa menurunkan berat badannya dalam jumlah yang sangat signifikan dari 104 kg menjadi 85 kg sekarang ini.
( Duren : Ngecapnya percis oknum ORBA yahh )
Pembawa Damai dan Toleransi
Pemimpin Ma’had Al-Zaytun ini adalah seorang beriman pembawa damai dan toleransi. Di pondok pesantren modern ini, dia telah mengembangkan budaya toleransi dan perdamaian. Bukan hanya dalam teori, wacana atau slogan, tetapi dalam aplikasi dan keteladanan. Sebagai pemangku pendidikan pesantren, dia selalu menunjukkan keteladanan dalam membimbing santrinya untuk membina persaudaraan dengan siapa pun tanpa membedakan asal-usul dan agamanya.
Tidak banyak,
bahkan mungkin belum ada, pemimpin pondok pesantren yang secara khusus mencetak kartu ucapan Selamat Natal untuk dikirimkan kepada para pendeta dan pimpinan gereja, baik yang sudah dikenal maupun belum dikenalnya. Bahkan sebaliknya, justru ada ulama yang mengharamkannya.
Pria kelahiran Gresik 30 Juli 1946
berdarah Madura dan Bugis bernama lengkap Syaykh Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang ( Duren: jadi ingat dengan yang gangguin netter bocor nih ) ini sejak masih belajar di Pondok Pesantren Modern Gontor, sudah mengimpikan berprofesi sebagai guru yang tanpa kekerasan. Dia tidak suka kekerasan. Dia ingin Indonesia memasuki zona damai dan demokrasi. Dalam perjuangan yang panjang tak kenal lelah, pada usia memasuki lima puluhan tahun, lulusan Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini berhasil mewujudkan impiannya membangun sebuah lembaga pendidikan pesantren spirit but modern system.
Yakni, Ma’had Al-Zaytun yang bermotto: Pusat Pendidikan dan Pengembangan Budaya Toleransi dan Budaya Perdamaian. Sebuah motto yang merupakan padanan dari visi dan obsesi dirinya sendiri bersama sahabat-sahabatnya. Dia berobsesi dari Ma’had Al-Zaytun memancar persaudaraan, toleransi dan perdamaian ke seantero Indonesia Raya bahkan ke seluruh penjuru dunia.
Patutlah para sahabatnya, tidak kecuali sahabat yang nonmuslim, menyebutnya seorang tokoh pembawa damai dan toleransi.
Pendeta Rudolf Andreas Tendean, yang baru saja memimpin rombongan Keluarga Besar Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Koinonia, Jakarta, berkunjung ke Ma’had Al-Zaytun, adalah satu dari sekian banyak orang yang merasakan bagaimana sosok Syaykh Abdussalam Panji Gumilang membawa damai dan toleransi dalam komunikasi, pergaulan dan persahabatan mereka.
Adalah Syaykh Panji Gumilang yang memulai (berinisyatif) menyebar damai dan persaudaraan dalam persahabatan mereka. Manakala, dia mengirim kartu ucapan Selamat Natal kepada sejumlah pendeta dan pimpinan gereja. Kartu Natal yang menjadi awal berkembangnya damai dan toleransi sehingga kedua umat beriman itu saling mengunjungi dan saling memahami.
Taiwan dan Amerika
Bukan hanya kali ini Syaykh Panji Gumilang mengambil inisyatif damai, toleransi, persaudaraan dan persahabatan. Persahabatan yang kental juga telah lebih awal dijalin oleh Syaykh dengan komunitas Taiwan di Indonesia. Ditandai kunjungan Kepala Kantor Perwakilan Dagang dan Ekonomi Taiwan di Indonesia sejak dipimpin oleh
Mr. Sui Chi Lin hingga pejabat yang baru Mr. David Y.L. Lin. Kantor itu, merupakan kantor perwakilan negara Taiwan, setingkat dengan kantor duta besar, di Indonesia. Oleh karena masih terdapat perbedaan sikap pandang politik antara RRC dan Taiwan (yang dulu disebut China Taipei) hal itu membuat pemerintah Indonesia yang menjalin hubungan diplomatik dengan keduanya berada pada posisi sulit.
