JUAL TANAH UNTUK NAIK HAJI
Posted: Thu Feb 21, 2008 12:40 pm
SETELAH TANAH HABIS DIJUAL
KOMPAS
Jumat, 15 Februari 2008
Oleh: Ahmad Arif dan Khaerul Anwar
Fathur Rahman (54) bergegas mengejar sepasang turis asing yang tengah menikmati keindahan pantai di kawasan Senggigi, Batu Layar, Lombok Barat. Ia menawarkan untaian cenderamata berbahan ”mutiara”. Namun, gerakan tangan mengusir dari sepasang turis itu membuat Fathur mundur.
"Biasa kalau ditolak turis. Bisa satu minggu tak satu pun laku dijual. Bahkan, pernah sampai satu bulan tak ada yang terjual,” katanya. Ia duduk di pasir melihat laut. Tangannya mencopot peci putih dan menyimpannya hati-hati di dalam tas kecil. Peci yang sudah berumur itu bukan barang sembarangan bagi Fathur. ”Saya beli di Tanah Suci Mekkah,” ujarnya.
Bagi masyarakat Sasak di Lombok, haji merupakan kebanggaan tertinggi. ”Di sini setiap orang yang memiliki cukup uang pasti naik haji,” kata Junaidi (40), Kepala Desa Senggigi.
Fathur memang pernah memiliki uang yang cukup. Pada tahun 1995, seiring gelombang pariwisata di Lombok yang mulai menggeliat, para investor—yang sebagian besar di antaranya warga negara asing—terobsesi untuk memborong tanah di Senggigi. “Kami jual tanah warisan 30 are (satu are setara 100 meter). Waktu itu masih murah, hanya Rp 3 juta per are,” kata Fathur.
Setelah dibagi dengan lima saudaranya yang lain, Fathur memperoleh Rp 20 juta. Tanpa pikir panjang, uang itu digunakan Fathur untuk naik haji bersama istrinya. ”Waktu itu ongkos naik haji masih Rp 7 juta per orang,” kata Fathur.
Sisa uang yang ada ia gunakan untuk memperbaiki rumah dan modal berdagang asongan. Jadilah kini, Haji Fathur Rahman sehari-hari menjadi pengasong di bekas tanahnya sendiri.
Paradoks Wisata
Waktu itu, sebelum tahun 1990-an, sebagian besar Senggigi masih berupa pantai yang dikelilingi semak belukar dan kebun kelapa. Warga tidak pernah mengira tanah mereka yang ditanami pohon kelapa dan ubi adalah mimpi bagi para pelancong dari belahan dunia lain. Ketika para pendatang membawa segepok uang, warga yang bertahun dililit kemiskinan itu dengan rela menjual tanahnya dengan harga murah.
”Warga yang dulunya petani tidak pernah tahu bagaimana menggunakan uang untuk kegiatan yang produktif. Paling banyak digunakan untuk pergi naik haji,” tambah Junaidi.
Selain untuk pergi ke Tanah Suci Mekkah, sebagian warga menggunakan uang itu untuk kawin lagi, seperti dilakukan Haji Maskur (45). Dengan menjual tanahnya seluas 1 hektar, pada tahun 1990-an, Maskur memiliki cukup uang untuk naik haji dan menikah lagi. ”Sekarang tanah sudah habis semua, sudah jadi hotel,” kata Maskur, yang menjadi anggota langlang, satuan pengamanan pantai yang dibentuk oleh desa.
Gajinya Rp 400.000 per bulan habis untuk membiayai delapan anaknya. ”Sekarang kondisi memang jadi lebih susah. Kami bingung, apa yang nanti bisa diwariskan,” tambah Maskur.
