Page 1 of 1

Negara Sekuler vs Negara (Syariat) Islam

Posted: Fri Mar 14, 2008 9:21 am
by religionofpiss
To All Netters

Saya pas nemuin artikel ini waktu searching Syariat Islam di Google. Artikel ini adalah sebuah pembodohan terhadap Muslim moderat ataupun Muslim KTP. Karena itu saya langsung tergugah membuat topik ini untuk membantah habis semua argumen yang diajukan oleh penulis yang getol promosi Syariat Islam ini.

Komentar saya (dalam size Large) boleh ditanggapi oleh non Muslim maupun Muslim asal jangan OOT! Harus tetap pada masalah negara sekuler atau negara Syariah/Syariat Islam.

Btw, tolong isi poll ya...Apa pilihan bentuk negara INDONESIA yang Anda inginkan. Negara sekuler seperti sekarang atau negara Syariat Islam? Dan beri komentar Anda mengapa memilihnya.


Hizbut Tahrir, Sekularisme dan Fenomena Global
Senin, 27 Agustus 2007
Oleh: Amran Nasution

http://hidayatullah.com/index.php?optio ... &Itemid=60

Mayoritas orang Indonesia ingin Syariat Islam. Di mana-mana agama kian menentukan dalam pergulatan politik. Ada keinginan menggantikan sekulerisme.

Mayoritas? Nggak salah nih?

Sekitar 100.000 manusia berpakaian putih-putih, tumplek-blek di Stadion Utama Senayan, Jakarta, Ahad pagi, 12 Agustus lalu. Lewat tengah hari, ketika acara bubar, apa lagi, kawasan sekitar pun macet total. Massa yang hadir memang terlalu banyak, mengalahkan jumlah penonton pertandingan Piala Asia, Indonesia lawan Arab Saudi, beberapa waktu lalu.

Sudah lama tak ada ormas atau partai politik di Jakarta, yang bisa mengumpulkan manusia begitu banyak. Inilah acara ‘’Khilafah Internasional’’ yang dilaksanakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). ”Acara ini untuk pembelajaran ummat Islam untuk konsekuen mendukung Syariat Islam,’’ kata Ismail Yusanto, juru bicara HTI.

Syariat Islam. Itulah kata kunci yang membuat HTI, MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), Front Pembela Islam (FPI), atau sejumlah ormas Islam lainnya yang muncul belakangan, tampaknya kian mendapat banyak pendukung.

Itulah sebabnya mengapa aksi terorisme di Indonesia meningkat belakangan ini.

Ridwan Saidi, mantan Ketua Umum HMI yang tokoh Betawi itu, menyebut HTI dan kawan-kawannya sebagai organisasi Islam ‘’pinggiran’’, untuk membedakannya dengan organisasi Islam ‘’arus utama’’ (mainstream) seperti NU atau Muhammadiyah yang sudah mapan.

“Pinggiran” atau “impor terkini” dari Timur Tengah? NU juga diimpor dari Timur Tengah tapi sudah menyesuaikan diri dengan budaya lokal.

Muhammadiyah, misalnya, menurut Ridwan, terlibat terlalu dalam mengurusi pendidikan sehingga Ormas itu menjelma menjadi birokrasi pendidikan, yang mau tak mau harus selalu dekat pemerintah. ”Ada urusan akreditasi, pengangkatan guru negeri, dana bantuan pemerintah, dan sebagainya,’’ katanya.

Muhammadiyah dijelek-jelekkan tapi diam saja. Ukhuwah Islamiyah ya?

Akibatnya, Ormas itu sulit menampung asipirasi Syariat Islam yang sekarang berkembang di tengah ummat. Sedang NU, sejak dipimpin Abdurahman Wahid, terlalu banyak bermain politik, mengakibatkan di dalamnya selalu terjadi perpecahan, dan aspirasi ummat terlalaikan. ”Pak Hasyim Muzadi sendiri bilang banyak masjid mereka yang digarap orang lain,’’ ujarnya.

Hmmm, Islam radikal macam HTI, MMI, dan FPI itu menyusup ke NU yang moderat. Ayo NU, lawan dong. Ukhuwah Islamiyah ya?