Persahabatan dengan komunitas Taiwan ini,
bermula pada tahun 1997 dari pertemuan Syaykh AS Panji Gumilang dengan dua orang pengusaha Tionghoa, yakni Mr. Liang dari Taiwan, yang kemudian di Ma’had Al-Zaytun dianugerahi nama Luqman, dan Mr. Hendra. Waktu itu, terjadi kerusuhan yang membuat banyak warga etnis Tionghoa menjadi korban dan ketakutan. Syaykh membuka tangan untuk memberikan perlindungan kepada keduanya.
Ketika itu, Syaykh AS Panji Gumilang menjamin: “Selama Anda di Ma’had Al-Zaytun tidak akan ada yang menyentuh.” Tak dinyana, ternyata sikap persahabatan yang ditampilkan Syaykh ketika itu mengalirkan simpati yang mendalam dari komunitas bisnis Taiwan terhadap Ma’had Al-Zaytun. Sejak itulah, persahabatan antara kedua komunitas terjaga hingga kini.
………………………
Juga dibicarakan tindak lanjut pengembangan bahasa Mandarin di Ma’had Al-Zaytun yang pernah dirintis semasa Kantor Perwakilan Taiwan dipimpin oleh Mr. Sui Chi Lin . Mr. David Lin dan para pemuka komunitas bisnis Taiwan (Taiwan Bussines Club) di Indonesia itu pun merespon dengan mengemukakan kemungkinan-kemungkinan kerja sama yang bisa segera diwujudkan. Mr. David Lin berjanji akan mendorong setiap warganya di Indonesia, baik itu yang bergerak di bidang industri, agribisnis atau pendidikan, untuk menyumbangkan pikiran, tenaga dan modal bagi kemajuan Ma’had Al-Zaytun.
Begitu pula
persahabatan dengan John Rath, Second Secretary Kedutaan Besar AS yang juga sebagai Atase Politik AS, bersama rombongan berkunjung dan berdoa di Ma’had Al-Zaytun. John Rath, Atase Politik negara adi daya, itu ketika berkunjung ke Ma’had Al-Zaytun bertutur, masyarakat Amerika tetap ingin bersahabat dengan Indonesia.
Bahkan John Rath berdoa di dalam bangunan Masjid Rahmatan Lil ‘Alamin agar persahabatan Indonesia dan Amerika selalu abadi. “Kami berdoa untuk kejayaan sekolah ini serta orang-orang yang bersama sekolah ini, hari ini dan di masa yang akan datang,” kata John Rath. Perwakilan negeri Uncle Sam, negara adi daya, itu ternyata tertarik untuk melihat dari dekat kampus ini. Pasalnya, di kedutaan AS pihaknya banyak mendengar perkembangan Al-Zaytun yang menggabungkan aspek modern dan tradisi Islam. John Rath dan rombongan, tamu dari negara super power itu, disambut dengan penghormatan yang layak di Ma’had Al-Zaytun. Para eksponen Yayasan Pesantren Indonesia, guru, koordinator dan beberapa perwakilan santri dari seluruh propinsi termasuk dari Malaysia dan Afrika, turut menghadiri acara tersebut. Sama seperti tamu-tamu lainnya, John Rath dan rombongan dibawa meninjau ke seluruh fasilitas pendidikan dan ke pelosok kampus hingga melongok penyimpan makanan alias cold storage. Tentu saja juga ke Masjid Rahmatan lil ‘Alamin yang tengah dibangun.
Masjid terbesar di dunia berkapasitas 150 ribu jama’ah.
Di ruang tengah Masjid Rahmatan lil ‘Alamin, John Rath memanjatkan do’a.