Setelah tanah habis dijual, mencari kerja ternyata bukan hal yang mudah. Kualitas sumber daya manusia dan pendidikan yang rendah menjadi alasan pemilik usaha menolak warga setempat. ”Saya sudah tiga tahun ini melamar pekerjaan sebagai satpam di hotel, tapi belum ada satu pun yang mau menerima. Padahal, saat kerusuhan dulu, saya menjadi komandan keamanan warga di sini untuk mengamankan hotel-hotel dan restoran yang dimiliki pendatang itu,” kata Haji Nasir (36), salah satu pengasong di sana.
Menurut Junaidi, dari 6.000 warga desanya, 40 persen di antaranya sudah naik haji. ”Kebanyakan mereka haji dengan menjual tanah,” katanya.
Akan tetapi, kini, dari sekitar 2.400 haji itu, 30 persen tergolong kelas menengah ke bawah. ”Bahkan, banyak yang kemudian kami masukkan sebagai warga miskin yang berhak mendapat raskin atau bantuan lainnya. Tapi, agar dapat bantuan, gelar ’H’-nya kami taruh di belakang nama mereka. Karena susah meyakinkan orang lain jika ada embel-embel ’H’, lha, haji kok miskin. Padahal, itulah kenyataannya,” kata Junaidi.
”Beasiswa anak saya juga ditolak karena ada gelar ’H’ di depan nama saya. Mereka mengira kalau sudah haji, ya, berarti orang mampu. Padahal, saya benar-benar membutuhkan beasiswa itu untuk anak kami sekarang,” kata Haji Maskur.
Haji Maskur dan haji-haji lain di Senggigi tak pernah menyesali telah mengeluarkan uang untuk pergi ke Tanah Suci. ”Itu perintah agama. Kebanggaan jika kami bisa memenuhinya. Yang kami sesali, kami **** karena menjual tanah-tanah warisan sehingga sekarang kami tak punya apa-apa lagi,” kata Fathur Rahman.
KOMENTAR:
PERINTAH AGAMA YANG **** YANG DIIKUTI ORANG **** YANG TIDAK MERASA DIRINYA **** DAN TIDAK MENYESAL MENJADI MISKIN KARENA KEBODOHANNYA
ISLAM MEMBUAT ORANG TAMBAH **** DAN TAMBAH MISKIN
ADA KOMENTAR LAIN?
KOMPAS
Jumat, 15 Februari 2008
Oleh: Ahmad Arif dan Khaerul Anwar
Fathur Rahman (54) bergegas mengejar sepasang turis asing yang tengah menikmati keindahan pantai di kawasan Senggigi, Batu Layar, Lombok Barat. Ia menawarkan untaian cenderamata berbahan ”mutiara”. Namun, gerakan tangan mengusir dari sepasang turis itu membuat Fathur mundur.
"Biasa kalau ditolak turis. Bisa satu minggu tak satu pun laku dijual. Bahkan, pernah sampai satu bulan tak ada yang terjual,” katanya. Ia duduk di pasir melihat laut. Tangannya mencopot peci putih dan menyimpannya hati-hati di dalam tas kecil. Peci yang sudah berumur itu bukan barang sembarangan bagi Fathur. ”Saya beli di Tanah Suci Mekkah,” ujarnya.
Bagi masyarakat Sasak di Lombok, haji merupakan kebanggaan tertinggi. ”Di sini setiap orang yang memiliki cukup uang pasti naik haji,” kata Junaidi (40), Kepala Desa Senggigi.
Fathur memang pernah memiliki uang yang cukup. Pada tahun 1995, seiring gelombang pariwisata di Lombok yang mulai menggeliat, para investor—yang sebagian besar di antaranya warga negara asing—terobsesi untuk memborong tanah di Senggigi. “Kami jual tanah warisan 30 are (satu are setara 100 meter). Waktu itu masih murah, hanya Rp 3 juta per are,” kata Fathur.
Setelah dibagi dengan lima saudaranya yang lain, Fathur memperoleh Rp 20 juta. Tanpa pikir panjang, uang itu digunakan Fathur untuk naik haji bersama istrinya. ”Waktu itu ongkos naik haji masih Rp 7 juta per orang,” kata Fathur.