Banyak pihak yang gerah dengan fenomena baru ini. Pemerintah, misalnya, berusaha menghadangnya dengan mencekal sejumlah pembicara di dalam acara HTI. Ustadz Abubakar Ba’asyir dan Habib Riziek Shihab, Ketua Umum FPI, dilarang tampil sebagai pembicara. Seorang pembicara lainnya, DR. Imron Waheed dari HTI Inggris, dicekal di Bendara Cengkareng, sehingga terpaksa balik badan, pulang ke London.

Ya wajarlah, Pemerintah “gerah” dengan Islam radikal macam HTI, MMI, FPI.

Pencekalan itu tentu bertentangan dengan semangat demokrasi dan kebebasan yang didengung-dengungkan pemerintahan Presiden SBY. Apalagi, beberapa bulan lalu, pemerintah justru mengizinkan masuk ke Bali, Rabbi Jahudi, Daniel Lande, menghadiri sebuah seminar antar-agama. Ujung-ujungnya perhelatan itu cuma untuk mendukung kebenaran holocaust, kisah pembunuhan orang Jahudi oleh Nazi Jerman pada Perang Dunia II, yang kurang logis itu. Di situ Gus Dur menjadi pembicara (www.hidayatullah.com, 13 Juni 2007).

Well, inilah tipikal Islamis sejati. Plintat plintut. Kadang mengecam demokrasi dan kebebasan macam Thufail yang FPI itu. Tapi kadang membela demokrasi dan kebebasan macam Amran Nasution, batak Islamis yang pasti tak kalah sangar dengan Thufail. Tapi demokrasi dan kebebasan itu hanya tunggangan sementara. Kalau sudah Syariat Islam ya bakal ditendang tuh demokrasi dan kebebasan.
Sudah gitu nengatakan holocaust Yahudi oleh Nazi Jerman nggak logis. Islamis banget. Anti Yahudi.


Bekas Rektor UNI Jakarta, Azyumardi Azra, pendukung sistem sekuler itu, mencoba mengecilkan fenomena ini. Dia mengatakan konsep partai Islam yang dianut Hizbut Tahrir hanyalah idealisasi dan romantisme masa lalu dari sebagian kecil ummat Islam (Koran TEMPO, 13 Agustus 2007). Sebagian kecil ummat Islam? Apa tak salah Profesor ini?

Nggak. Azyumardi nggak salah. Azyumardi masih tergolong “sopan” dengan menyebut Partai (yang memperjuangkan Syariat) Islam sebagai ROMANTISME masa lalu. Kalau saya di FFI ini menyebut Syariat Islam sebagai ILUSI bahkan DELUSI.

Survei www.WorldPublicOpinion.org, yang dilaksanakan di empat negara Islam – Indonesia, Pakistan, Mesir, dan Maroko -- Desember 2006 sampai Februari 2007, menunjukkan bahwa mayoritas (2/3 responden) menyetujui penyatuan semua negara Islam ke dalam sebuah pemerintahan Islam (khilafah). Ini jelas menunjukkan pendapat Azyumardi tadi tak berdasar data.

Ya karena mereka itu “lupa” dengan sejarah kelam negara/kekhalifahan Islam di masa lalu atau “sengaja dibuat tidak tahu” sejarah kelam negara/kekhilafahan Islam di masa lalu dimana tak ada satupun negara Islam yang pernah benar-benar berhasil memakmurkan rakyatnya. Bahkan kemakmuran Negara Islam Arab Saudi masa kini sebenarnya semu. Begitu minyak bumi habis, dapat diramalkan dinasti Saud yang korup bakal tumbang.

Hasil survei itu juga – bekerjasama dengan University of Maryland – memperlihatkan bahwa mayoritas responden (sekitar 3/4) setuju dengan upaya untuk mewajibkan syariat Islam di tengah masyarakat, sekalian mencampakkan nilai-nilai Barat dari seluruh negari Islam.

Hmmm. Memang betul tesis Samuel Huntington. Islam dan Barat kayak minyak dan air. Nggak bakal menyatu.

Khusus untuk Indonesia, survei menunjukkan mayoritas (53%) responden menyetujui pelaksanaan Syariat Islam. Itu adalah prosentasi terkecil, dibanding Pakistan (79%), Mesir (74%), dan Maroko (76%).