”We thanks our Lord in this opportunity to come together, to improve our friendship to hopefully built to ties our mutual understanding and ritual friendship to the lasting hope live longer than all of us. We thanks God for this opportunity visit this school, to so many people which obiously take so much effort. God given a strength. We pray for the school and we pray to the succes to the school and people who associated with the school, today and the future. Our Lord, we ask for your blessing and also to the wisdom, guidance, and the patience to perceive through very top science and good science and we ask for your guidance to all things. Here we pray. “
(Kami bersyukur kepada Allah karena kesempatan kebersamaan hari ini untuk menumbuhkan persahabatan dan membangun pemahaman yang mutual, termasuk persahabatan ritual yang akan berkelanjutan, yang usianya lebih panjang dari pada usia kami semua. Kami bersyukur kepada-Mu ya Allah atas kesempatan mengunjungi sekolah ini dan juga kepada mereka yang telah bersusah-payah membangunnya. Allah telah memberikan kekuatan-Nya. Kami berdoa untuk kejayaan sekolah ini serta orang-orang yang bersama sekolah ini, hari ini dan di masa yang akan datang. Ya Allah, kami memohon rahmat-Mu juga hikmah dan hidayah-Mu serta kesabaran untuk meraih sains yang tinggi dan ilmu pengetahuan yang baik. Dan kami mohon petunjuk-Mu untuk semua hal. Di sinilah kami berdoa”).
( Lord kok berobah jadi aweuloh ? )
Sahabat Sejati
Memang, dalam pandangan Syaykh Panji Gumilang, persahabatan sejati akan selalu menghasilkan manfaat bagi siapa saja, terutama bagi para pelakunya. Apalagi jika persahabatan dikelola dengan cerdas, tulus dan bersahaja. Menurut Doktor HC dari IPMA London ini, persahabatan adalah pintu masuk terbaik untuk menuju perdamaian di muka bumi. Dengan persahabatan, katanya, tak hanya perdamaian yang diperoleh, melainkan pintu kesejahteraan pun menjadi terbuka lebar.
Bagi dia dan Ma’had Al-Zaytun, persahabatan bukan hanya sekadar kata manis yang enak didengar. Tetapi, segenap civitas akademika Ma’had Al-Zaytun telah membuktikan dalam pergaulan kesehariannya. Hal mana ma’had ini senantiasa menjalin persahabatan dengan siapa pun yang mau tanpa memandang perbedaan agama, kultur atau afiliasi politik.
Menurutnya, toleransi adalah akidah dalam beragama.
“Pengakuan adanya kekuatan Yang Maha Tinggi, yaitu Tuhan Allah/God/Yahweh/Elohim, ( Duren : ente blom kenal FFI yah ) yang disertai ketundukan itu, merupakan fitrah/naluri yang dimiliki oleh setiap manusia. Kendati demikian, manusia tetap memerlukan adanya pemberi peringatan agar tidak menyeleweng dari fitrahnya, mereka adalah para nabi dan rasul,” ujarnya.
Dia menjelaskan, perasaan tunduk kepada Yang Maha Tinggi, yang disebut iman, atau i’tikad, yang kemudian berdampak pada adanya rasa suka (rughbah), takut (ruhbah), hormat (ta’dzim) dan lain lain, itulah unsur dasar al-din (agama). Al-din (agama) adalah aturan-aturan atau tata-cara hidup manusia yang dipercayainya bersumber dari Yang Maha Kuasa untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Berbagai agama telah lahir di dunia ini dan membentuk suatu syareat (aturan) yang mengatur kehidupan manusia, yang termaktub di dalam kitab-kitab suci, baik agama samawi (yang bersumber dari wahyu Ilahi) maupun yang terdapat dalam agama ardli (budaya) yang bersumber dari pemikiran manusia. Semua agama-agama, baik samawi maupun ardli, memiliki fungsi dalam kehidupan manusia. Berbagai fungsi tersebut adalah: (i) menunjuki manusia kepada kebenaran sejati; (ii) menunjuki manusia kepada kebahagiaan hakiki; dan (iii) mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bersama.
………………………..