Sisa uang yang ada ia gunakan untuk memperbaiki rumah dan modal berdagang asongan. Jadilah kini, Haji Fathur Rahman sehari-hari menjadi pengasong di bekas tanahnya sendiri.
Paradoks Wisata
Waktu itu, sebelum tahun 1990-an, sebagian besar Senggigi masih berupa pantai yang dikelilingi semak belukar dan kebun kelapa. Warga tidak pernah mengira tanah mereka yang ditanami pohon kelapa dan ubi adalah mimpi bagi para pelancong dari belahan dunia lain. Ketika para pendatang membawa segepok uang, warga yang bertahun dililit kemiskinan itu dengan rela menjual tanahnya dengan harga murah.
”Warga yang dulunya petani tidak pernah tahu bagaimana menggunakan uang untuk kegiatan yang produktif. Paling banyak digunakan untuk pergi naik haji,” tambah Junaidi.
Selain untuk pergi ke Tanah Suci Mekkah, sebagian warga menggunakan uang itu untuk kawin lagi, seperti dilakukan Haji Maskur (45). Dengan menjual tanahnya seluas 1 hektar, pada tahun 1990-an, Maskur memiliki cukup uang untuk naik haji dan menikah lagi. ”Sekarang tanah sudah habis semua, sudah jadi hotel,” kata Maskur, yang menjadi anggota langlang, satuan pengamanan pantai yang dibentuk oleh desa.
Gajinya Rp 400.000 per bulan habis untuk membiayai delapan anaknya. ”Sekarang kondisi memang jadi lebih susah. Kami bingung, apa yang nanti bisa diwariskan,” tambah Maskur.
Setelah tanah habis dijual, mencari kerja ternyata bukan hal yang mudah. Kualitas sumber daya manusia dan pendidikan yang rendah menjadi alasan pemilik usaha menolak warga setempat. ”Saya sudah tiga tahun ini melamar pekerjaan sebagai satpam di hotel, tapi belum ada satu pun yang mau menerima. Padahal, saat kerusuhan dulu, saya menjadi komandan keamanan warga di sini untuk mengamankan hotel-hotel dan restoran yang dimiliki pendatang itu,” kata Haji Nasir (36), salah satu pengasong di sana.
Menurut Junaidi, dari 6.000 warga desanya, 40 persen di antaranya sudah naik haji. ”Kebanyakan mereka haji dengan menjual tanah,” katanya.
Akan tetapi, kini, dari sekitar 2.400 haji itu, 30 persen tergolong kelas menengah ke bawah. ”Bahkan, banyak yang kemudian kami masukkan sebagai warga miskin yang berhak mendapat raskin atau bantuan lainnya. Tapi, agar dapat bantuan, gelar ’H’-nya kami taruh di belakang nama mereka. Karena susah meyakinkan orang lain jika ada embel-embel ’H’, lha, haji kok miskin. Padahal, itulah kenyataannya,” kata Junaidi.
”Beasiswa anak saya juga ditolak karena ada gelar ’H’ di depan nama saya. Mereka mengira kalau sudah haji, ya, berarti orang mampu. Padahal, saya benar-benar membutuhkan beasiswa itu untuk anak kami sekarang,” kata Haji Maskur.
Haji Maskur dan haji-haji lain di Senggigi tak pernah menyesali telah mengeluarkan uang untuk pergi ke Tanah Suci. ”Itu perintah agama. Kebanggaan jika kami bisa memenuhinya. Yang kami sesali, kami **** karena menjual tanah-tanah warisan sehingga sekarang kami tak punya apa-apa lagi,” kata Fathur Rahman.
KOMENTAR:
PERINTAH AGAMA YANG **** YANG DIIKUTI ORANG **** YANG TIDAK MERASA DIRINYA **** DAN TIDAK MENYESAL MENJADI MISKIN KARENA KEBODOHANNYA
ISLAM MEMBUAT ORANG TAMBAH **** DAN TAMBAH MISKIN
ADA KOMENTAR LAIN?