Syukur Syukur Syukur. Berarti orang Indonesia masih jauh lebih “pinter” dibandingkan Pakistan, Mesir, dan Maroko.

Mencampakkan nilai Barat tampaknya sejalan dengan keinginan menjalankan Syariat Islam. Survei oleh Pew Reseach Center –lembaga riset independen terkemuka di Washington– yang diumumkan akhir Juni lalu, menunjukkan bahwa 66% responden Indonesia membenci Amerika Serikat. Yang menyatakan suka cuma 29%. Angka 66% pembenci Amerika itu tentu sejalan dengan 53% responden Indonesia yang menginginkan dilaksanakannya kewajiban menjalankan Syariat Islam.

Wah, ini kejutan lho. Yang suka Amerika 29%! Berarti Muslim di Indonesia memang banyak yang Islam Abangan/KTP. Atau murtad tapi “diem-diem” gitu lho.

Sesungguhnya apa yang terjadi bukanlah khas Indonesia, tapi sebuah fenomena global. Selasa (23 Agustus) lalu, sebagaimana dikutip situs ini, CNN menayangkan acara khusus ”Pengaruh Agama-agama di Seluruh Dunia”.

Christiane Amanpour, Ketua Koresponden CNN Internasional mengulas fenomena global pengaruh agama di dunia politik dunia di tiga agama: Kristen, Yahudi dan Islam.

"Munculnya pengaruh agama dalam kancah politik merupakan fenomena global saat ini. Bagaimana suatu bangsa dan seseorang dapat menggabungkan antara agama dengan politik mungkin merupakan tantangan yang sangat dipaksakan saat ini," ujar Amanpour.

Bahkan Amerika, yang katanya negara sekuler, calon presiden dan partai politik secara aktif mendatangi pemimpin-pemimpin agama untuk mendapatkan dukungan suara kutip Amanpour.

Ya, tapi Presiden di Amerika nggak bakal berani menjadikan Amerika Serikat sebagai negara Kristen, karena bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat yang sekuler, dasar **** (atau pura-pura ****?) si Amanpour yang radikal (dan penuh tipu muslihat?) ini.

Sebenarnya fenomena ini sudah terlihat lama. Terutama itu terlihat setelah meletusnya revolusi Islam di Iran, 1979, yang dipimpin Ayatullah Rohullah Khomenei. Para pengamat menyebutnya sebagai kebangkitan Islam politik. Di Aljazair, misalnya, pemilu yang dilaksanakan 1991, dimenangkan partai Islam FIS (Front Penyelamat Islam). Dari 232 kursi yang diperebutkan, FIS menyapu 188. Tapi tentara dengan dukungan Barat kemudian membatalkan Pemilu sekaligus mengambil alih kekuasaan. Partai itu dibubarkan dan ribuan pemimpinnya ditangkap.

Hoooi. Sadar dong, Amran! Iran itu “Syiah” musuh bebuyutan Anda yang pasti “Sunni”.

Kian populernya Hizbullah di Libanon, Ikhwanul Muslimun di Mesir, dan menangnya gerakan Islam Hamas atas Fatah yang nasionalis dalam pemilu di Palestina, awal 2006, memperkuat fenomena itu.

Ya. Itulah yang melanda negara mayoritas Islam. Cenderung makin radikal. Indonesia termasuk. Ditandai dengan maraknya HTI, MMI, dan FPI.

Apalagi Turki, AKP, partai yang berbasis Islam menang mutlak di tengah kuatnya tekanan tentara yang berkolaborasi dengan partai-partai sekuler, AKP malah tambah berkibar dan menyapu mayoritas kursi parlemen dalam pemilu.

Hmmm. Yang telah terjadi di Turki mungkin juga yang akan terjadi di Indonesia. Islam radikal akan mengambil alih negara Pancasila ini dan menggantinya menjadi negara (Syariat) Islam. Alias Darul Islam. Jadi teruslah berjuang kawan-kawan FFI! Merdeka (Freedom)! Merdeka dari Islamic Faith yang “gendheng” yaitu negara Syariat Islam!