Syaykh Panji Gumilang,
ketika menyambut kunjungan Keluarga Besar Gereja Protestan Indonesia bagian Barat, Jemaat Koinonia Jakarta, mengatakan hendaknya semua umat manusia bertaqwa kepada Tuhannya agar mendapat berkat dalam kehidupannya dan selalu terbimbing pada jalan-Nya dan berjayalah mereka dalam kehidupannya.
Berkaitan dengan hal ini, pada kesempatan lain kepada Wartawan Tokoh Indonesia, Syaykh Panji Gumilang mengatakan berinteraksi dengan jiwa toleran dalam setiap bentuk aktivitas, tidak harus membuang prinsip hidup (beragama) yang kita yakini. Menurutnya, kehidupan yang toleran justru akan menguatkan prinsip hidup (keagamaan) yang kita yakini. “Segalanya menjadi jelas dan tegas tatkala kita meletakkan sikap mengerti dan memahami terhadap apapun yang nyata berbeda dengan prinsip yang kita yakini. Kita bebas dengan keyakinan kita, sedangkan pihak yang berbeda (yang memusuhi sekalipun) kita bebaskan terhadap sikap dan keyakinannya,” ujarnya.
Dia pun mengutip dialog disertai deklarasi tegas dan sikap toleran yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam
Q.S. 109: “Wahai orang yang berbeda prinsip (yang menentang). Aku tidak akan mengabdi kepada apa yang menjadi pengabdianmu. Dan kamu juga tidak harus mengabdi kepada apa yang menjadi pengabdianku. Dan sekali-kali aku tidak akan menjadi pengabdi pengabdianmu. Juga kamu tidak mungkin mengabdi di pengabdianku. Agamamu untukmu. Dan agamaku untukku.”
Syaykh menjelaskan, sikap toleran membuahkan kemampuan yang sangat signifikan dalam menetapkan pilihan yang terbaik. Mampu mendengar berbagai ungkapan dan menyaring yang terbaik daripada semua itu.
Sikap toleran, jelasnya, juga melahirkan kemampuan mengubah perilaku individu (self correction) terhadap pola yang selama itu dilakukan, yang tak berdaya mengubah masyarakat tradisional, tertutup dan represif, sehingga tujuan yang dicita-citakan dapat dicapai. “Toleran, tidak menciptakan individu yang wangkeng, yang tidak mau mengubah perilakunya, walau tujuannya tidak tercapai. Secara apologi bersikap dan mengatakan bahwa: Tujuan itu tidak tercapai karena belum waktunya, atau nasibnya memang demikian dan tidak mau mengubah diri,” kata Ketua Alumni Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat ini.
Problem Solving
Sikap toleran, katanya, mampu menemukan jalan keluar dan problem solving yang pantas dan mengangkat martabat dan harga diri dalam berbagai bidang kehidupan. Prinsip dan pemahaman yang sama dikemukakannya ketika menyambut Keluarga Besar GPIB Koinonia: “Al-Zaytun mendapatkan ajaran dari Ilahi agar disampaikan kepada seluruh umat manusia untuk menyikapi satu sikap damai dan dan toleran. Al-Zaytun menjabarkan apa yang dipesankan oleh Tuhan melalui para nabi-nabi-Nya, baik Nabi Nuh, Muhammad, Ibrahim, Musa, Isa, tentang agama. Berfirmanlah Tuhan: aqimuddin wa laa tataffarraqu fiihi. Tegakkan agama dari Tuhan ini dan jangan pernah engkau bersengketa dalam memeluk agama itu.”
Dia pun menjelaskan ulang kata Koinonia, seperti diterangkan olh Pendeta Rudy sebelumnya yang bermakna persaudaraan dan persahabatan. “Al-Zaytun pun menciptakan perdamaian dan toleransi yang diterapkan melalui pendidikan,” katanya. Ternyata pesan-pesan ini mengikuti apa yang pernah dipesankan oleh Tuhan baik melalui Nuh, Muhammad, Ibrahim, Musa, Isa dan kita penerusnya. “Alangkah indahnya sikap umat manusia tatkala menyikapi keagamaan seperti apa yang kita lakukan pada hari ini,” katanya, disambut tepuk tangan hadirin.