The New York Times, 10 Agustus yang lalu, menulis bahwa kampanye demokrasi Presiden Bush di Timur Tengah, menyebabkan Amerika semakin kehilangan pendukung di kawasan itu. Setiap partai atau tokoh – umumnya sekuler-- yang didukung Amerika, ternyata kalah dalam pemilu.

”Tak ada politisi yang mau mengindentifikasikan dirinya dengan Barat, karena dari pemilu ke pemilu terlihat rakyat tak percaya pada agenda Amerika Serikat,’’ kata Mustafa Hamarneh dari University of Jordan yang November mendatang, berencana mencalonkan diri sebagai anggota parlemen di negerinya. Maka kebangkitan Islam bisa dibendung dan teman Amerika bisa dipertahankan, hanya di negara otoriter semacam Mesir dan Pakistan.

Hah? Bukannya Arab Saudi dan Iran yang menerapkan Syariat Islam jauh lebih otoriter dibandingkan Mesir atau Pakistan? Memang jadi pertanyaan para kafirun, mengapa negara (mayoritas) Islam umumnya otoriter. Mungkin karena sifat dasar Islam (baik moderat maupun radikal) memang otoriter. Anti kritik.

Tapi kebangkitan dimaksud ternyata tak terbatas Islam. Profesor Samuel P.Huntington dari Harvard University dalam bukunya, Who are we? America’s Great Debate (The Free Press, 2005) dengan jelas menguraikan fenomena ini. Menurut Huntington, sejak 25 tahun terakhir abad 20, gerakan sekulerisme mulai menurun. Di saat bersamaan, terjadi kebangkitan gerakan agama hampir di seluruh dunia, kecuali Eropa Barat.

Itu karena banyaknya politisi Barat yang PC (Politically Correct). Kelak akan tiba masanya ketika milyaran manusia bukan penganut Islam tak bisa lagi PC terhadap Islam. Ketika mereka semua sadar bahwa Islam hanya membawa kemunduran ke abad pertengahan dengan Syariat Islam-nya. Ayo ajak semua manusia yang masih punya nalar dan nurani mengunjungi FFI ini.

Para pendukungnya bukan orang tua atau para petani miskin, melainkan anak-anak muda terdidik, pegawai kantoran, pengusaha, atau kaum profesional. Di Turki, misalnya, mahasiswi kedokteran memakai jilbab ke dalam kelas, sebagai simbol perlawanan terhadap konstitusi sekuler dukungan tentara.

Menggelikan bukan? Perempuan Turki yang dibodohi Islam radikal ini tidak tahu kalau di Arab Saudi yang menerapkan Syariat Islam itu tidak ada mahasiswi kedokteran. Jangankan kuliah, tamat SMU saja sudah syukur syukur bagi kaum wanita di Arab Saudi.

Untuk diketahui, konstitusi Turki yang diboyong dari Swiss oleh Jenderal Mustafa Kemal Attaturk di tahun 1920-an, menyatakan agama harus dijauhkan dari pemerintahan. Karena itu sampai sekarang, jilbab yang dianggap sebagai simbol Islam diharamkan masuk ke semua sarana atau gedung Pemerintah. Adalah sangat dramatis, istri Perdana Menteri Recep Thayyib Erdogan dilarang masuk kantor suaminya –sekali pun untuk mendampingi suami menyambut tamu asing, misalnya—hanya karena tak sudi menanggalkan jilbab.

Begitulah Muslimah. Mereka itu sudah dicuciotak sampai-sampai tak tahu bahwa Jilbab itu sesungguhnya penindasan terhadap kaum wanita. Promosinya Jilbab itu buat “pelindung” padahal sesungguhnya……?

Maka awal abad 21, menjadi era agama menantang atau menggantikan sekulerisme Barat. Itu yang terjadi di Iran. Di Rusia, sistem sekuler komunisme Lenin yang anti-agama, digantikan sistem spiritual dan budaya Rusia. Di India, konsep sekulerisme Nehru yang sosialis –selama ini jadi azimat Partai Kongres, warisan Nehru-- mendapat tantangan dari gerakan keagamaan (Hindu) yang berafiliasi ke partai BJP. Partai ini pun pernah memerintah India setelah mengalahkan Partai Kongres dalam pemilu. Begitu pula yang terjadi di Timur Tengah, seperti telah disebut di atas.

Iran bisa jadi negara sekuler lagi. Islam sudah mulai dibenci di sana. Ayo bangkit orang Persia! Jangan mau jadi budak Arab/Islam selamanya (sudah 1400 tahun lho kalian jadi budak Islam)! Kristen Ortodok memang mulai bangkit di Rusia tapi atheisme menjadi check and balance buat Kristen Ortodok. India tetap sekuler walaupun Partai Hindu menang. Mengapa? Karena konstitusinya memang sekuler. Upaya mengubah negara India yang sekuler menjadi negara Hindu pasti mendapat tentangan keras karena nggak jelas Hindu aliran/sekte mana yang mau dijadikan dasarnya.

Amerika Latin, yang umumnya berpenduduk Katolik, belakangan ‘’diserbu’’ oleh pertumbuhan pesat Kristen Evangelical, aliran Protestan yang tak memisahkan politik dengan agama. Pertumbuhan agama itu paling pesat di Brasil, negeri berpenduduk Katolik terbesar di dunia.

Yang paling menarik tentu Amerika Serikat. Inilah satu-satunya negara industri maju yang terkena fenomena itu. Kenapa? Huntington memberi dua jawaban. Pertama, pertumbuhan cepat dan signifikan dari Kristen Evangelical yang konservatif. Sementara, pengikut gereja Kristen utama yang lebih liberal semacam Presbyterian atau United Church of Christ, anjlok. Ada eksodus besar-besaran.

Bagaimanapun juga tidak ada aliran Protestan yang mayoritas di Amerika Serikat. Dan ini bagus untuk check and balance. Harapan saya, Indonesia juga tetap demikian. Islam Abangan/Islam KTP, Islam Moderat (NU), Islam Semi Radikal (Muhamadiyah), Islam Radikal (HTI, MMI, FPI) bisa saling check and balance. Tapi sayangnya baik Islam Abangan, NU, maupun Muhammadiyah “takut” atau “minder” (atau malah diam-diam “simpati”?) terhadap HTI, MMI, FPI. Check and balance nggak jalan.

Lalu di bawah gerakan Evangelical itu bermunculan banyak organisasi, termasuk yang berfungsi membina konstituen untuk kepentingan politik pemilihan umum. Yang pertama adalah Moral Majority, didirikan Pendeta Jerry Falwel pada 1979. Lalu Christian Coalition yang didirikan Pendeta Pat Robertson,dan pada 1995, ditaksir memiliki 1,7 juta anggota. Ada Focus on the Family yang memiliki 2 juta anggota, dan banyak lainnya.

Untuk menghadapi kaum feminis yang sering menyerang ide-ide mereka, berdirilah Concerned Women for America yang didukung 600.000 anggota, dan menjadi organisasi perempuan dengan anggota terbanyak di negeri itu.

Memang benar sih kata feminis bahwa semua agama itu bias gender. Buktinya adalah para pemimpin agama Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha tetap didominasi kaum pria. Tapi Islam yang paling parah bias gender-nya karena poligini, pembagian harta waris yang memihak pria, dll.

Maka dalam dua kali pemilu terakhir, gerakan politik Evangelical menyerahkan suara kepada Partai Republik yang konservatif, dan mendukung pemenangan Bush, calon partai itu, menjadi Presiden. Boleh dibilang sejak saat itu, gereja terlibat dalam urusan politik kekuasaan di negeri super-power ini.

Hmmm. Tapi Kristen radikal di Amerika Serikat melakukannya secara terselubung. Sebab freethinkers alias pemikir bebas (mulai dari yang theis, agnostic sampai atheis) cukup “galak” membela konstitusi Amerika Serikat yang sekuler. Islam? Freethinkers yang berani mengkritik Islam di negara mayoritas Islam bisa melayang nyawanya atau minimal dipenjara.


Faktor kedua, banyak orang Amerika yang konsern pada apa yang mereka lihat sebagai kemerosotan nilai-nilai, moral, dan standar, di dalam masyarakat. Sebutlah, merebaknya penggunaan narkoba, penyakit Aids, perselingkuhan, wanita melahirkan tanpa ayah (single parent), abortus, meningkatnya kriminalitas, ketamakan mengejar harta, dan sebagainya. Lalu di tengah masyarakat muncul kebutuhan personal untuk mempercayai dan memiliki sesuatu yang tak bisa dipenuhi atau dipuaskan oleh ideologi dan institusi sekuler.