“Kita ingin sebagai bangsa Indonesia menerapkan semua makna dan pesan Ilahi ini dipenetrasikan di dalam kehidupan keseharian berbangsa dan bernegara. Alangkah indahnya jika bangsa Indonesia dari sejak dini diperkenalkan cara hidup beragama yang tanpa perpecahan, persengketaan, dan perselisihan yang mengatasnamakan agama itu. Ini pesan Ilahi yang dijalankan oleh Al-Zaytun. Kemudian kita bersama-sama jemaat Koinonia memulainya,” katanya.
Menurutnya, ini adalah laboratorium toleransi yang harus kita buat antar kita semua dan kita ekspose kepada generasi muda Indonesia yang akan meneruskan kepemimpinan bangsa di masa depan agar meneladani, mampu mencontoh apa yang telah dibuat dan dicontohkan dalam laboratorium persatuan dan kerukunan umat beragama di Indonesia melalui Al-Zaytun dan Koinonia ini.
“Kami yakin anak-anakku semua, jika hari ini kalian jadikan satu pelajaran kamu semua tidak akan melupakan pada saat kalian menjadi pemimpin-pemimpin bangsamu kelak. Dua puluh tahun yang akan datang engkau akan menjadi pemimpin di Indonesia ini, paling tidak memimpin dirimu sendiri.
Tatkala itu engkau telah mempunyai visi dan misi seperti yang hari ini dipertontonkan oleh Gereja Koinonia dan Ma’had Al-Zaytun bersama-sama dalam satu mejelis seperti ini. Alangkah indahnya, alangkah indahnya,” katanya berseru kepada santri yang menyambutnya dengan tepuk tangan.
Lebih lanjut, Syaykh mengatakan, mari kita jadikan peristiwa ini sebagai satu laboratorium, bukan dalam skala penelitian tapi dalam skala produksi perdamaian. “Kalau hanya skala penelitian bisa diterapkan dalam kompleks yang 1.200 ha ini belum tentu bisa diterjemahkan di tempat-tempat lain. Namun tatkata ini skalanya kita perluas menjadi skala produksi dalam arti memproduksi perdamaian dan toleransi dan sikap saling mengenal, saling bersaudara, antar umat beragama di Indonesia, kami yakin Indonesia ke depan akan mempunyai penduduk yang mengerti keberadaan keagamaan di Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika ini. Kami yakin seyakin-yakinnya,” ujarnya optimis.
Untuk itu, serunya, hari ini kita mulai, besok kita perluas, lusa kita teruskan dan jangan pernah berhenti menciptakan persahabatan, perdamaian dan sikap toleransi di muka bumi ini. “Insya Allah, bangsa Indonesia akan memulai dan akan menjadi contoh bangsa-bangsa di dunia jika kita mulai hari ini dan tidak akan berhenti. Mari kita yang ada di ruangan ini menanamkan sikap ini dan kita tularkan ke lingkungan bangsa Indonesia dan akan menjadi eksponen. Eksponen adalah simbol yang perlu dicontoh, menjadi uswah baik diri kita, baik bangsa kita dan mudah-mudahan bangsa-bangsa lain seperti halnya tumbuhnya demokrasi di Indonesia,” seru Syaykh penuh makna.
Ternyata begitu kita masuk dalam arena demokrasi, bangsa-bangsa lain mempunyai penghormatan besar terhadap pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Mengapa, kalau perdamaian persatuan kita pertontonkan dalam permukaan bumi ini sehingga bangsa lain pun akan memberikan hormat yang setinggi-tingginya dan meniru apa yang telah kita lakukan ini.
Domain Perdamaian
Mudah-mudahan dari titik ini,
titik tanah Al-Zaytun digabung dengan tanah Koinonia yang ada di Jakarta dan kita tarik garis ke kanan-ke kiri, ke utara-ke selatan, ke timur-ke barat dan akan menjadi domain yang luas dalam terciptanya perdamaian dan toleransi di muka bumi Indonesia ini.
“Ini sambutan sukacita kami kepada rombongan dan atas pimpinan Bapak Pendeta Rudi Tendean. Terimalah sukacita kami ini demi keikhlasan hati untuk persaudaraan dan persahabatan abadi di bumi Indonesia, di bumi Tuhan semesta alam ini,” kata Syaykh pada bagian akhir sambutan selamat datangnya kepada Jemaat GPIB Koinonia.
Sementara itu, pada sambutan pelepasan pada malam harinya, Syaykh mengatakan: “Malam ini sungguh indah. Sangat bersyukur pada Allah, sekian lama kita rindukan kebersamaan di Indonesia, malam ini, diawali dari sejak pagi tadi, tercipta setitik kebersamaan, sebab Indonesia ini luas, penduduknya besar banyak,
lahannya sama dengan dari Istambul sampai ke London begitu luasnya. Kalau kita tengok teritori yang ada di Al-Zaytun ini laksana debu setitik di padang pasir yang begitu luas.
Namun, puji Tuhan, sehari ini kita makhluk yang sangat terbatas ini, jumlahnya pun sangat kecil ini, telah diberkati oleh-Nya untuk menciptakan suatu kebersamaan yang memang ini dianjurkan dan diperintahkan oleh Sang Pencipta kebersamaan itu sendiri yakni Tuhan.
Patut disyukuri oleh hamba-hamba Tuhan, oleh makhluk Tuhan yang beriman, mudah-mudah kita dipandaikan oleh-Nya untuk mensyukuri apa yang kita lakukan sejak pagi tadi sampai malam ini dan kita jadikan titik tolak untuk Indonesia Raya ini dapat tercipta persatuan dan kesatuan yang sampai detik ini, persoalan yang satu ini masih selalu menjadi masalah yang krusial, kata orang.
Tetapi ternyata kita mampu dan diberikan kekuatan oleh-Nya, oleh Tuhan, untuk membuat sesuatu yang baru, sesuatu yang belum dilaksanakan banyak orang dan di hari ini, hari Sabtu, kita memulai dan Insya Allah akan dilaksanakan oleh banyak orang bangsa Indonesia.
Kita syukuri. Kalau tadi Pak Pendeta mengatakan tidak ada yang dapat dikalimatkan, ternyata sama. Kami pun punya ungkapan seperti itu, susah untuk mengalimatkan. Maka kalimat yang kita terangkan pagi tadi atau tengah hari tadi sama, kita susah mengalimatkan kejadian ini. Pak Pendeta pun susah mengkalimatkan kejadian ini. Inilah yang dinamakan kalimatun sawa.
Maka indah betul nama yang kita pilih bersama untuk sebuah bangunan, tempat kader bangsa dididik sebagai kenang-kenangan ke depan. Pak Pendeta susah mengkalimatkan sesuatu keindahan ini, kemudian keluarga besar Ma’had Al-Zaytun diwakilii oleh AS Panji Gumilang juga mengatakan susah mengalimatkan. Maka kita menemukan kalimat yang sama, susah mengalimatkan. Maka kita sebut saja, kalimatun sawa. Dan ini yang paling tepat dan itu pesan Ilahi: Engkau mesti menyampaikan kalimatun sawa, ungkapan yang sama, yaitu perdamaian, ungkapan yang sama yaitu persatuan, ungkapan yang sama yaitu persaudaraan umat manusia tanpa terkecuali.” Demikian Syaykh AS Panji Gumilang.
===================
Hadiah Paling Berharga dalam Sejarah Ma'had Al-Zaytun
Mantan Presiden RI, Bapak Pembangunan Nasional, H.M. Soeharto meresmikan ruang kuliah mahasiswa/mahasiswi Universitas Al-Zaytun, yang diberi nama Gedung Perkuliahan Jenderal Besar H.M. Soeharto.