Dan perubahan besar itu pun terjadi. Tiba-tiba, menjadi atheis – berbagai survei menunjukkan pengikutnya kini tak sampai 10% -- adalah sesuatu yang asing bagi orang Amerika. Ada survei yang menunjukkan kaum atheis lebih tak disukai dibanding kaum homo, atau menjadi Muslim.

Wah. Ini sih pemutarbalikan fakta. Beberapa dasawarsa lalu kaum atheis di Amerika Serikat nggak sampai 1%. Maklumlah Cold War/ Perang Dingin dengan Uni Soviet menyebabkan atheisme dibenci di Amerika Serikat dan sering dikait-kaitkan dengan komunisme oleh Kristen radikal (samalah tipikalnya dengan Islam radikal di Indonesia). Efek propaganda atheisme = komunisme masih ada hingga kini di Amerika Serikat (apalagi Indonesia). Kalau sekarang kaum atheis di USA lebih dari 1% bahkan mendekati 10% berarti ada peningkatan dong!
Atheis bagaimanapun juga masih lebih baik dibandingkan Muslim. Minimal kaum atheis tidak bercita-cita mendirikan negara atheis karena Amerika Serikat khan sudah sekuler, yang dalam pandangan umum kaum atheis adalah bentuk negara yang paling bisa menjamin kelangsungan hidup atheisme, jadi ngapain kaum atheis repot-repot mendirikan negara “atheis”. Tapi kalau Muslim radikal selalu bermimpi dan berkhayal mengenai Syariat Islam dan Negara Islam, seperti Amran Nasution yang menulis artikel ini.


Dulu di tahun 1960-an, Presiden John F.Kennedy terkenal dengan ucapannya yang mengatakan, pandangan seorang Presiden tentang agama adalah urusan privat ("a President whose views on religion are his own private affairs"). Sekarang beda. Para politisi selalu membawa agama atau nama Tuhan saat berbicara di hadapan publik. Itu terjadi pada para tokoh Partai Republik mau pun Partai Demokrat yang liberal.

Al Gore, misalnya, calon Presiden dari Partai Demokrat pada Pilpres tahun 2000, menguraikan bagaimana ia menghabiskan waktu setahun untuk mengeksplor makna hidup. Akhirnya ia temukan. ’’Kegunaan hidup ini adalah untuk mengagungkan Tuhan,’’ katanya.

Tapi yang paling bersemangat tentu Presiden Bush. Siapa ahli filsafat politik favoritnya? Bush menjawab di sebuah acara TV yang dipancarkan secara nasional, ’’Jesus, sebab Ia mengubah hatiku. Ketika kau menyerahkan hati dan hidupmu kepada Jesus, ketika kau menerima Jesus sebagai penyelamat, hatimu akan berubah, hidupmu akan berubah. Dan itulah yang terjadi pada aku.’’ Dengan ini tentu sulit dibedakan apakah Bush seorang Presiden atau Pendeta.

George Bush saja di dalam negeri diperingatkan keras oleh freethinkers karena sering menampakkan “belang” Kristen-nya. Freethinkers di sana galak-galak dalam mengkritik Kristen di media massa maupun di muka umum. Kebebasan berpikir, berbicara/berpendapat ini dijamin sepenuhnya, baik dalam praktek sehari-hari maupun dalam konstitusi. Bukan hanya jadi pajangan seperti di Indonesia. Di Indonesia mana ada yang berani mengkritik Presiden di muka umum kalau dia banyak bicara mengenai Muhammad atau Allah SWT. Bisa dituduh melecehkan Islam dan ujung-ujungnya penjara!

Tentu fenomena itu menimbulkan berbagai kekhawatiran. Misalnya, tampilnya agama dalam politik akan menurunkan kecintaan pada negara, seperti yang sering diembuskan kaum nasionalis sekuler Indonesia. Ternyata, jawaban dari Profesor Huntington: tidak.