Selasa, 23 Agustus 2005, merupakan momen yang sangat bersejarah dan monumental bagi seluruh sivitas akademika Ma’had Al-Zaytun (MAZ). Betapa tidak.
Bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-6, Pondok Pesantren Peradaban Berskala Dunia itu mendapatkan kehormatan yang tak akan terlupakan dalam sejarah kehidupannya. Meski secara fisik nyarus rapuh termakan usia dan penyakit yang menggerogoti tubuhnya, H.M. Soeharto yang sangat akrab disapa dengan Pak Harto-tetap berkenan memenuhi undangan untuk mengunjungi MAZ, bersilaturahmi dengan santriwan/santriwati, dan bahkan menginap satu malam di pusat pendidikan budaya toleransi dan perdamaian itu. Sejatinya, ada satu hajatan besar di kampus peradaban terpadu, pesantren spirit but modern system, pada hari itu.Pak Harto meresmikan Gedung Perkuliahan Jenderal Besar H.M. Soeharto, salah satu gedung yang dimiliki Universitas Al-Zaytun (UAZ).
UAZ sendiri diresmikan pada Sabtu, 27 Agustus 2005 oleh Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, pejabat negara yang ditunjuk Wakil Presiden (Wapres) H.M. Jusuf Kalla.
Sedianya, Wapres Jusuf Kalla sendiri yang akan meresmikan UAZ namun batal lantaran pada hari yang bersamaan beliau harus mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Cirebon, Jawa Barat.
Sejak pukul 7.30 pagi, segenap aktivitas pesantren yang berlokasi di Indramayu, Jawa Barat, itu telah dipusatkan di Masjid Rahmatan Lil ‘Alamin, sebuah Monumen Millennium Ketiga, yang memiliki daya tampung 150.000 jamaah. Spanduk besar berkain warna hijau dengan tulisan “Peresmian Gedung Perkuliahan Jenderal Besar H.M. Soeharto Universitas Al-Zaytun oleh Bapak Jenderal Besar H.M. Soeharto” terbentang di atas Mihrab Masjid Rahmatan Lil ‘Aalamin, MAZ.
Sekitar lima ribu orang santri MAZ memenuhi lantai dasar masjid terbesar di dunia, yang pembangunannya menelan biaya sebesar kurang lebih 14 juta dolar AS atau Rp 135 miliar itu. Sementara itu, di bagian luar masjid, sebanyak dua ribu santri berseragam kepanduan berbaris memanjang dua lajur saling berhadapan, dari gerbang luar sampai pintu masuk masjid. Di hadapan mereka terbentang karpet merah yang berakhir di depan panggung kecil, persis di depan mihrab.
Waktu menunjuk tepat pukul 9.30 pagi. Suasana seketika khidmat. Yang dinanti-nantikan rupanya datang jua. Iring-iringan kendaraan yang membawa Pak Harto beserta rombongan memasuki halaman Masjid Rahmatan Lil ‘Alamain. Pak Harto dengan perlahan-lahan sekali menuruni tangga bis milik MAZ yang ditumpanginya. Bertopangan pada tongkat di tangan kanannya, dan tangan kiri dipegang oleh Syaykh Ma’had AS Panji Gumilang, Pak Harto berjalan dengan langkah tertatih-tatih memasuki masjid.
Senyum karismatis Pak Harto menebar ke seluruh hadirin yang menyesaki ruang dalam masjid. Ribuan bendera merah-putih dilambai-lambaikan oleh seluruh santriwan dan santriwati MAZ yang hampir dua jam menanti dengan penuh sabar di dalam masjid yang memiliki luas 99 meter x 99 meter itu, sebagai bentuk penyambutan atas kedatangan Jenderal Besar H.M. Soeharto.
Di barisan belakang, berjalan seiring mengikuti langkah perlahan Pak Harto dan Syaykh MAZ, selain rombongan keluarga, tim medis, para pengawal, dan para eksponen MAZ tampak antara lain dua putri beliau,
Hajjah Siti Hardiyanti Rukmana (akrab disapa Mbak Tutut) dan Hajjah Siti Hediati (akrab disapa Mbak Titik), mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat/ mantan Kepala BKKBN/ Ketua Yayasan Damandiri
Haryono Suyono, Cakrawardoyo, Ketua Yayasan Super Semar
Subagio.
................
“Pada Bapak kita Bapak Haji Muhammad Soeharto, Jenderal Besar TNI, kita sampaikan terima kasih sebesarbesarnya atas kepedulian Bapak terhadap anak bangsa yang sedang membangun, yang sedang meneruskan cita-cita pembangunan yang selama ini Bapak rintis. Doakan kami semua Bapak, sebagai generasi penerus perjuangan bangsa ini mampu meneruskan apa yang menjadi cita-cita dan visi Bapak selama meritis pembangunan Indonesia dari sejak diamanatkan menjadi pemimpin bangsa ini sampai detik ini, dan sampai kapan pun.” Seusai pidato Syaykh MAZ, acara dilanjutkan pembacaan
pidato Pak Harto yang dibacakan oleh putrinya Mbak Tutut. Sebelum menyampaikan pidato dari Pak Harto, Mbak Tutut menyampaikan permohonan maaf Pak Harto yang tulus karena tidak bisa berkomunikasi secara langsung, dan membacakan langsung pidatonya.
Mbak Tutut juga mengisahkan sedikit latar belakang sejarah pembangunan gedung perkuliahan tersebut. Pembangunan Gedung Perkuliahan Jenderal Besar H.M. Soeharto Universitas Al-Zaytun diprakarsai Syaykh AS Panji Gumilang, selaku pimpinan MAZ. Di satu kesempatan, Syaykh MAZ meminta ijin langsung kepada Pak Harto agar nama beliau dapat dicantumkan sebagai nama gedung tersebut, yang akan dibangun oleh MAZ,
Pak Harto memberi izin dan menunjuk Yayasan Purnabakti Pertiwi untuk membantu proses pembangunan. Masih kata Mbak Tutut, Yayasan Purnabakti Pertiwi didirikan oleh almarhumah Ibu Hajjah Siti Fatimah Hartinah (Ibu Tien Soeharto), pada 23 Agustus 1983. Yayasan yang bertujuan menyelenggarakan kegiatan yang bersifat pendidikan sosial maupun agama itu diketuai oleh Ibu Tien Soeharto sampai akhir hayatnya.
Tanggal 23 Agustus kiranya punya makna khusus bagi MAZ. Alasannya, tanggal dan bulan peresmian Gedung Perkuliahan Jenderal Besar H.M. Soeharto Universitas Al-Zaytun (23 Agustus 2005) bertepatan dengan ulang tahun Yayasan Purnabakti Pertiwi yang ke 32. Dan lebih kebetulan lagi, menurut Mbak tutut, tanggal 23 Agustus adalah hari kelahiran almarhumah Ibu Tien Soeharto.
Gedung Perkuliahan Jenderal Besar H.M. Soeharto memiliki luas 25.000 m2 dan berlantai delapan itu direncanakan akan dipergunakan sebagai ruang kuliah laboratorium Fakultas Pertanian Terpadu, laboratorium Fakultas Teknik, laboratorium Fakultas Kedokteran, laboratorium Fakultas Teknologi Informasi, laboratorium Fakultas Bahasa dan Ilmu Pendidikan, ruang pimpinan perkantoran serta ruang serba guna.
....................
Sebagai tanda peresmian Gedung Perkuliahan Jenderal Besar H.M. Soeharto Universitas Al-Zaytun, Pak Harto didaulat untuk membuka tabir prasasti. Kemudian, acara dilanjutkan dengan mengunjungi dan membuka pintu Gedung Perkuliahan Jenderal Besar H.M. Soeharto di Universitas Al-Zaytun, sekitar 300 meter dari Masjid Rahmatan Lil ‘Alamin. Pak Harto membuka pintu gedung tersebut sebagai simbol dimulainya pemanfaatan gedung tersebut. AF,MS, LPS