Hei Amran, sekali lagi, memang fenomena itu TIDAK berlaku bagi Kristen radikal di Amerika Serikat atau negara Barat lainnya. Mau tahu kenapa? Sekali lagi, karena ada check and balance dari FREEDOM’S THINKERS alias free-thinkers yang merupakan nyawa bagi sistem politik demokrasi dan negara sekuler! Tapi bagi Islam radikal di manapun pastilah agama Islam akan meningkatkan kecintaan pada segala sesuatu yang berbau Arab! Karena tidak akan pernah ada negara mayoritas Islam yang mengizinkan freethinkers hidup dengan damai khususnya freethinkers yang berani mengkritik Islam! Indonesia mungkin agak lain karena ada Gus Dur dan JIL (Jaringan Islam Liberal) yang menurut saya dapat digolongkan sebagai freethinkers yang theis!

Sebuah survei yang dilakukan di 41 negara, pada 1990-1991, menemukan bahwa penduduk suatu negara yang lebih religius, ternyata juga lebih nasionalis. Semakin seseorang memberi angka tinggi pada pentingnya Tuhan di dalam hidup, semakin dia bangga pada negaranya (1990-1991 World Values Survey, Ronald Inglehart dan Marita Carballo).

Dari suvei itu, Nigeria, Turki, Brasil, Polandia, Irlandia, dan Amerika Serikat, menduduki tempat teratas: masyarakatnya agamis, sekaligus nasionalis. Sebuah survei yang lain, pada 1983, di 15 negara – sebagian besar di Eropa -- menemukan bahwa semakin tipis rasa keagamaan responden, semakin tipis pula nasionalismenya.

Hmm. Koq Jerman, Inggris, Perancis nggak disebut ya? Mereka bertiga tipis nasionalismenya? Mungkin karena penduduk Jerman, Inggris, Perancis masa kini banyak yang menjadi freethinkers yang persentasenya jauh melebihi Amerika Serikat sang pelopor freethinkers. Tak aneh kalau penduduk tiga negara utama Eropa Barat itu lebih mengedepankan humanism ataupun human rights di dalam kamus politik mereka. Humanisme merupakan suatu aplikasi nyata yang tak bisa dhindarkan dari kaum freethinkers. Nasionalisme di Jerman Inggris Perancis biasanya hanya terbatas pada bidang ekonomi. Lagipula, sebagai contoh, Irlandia dan Polandia walaupun sama-sama mayoritas Katolik Roma tapi masing-masing independen dan mengembangkan Katolik Roma berdasarkan budaya setempat. Jadi wajarlah kalau nasionalisme terutama terhadap budaya lokal masih kuat di Irlandia maupun Polandia. Beda dengan HTI, MMI, atau FPI yang mau mengubah budaya lokal dengan budaya Arab!

Berarti benarlah, ’’Hubbul wathon minal iman’’. Cinta tanah air itu bagian dari iman. Dan bagi para pendukung Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) atau gerakan Islam lainnya, petuah ini tentu sesuatu yang tak mungkin diabaikan.

Ah bisa aja si Amran Nasution ini. NU itu bagaimanapun juga lebih nasionalis dibandingkan HTI, MMI, atau FPI. Malah HTI, MMI, FPI justru akan membuat Indonesia jadi negara jajahan Arab di segala bidang! Sorry, jualan kecap Anda nggak laku bagi kami kaum kafirun yang tetap mau Indonesia menjadi negara sekuler yang memisahkan agama dari politik.

* Penulis adalah mantan Redaktur TEMPO dan GATRA. Kini, bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta

Posted: Fri Mar 14, 2008 11:10 am
by religionofpiss
Sepi nih...

Kayak kuburan...

Jangan-jangan bener tuh kata NoeMoetz : Muslim (radikal) lagi panas...

Mau melawan tapi nggak bisa membantah...

Pada kabur semua....

Gue terlalu "galak" ya?

Posted: Fri Mar 14, 2008 11:21 am
by somad
Sudah AMRAN NAS,
jangan mimpi
Realisasikan saja mimpi anda dengan mengusulkan angket kepada pemerintah.
Agar seluruh Rakyat memilih
Mau Sariah atau sekuler
Gitu aja koq repot